"Lif, berita lounching Mobil Timor dapat?" tiba-tiba Herman Wijaya, redaktur halaman ekonomi muncul di belakang Alif.
"Sedang saya kerjakan, Pak," jawab Alif, kemudian kembali ke komputernya.
Sesaat Alif hanya melirik ke arah Pak Herman yang kemudian duduk di meja redaski yang berada di belakang tempat duduk wartawan.
"Halo, Ko!" Pak Herman seketika menelpon seseorang. Sebutan Ko, membuat Alif terkesiap. Sebab sebutan itu disandangkan ke narasumber yang tadi pagi baru saja diwawancarai.
"O, iyo, dak apo-apo, aku kirim wartawan ke sano sekarang. Alif yang ke kantormu!" Pak Herman sepertinya menangkap pesan dari narasumber melalui telpon.
Sesaat Alif tercenung ketika Pak Herman menyebut namanya di telepon dengan Bos Harapan Motor Palembang ini. Beberapa detik Alif menghentikan menulis. Konsentrasinya pudar sesaat. Gerangan apa yang membuat dirinya harus kembali ke nara sumber? Hatinya bertanya-tanya.
"Lif! Kau sekarang ke tempat Ko Bun-Bun lagi, kato dio ado yang ketinggalan!" Pak Herman tiba-tiba memerintah Alif kembali ke Showroom Mobil Timor.
"Data apo lagi yang harus saya tanyakan pada Ko Bun-Bun?" Alif penasaran. Berita belum selesai di edit, tapi perintah redaktur tak kompromi. Sementara, hukum di perusahaan pers, perintah pemimpin redaksi dan redaktur tak ubahnya seperti perintah nabi dan Tuhan. Menolak perintah, siap-siap kena semprot.
"Kamu mau jadi wartawan atau tidak!? Kalau mau jadi wartawan ya turuti perintah redaktur, jangan mbantah!" ucapan itu nyaris sering di dengar Alif saat enam bulan berikutnya ada beberapa wartawan baru yang membuat alasan sebagai pembenaran tidak setor berita di raoat redaksi.
*
Cuaca di luar hujan deras. Sementara Alif harus memenuhi perintah Pak Herman ke kantor Harapan Motor. Alif sangat paham, hujan dan panas bukan alasan untuk menolak perintah atasan. Hanya kematian dan orang tua sakit yang bisa ditolelir. Izin menghadiri pernikahan keluarga sekalipun tidak dizinkan. Apalagi sekadar mengikuti Yasinan tetangga.