Setelah lolos ujian tahap akhir, Alif resmi diterima sebagai wartawan di Harian Suara Musi (HSM) Palembang.
Alif kali itu benar-benar bangga menjadi awak media terbesar di Sumatera Bagian Selatan. Sebab, untuk masuk di media berjaringan nasional sekelas HSM, seperti gajah masuk lubang jarum. Paling tidak, Alif harus menyingkirkan 200 pesaing yang kala itu ikut melamar.
Penentuan akhir bagi 10 calon wartawan yang lolos, saat wawancara dengan Mas Pardiman Joyodiningrat, Pemimpin Redaksi sebuah Harian di Jakarta, yang kemudian membangun koran harian di Palembang : HSM.
Sebelum masuk ke ruang wawancara, Alif mengaris merah pesan Mas Darmanto, seniornya di kampus saat masih aktif di Majalah Ukhuwah, media kampus Universitas Islam Palembang.
Benar saja, dalam perjalanan waktu, rupanya pesan ini yang kemudian membaut Alif bisa lulus di HSM. Alif masih ingat ketika diajak Mas Darmanto wawancara dengan salah satu pejabat di Sumatera Selatan tahun 1996.
"Mas, kenapa tadi amplopnya ditolak?" tanya Alif waktu itu.
"Kamu mau, mata kamu saya colok pakai pena ini, lalu saya bayar satu miliar?" tanya Mas Darmanto balik.
"Ya, enggaklah Mas. Gila apa!?"
"Kenapa, nggak mau? Kamu kan dapat duit satu miliar, bisa transplantasi mata kan?" Mas Darmanto mengaduk-aduk pikiran Alif.