Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Wartawan Nabi Palsu

5 Juni 2020   07:22 Diperbarui: 5 Juni 2020   07:25 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wartawan. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

"Mengapa tidak Anda bawa saja ke rumah, kan enak dapat duit? Lagi pula perusahaan tidak tahu kalau Anda dapat amplop?" Mas Pardiman belum menuntaskan isi kepala Alif.

"Tapi narasumber memberi amplop untuk saya itu kan, karena saya wartawan.  Pada saat itu saya membawa nama media tempat saya bekerja, Mas. Kalau saya datang secara pribadi, dan tidak ada embel-embel wartawan, saya kira narasumber mungkin juga tidak akan memberi amplop ke saya, Mas," Alif mulai nyaman. Hatinya tidak lagi berdegup kencang. Jebakan-jebakan pertanyaan dirasa mulai ringan.

"Oke, kalau seandainya ada wartawan yang secara diam-diam menerima amplop dan membawa pulang, lalu tidak melaporkan ke perusahaan? Menurut Anda, apakah sikap itu bisa dibenarkan?" pertanyaan ini membuat Alif kembali gelagapan. Belum pernah sebelumnya menerima pertanyaan setajam silet.

"Menurut Saya, Mas. Itu bentuk peghianatan!" sekenanya jawaban Alif.

"O, Iya!?" Mas Pardiman tersenyum kecil. Mas Pardiman kian penasaran dengan jawaban Alif.

Di benak Mas Pardiman, Alif punya jawaban diluar kebiasaan. Mas Pardiman tidak menduga kalau Alif akan melontarkan jawaban itu.

"Penghianatan? Kok kayak penghinatan G30S/PKI saja," Mas Pardiman berseloroh. Degup jantung Alif kembali reda, setelah beberapa detik Mas Pardiman tersenyum agak lebar. Tapi Alif tidak mengetahui apakah jawaban itu benar atau tidak. Alif hanya melempar dadu. Kian banyak pertanyaan, Alif kian sekenanya menjawab. Hatinya mulai gundah. Sebab jawaban itu sama sekali tidak pernah didapatkan di kelas kuliah. Jadi Alif juga ragu dengan jawaban itu.

"Apa maksudnya menghianati, Dik?" Mas Pardiman memancing lagi.

"Saya umpamakan begini, Mas. Misalnya Mas Pardiman punya mobil dan izin angkutan hanya untuk barang. Tapi sopir yang Mas percayai, malah mengangkut penumpang. Uang yang dia dapatkan dari penumpang diambil untuk kepentingan pribadinya tanpa se-izin perusahaan. Apa itu tidak sama saja mencuri uang perusahaan, Mas?" Alif menjawab dengan analogi.

"Oke, satu lagi, pertanyaan terakhir," Mas Pardiman langsung konek dengan jawaban Alif. Kalimat terakhir Mas Pardiman membuat Alif seperti baru saja meletakkan batu besar dari pundaknya.

Sesaat Alif menarik napas lega. Tapi di benaknya juga tidak tahu persis apakah jawaban itu sesuai keinginan perusahaan atau tidak. Alif hanya berpikir, usai keluar dari ruang wawancara akan berkonsultasi dengan Mas Darmanto, untuk meyakinkan jawaban kali itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun