Mohon tunggu...
Impiani Fil Husni
Impiani Fil Husni Mohon Tunggu... Wiraswasta - International Relations Enthusiast | Instructional Designer

A textrovert who wildly sees the world and put it into the words.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sekuritisasi Laut Natuna Utara, Jaga Kedaulatan Indonesia

23 Mei 2024   00:41 Diperbarui: 23 Mei 2024   00:42 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Lizard Publishing

China yang bersikukuh dengan klaim histori "nine-dash line" miliknya, semakin lama semakin mengusik kedaulatan wilayah Laut Natuna Utara milik Indonesia. Padahal nine-dash line adalah urusan rumah tangga yang tak kunjung selesai antara China Daratan (Chinese Mainland) dengan Taiwan perihal luas wilayah Laut China Selatan (LCS), yang akhirnya menyenggol beberapa Negara di ASEAN, termasuk Indonesia.

Konflik LCS antara Indonesia dan China memanas sejak pemerintah China mulai melayangkan protes perihal aktivitas eksplorasi dan eksploitasi laut yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di wilayah Laut Natuna. Hal ini terjadi karena mereka mengklaim pengeboran dilakukan di wilayah perairan LCS otoritas China.

Padahal Indonesia memiliki dasar hukum ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) tentang wilayah Laut Natuna yang lebih kuat, karena bernaung di bawah Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982. Sedangkan klaim nine-dash line China sudah dinyatakan invalid di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada tahun 2016. Perilaku China yang tidak menghiraukan hal tersebut, meningkatkan ketegangan konflik maritim kedua Negara di wilayah perairan tersebut.

 

Konflik LCS antara Indonesia dan China

Ada 5 negara claimant state (Negara pengklaim) LCS yaitu China, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Klaim nine dash line China, menyebabkan overlapping wilayah LCS dengan Negara-negara tersebut. Sejak awal konflik ini berlangsung, Indonesia tidak pernah menjadi claimant state. Bahkan, Indonesia berperan sebagai mediator di antara claimant state sejak tahun 1990 di forum regional ASEAN untuk mempertemukan mereka dalam sebuah diskusi perdamaian. Tetapi, konflik yang sudah dimulai sejak berakhir Perang Dunia II ini tidak mudah terselesaikan.

Belum cukup berkonflik dengan kelima Negara pengklaim, pada tahun 2010 China mengklaim seluruh kawasan LCS termasuk wilayah perairan Indonesia yaitu kepulauan Natuna di Kepulauan Riau. Sejak saat itulah, konflik LCS antara Indonesia dan China dimulai. Pasalnya, sejak saat itu kapal-kapal penangkap ikan milik China mulai memasuki ZEE perairan Indonesia. Hal ini tentu saja direspon oleh pemerintah Indonesia dengan menahan kapal-kapal tersebut untuk beraktivitas.

Setelah kejadian ini, pemerintah China melayangkan nota diplomatik yang berisi protes terhadap pemerintah Indonesia. Kedua pemerintah, melalui Menteri Luar Negeri masing-masing saling merespon dengan dasar hukum yang diyakini. Tidak berhenti di tahun itu, konflik serupa pun terus berlanjut di tahun 2013, 2016, 2019, 2020 bahkan hingga hari ini.

Kegagalan Upaya Diplomasi dalam Konflik LCS

Sejak konflik LCS ini bergolak, Indonesia mengadopsi kebijakan non-claimant honest broker, yaitu menjadi penengah di antara Negara berkonflik terutama di forum regional ASEAN. Dari kebijakan ini, akhirnya jalan yang ditempuh selalu dengan perundingan damai, baik dalam mekanisme bilateral, regional maupun multilateral dan mengedepankan "lawfare battle" atau pertempuran hukum. Salah satu aksi Indonesia, yang diprakarsai oleh Diplomat Hasjim Djalal adalah menginisiasi workshop terkait "Managing Potential Conflicts in the South China Sea" sejak tahun 1990.

Upaya diplomasi lain atau perundingan damai yang telah ditempuh adalah kerja sama bilateral Indonesia-China pada 23 Maret tahun 2012 ditandai dengan penandatangan Mou Kerja Sama Maritim untuk menghindari kesalahpahaman. Tetapi sayangnya, setelah MoU ini disepakati pun konflik kembali muncul di tahun 2013 yang dipicu oleh masuknya kapal ikan milik China di perairan Natuna.

Kemudian kesepakatan lain yang telah ditempuh oleh claimant state melalui forum regional ASEAN antara lain; Declaration of Conduct on the South China Sea tahun 1992, Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC) tahun 2002, Guideline for the Implementation of the DoC tahun 2011, hingga Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Semua isi kesepakatan tersebut adalah mekanisme operasional terkait pencegahan konflik sampai dengan peraturan bagaimana claimant state berperilaku di kawasan LCS. Tetapi hal yang harus digarisbawahi semua kesepakatan ini hanya produk kesepakatan dalam hukum internasional dan bukan hukum yang mengikat (non-legally binding).

Maka, tidak heran bahkan setelah kesepakatan ini dibuat, pelanggaran terus dilakukan China di kawasan LCS yang bersengketa. Diplomasi dan serangkaian kesepakatan yang ada hanyalah jalan China untuk meredam isu di perairan agar tidak mencuat menjadi permasalahan nasional, regional bahkan internasional.

Bukti lain bahwa diplomasi gagal mendamaikan konflik LCS adalah insiden pada 20 Maret 2016, saat kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 milik China kembali memasuki kawasan perairan Natuna. Indonesia mengirim kapal pengawas perikanan Hiu 11 untuk menangkap kapal ikan China, tetapi digagalkan oleh kapal patroli China yang melindungi kapal ilegal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku China sama sekali tidak menghormati kesepakatan yang telah dibuat.

Sederet kasus lain yang menunjukkan bahwa diplomasi tidak mampu menghentikan pelanggaran China adalah insiden 19 desember 2019. Kapal ikan milik China kembali masuk perairan Natuna dan melakukan kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU). Sangat disayangkan, Menteri Pertahanan dan Menko Maritim dan Investasi pada era tersebut, menganggap hal ini adalah hal biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Respon dari menteri-menteri tersebut diduga karena Indonesia dan China memiliki kerja sama ekonomi yang sangat kuat dan tidak ingin permasalahan di Natuna mengganggu hubungan tersebut.

Hal ini mencerminkan bahwa ada pertentangan antara apa yang diupayakan di forum perdamaian dengan realita di lapangan. Indonesia memang memiliki serangkaian kerja sama ekonomi yang masif dengan China. Seperti di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China telah mengalirkan dana investasi ke Indonesia mencapai US$3,31 miliar melalui 1.888 proyek, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2019. Seolah tidak ingin merugi, Indonesia seolah membuat posisi China akan tetap aman dalam sengketa kawasan LCS.

Perilaku China yang mengklaim diri sebagai pemegang otoritas penuh kawasan LCS kembali terlihat pada insiden pada Agustus tahun 2021. China meminta pemerintah Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran di laut Natuna. China kemudian melayangkan 2 nota diplomatik perihal pengeboran dan latihan militer bersama Super Garuda Shield di kawasan tersebut.

Padahal tertuang dalam UNCLOS bahwa batas-batas ZEE telah ditetapkan dari setiap negara. Konsekuensi dari penetapan batas ZEE adalah hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional. Secara landasan hukum internasional yang legal, Indonesia melakukan pengeboran atau aktivitas eksploitasi sumber daya alam di wilayah yang sah dan berdaulat.

Di sisi lain, China dengan klaim nine-dash line di LCS tidak menghormati kedaulatan wilayah negara Indonesia. Karena seluruh klaim maritim yang diajukan China ini sudah ditolak oleh putusan pengadilan di Den Haag dan komunitas internasional secara keseluruhan. Perilaku China yang cenderung semena-mena di wilayah perairan menjadi alasan mengapa Indonesia harus melakukan upaya pengamanan yang lebih masif untuk melindungi potensi alam dan kepentingan strategis di perairan Natuna.

 

Potensi dan Urgensi Laut Natuna Utara

Indonesia yang secara geografis terdiri dari 70% lautan, menjadikannya sebagai negara maritim. Hal ini berarti 70% potensi sumber daya alam Indonesia seharusnya berasal dari laut. Potensi ini tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, termasuk perairan Natuna.

Perairan Natuna menyimpan cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Menurut studi Pemerintah Indonesia, cadangan migas di perairan Natuna bernilai 500 miliar dollar AS (Rp 7,25 kuadriliun). Jumlah ini terbagi ke dalam cadangan minyak bumi dan cadangan gas bumi.

Cadangan minyak bumi di Laut Natuna Utara mencapai 92,63 juta standar barel atau million stock tank barrel (MMSTB) dan cadangan potensialnya yang mencapai 137,13 juta MMSTB. Kemudian di sisi lain, cadangan gas bumi terbukti di Laut Natuna Utara mencapai 1.045,62 juta kaki kubik atau billions of standard cubic feet (BSCF). Cadangan gas alam yang tersimpan di Blok Natuna D-Alpha ini jika akan diambil dan digunakan, tidak akan habis untuk 30 tahun mendatang, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahkan dalam kajian yang dilakukan oleh kementerian ESDM pada tahun 2011 Cadangan gas alam di kepulauan Natuna adalah cadangan gas terbesar di Asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia. Dalam perhitungan matematika sederhana, cadangan gas perairan Natuna setara dengan Rp6.000 triliun, lebih besar dari pendapatan negara dalam APBN yang hanya berjumlah sekitar Rp1.700 triliun.

Selain dari gas dan minyak, sumber daya kelautan di perairan Natuna juga tidak kalah melimpah. Dari laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2017 potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711) di sekitar Laut Natuna dan Laut Natuna Utara adalah sebesar 767.126 ton. Jumlah ini terdiri dari berbagai jenis ikan seperti ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, danton lobster. Tentu saja jumlah tersebut sangat besar untuk aktivitas ekonomi dan potensi gizi pangan yang luar biasa untuk dikonsumsi masyarakat.

Jumlah sumber daya kelautan yang sangat besar menjadi magnet untuk para nelayan China, berlayar sampai ke perairan Natuna. Dari data sistem pemantauan "Skylight" pada tahun 2020, tercatat jumlah kapal asing yang masuk ke perairan Natuna bisa mencapai seribu per hari. Penelitian dilakukan pada tahun 2020 dengan selama 4 bulan. Berdasarkan sampel penelitian ini, jumlah kapal asing termasuk China yang masuk ke perairan Natuna mencapai 1.647 kapal per hari pada April, 810 kapal di Mei, 580 kapal di Juni, dan 768 kapal di Juli. Dengan masifnya aktivitas ilegal yang dilakukan oleh kapal asing, tidak terhitung kerugian materil akibat kehilangan sumber daya kelautan yang dialami Indonesia setiap harinya.

Faktor terbesar dari situasi ini adalah klaim Nine Dash Line China. Karena klaim ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Para kapal ikan ilegal asal China yang memasuki area Natuna beralasan bahwa wilayah itu merupakan "traditional fishing grounds" mereka dan tidak peduli jika realitanya wilayah Natuna adalah perairan negara Indonesia yang sah berdaulat.

Hasil penelitian dari Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI menegaskan bahwa selain dengan China, Indonesia juga bersengketa dengan Vietnam perihal klaim hak berdaulat di perairan Laut Natuna Utara. Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemantauan dan analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021 yang menyebut bahwa keamanan laut Indonesia terancam oleh dua hal yaitu illegal fishing oleh kapal ikan berbendera China dan Vietnam, dan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh Kapal Survei milik Pemerintah China. Tetapi dibanding dengan Vietnam, pelanggaran yang dilakukan China di perairan Natuna memiliki frekuensi lebih tinggi.

Hal ini membuktikan bahwa potensi sumber daya kelautan yang terkandung di perairan Laut Natuna Utara adalah hal yang sangat krusial untuk dijaga dan diamankan. Karena pada realitanya, potensi ini juga ibarat magnet bagi negara lain untuk datang dan memicu terjadinya konflik. Maka, upaya pengamanan atau sekuritisasi harus dilakukan di perairan Laut Natuna Utara. Karena urgensi dari sekuritisasi adalah untuk menjaga kedaulatan Indonesia dan mencegah terjadinya pencaplokan wilayah.

Sekuritisasi Laut Natuna Utara

Istilah sekuritisasi diambil dari studi Ilmu Hubungan Internasional dalam ruang lingkup keamanan. Menurut Buzan, seorang tokoh keamanan Hubungan Internasional, sekuritisasi adalah situasi saat sebuah negara menghadapi isu yang direpresentasikan sebagai ancaman eksistensial terhadap kelangsungan hidup suatu objek. Jika situasi ini terjadi, maka isu tersebut sudah memasuki ranah keamanan negara. Oleh karena itu, saat suatu negara menghadapi isu seperti ini, maka negara perlu untuk mempertahankan kedaulatannya dengan pertahanan militer seperti memposisikan tentara, produksi atau pengadaan senjata, dan upaya lain yang dapat mengamankan isu keamanan yang sedang berlangsung.

Untuk mengetahui bagaimana suatu isu adalah isu keamanan, Buzan menggunakan sebuah pola yaitu tidak dipolitisasi, dipolitisasi, diamankan (nonpoliticised -> politicised -> securitized). Pola ini merupakan proses keberlangsungan suatu isu di suatu negara. Jika pada mulanya isu tersebut tidak dipolitisasi atau tidak menjadi ranah perbincangan nasional, kemudian isu tersebut terus berkembang menjadi berita nasional, maka saat itulah isu tersebut membutuhkan tindakan pengamanan atau disekuritisasi. Hal ini menunjukkan urgensi dari isu tersebut yang membutuhkan strategi pengamanan yang tepat dan khusus.

Dalam konflik di perairan Natuna Utara dengan China, maupun Vietnam pada mulanya konflik ini tidak menjadi isu nasional (nonpoliticised), sehingga konflik yang terjadi seringkali diatasi melalui cara-cara diplomatik yang hanya diketahui oleh lembaga negara yang bersangkutan seperti Kementerian Luar Negeri. Setelah cara-cara diplomatik gagal dan konflik di Natuna Utara terus terjadi, maka konflik ini lama kelamaan menjadi isu nasional yang dipolitisasi. Hal ini ditandai dengan masuknya perdebatan tentang konflik Natuna Utara atau Laut China Selatan ke forum-forum diskusi atau berita nasional. Karena konflik terus berkembang dan dua proses (nonpoliticed -> politicised) sudah terjadi, artinya isu tersebut memiliki urgensi yang tinggi maka proses sekuritisasi pun tidak bisa dihindari dan harus dilakukan.

Sejauh konflik ini telah berlangsung, salah satu upaya sekuritisasi laut Natuna Utara, pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi tahun 2014 dengan memprioritaskan kebijakan maritim. Langkah ini direalisasikan dengan baik melalui UU illegal fishing yang diformulasikan oleh Menteri Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Pada era tersebut, kebijakan ini dilaksanakan dengan berani oleh Menteri Susi melalui penangkapan ataupun penarikan kapal China ke pelabuhan terdekat. Insiden yang terjadi pada 19 Maret 2016 menjadi penanda bahwa Indonesia berani mengambil langkah pengamanan yang tegas terhadap pelanggaran China di perairan ZEE Indonesia dengan cara menangkap atau menenggelamkan kapal asing. Tetapi, hal tersebut tidak menghentikan illegal fishing yang dilakukan China dengan terus menggunakan alasan "traditional fishing grounds" atau wilayah yang sudah biasa digunakan menangkap ikan secara turun-temurun.

Gestur Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang bisa diartikan sebagai upaya sekuritisasi antara lain mengadakan rapat di kapal perang RI Imam Bonjol-383 di perairan Natuna Utara, sebagai respon China terhadap insiden tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut pada tahun 2016. Hal ini menandakan bahwa perairan Natuna adalah milik Indonesia yang sah berdaulat sehingga kepala negara dan para petingginya memiliki wewenang untuk beraktivitas di wilayah tersebut. Rapat di atas kapal perang pun dilakukan beberapa kali oleh Presiden Jokowi selama masa pemerintahannya.

Sikap lain yang bisa termasuk ke dalam kategori sekuritisasi adalah penyebutan Laut Natuna Utara oleh pihak Indonesia pada berbagai wacana yang menyangkut konflik di Laut China Selatan. Hal ini merupakan Speech of Act, di mana penggunaan bahasa menekankan intensi dari penuturnya. Dengan kata lain, Indonesia ingin menegaskan bahwa Laut Natuna Utara adalah wilayah perairan berdaulat milik Indonesia dan bukan bagian dari Laut China Selatan yang disengketakan oleh China dan claimant state. Indonesia melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Kemaritiman melakukan pembaruan peta NKRI pada tahun 2017 dengan meng-update Laut Natuna menjadi Laut Natuna Utara. Tindakan ini dilakukan setelah perjanjian batas maritim Indonesia dengan negara-negara terkait seperti Filipina dan Singapura. Tetapi pembaruan nama ini belum didaftarkan di International Hydrographic Organization (IHO), sebuah organisasi internasional yang mengkoordinasikan kegiatan di perairan dan menetapkan standar dalam peta dan dokumen laut.

Upaya sekuritisasi lain yang dilakukan Indonesia adalah memperkuat kemampuan berperang di medan perairan melalui latihan militer gabungan yang disebut The ASEAN Solidarity Exercise di Natuna 2023 (ASEX-01N). Pasukan ini disebut dengan Super Garuda Shield. Indonesia dan Amerika memimpin latihan militer ini dan mencakup latihan amfibi dan Operasi Darat yang diselenggarakan Filipina, Australia dan Amerika Serikat. Latihan militer gabungan ini bukanlah merupakan yang pertama, sebelumnya Indonesia juga mengikuti The ASEAN Multinational Naval Exercise (AMNEX) di Thailand pada tahun 2017, tepat setelah konflik Laut China Selatan bergulir ke pengadilan arbitrase.

Dengan serangkaian upaya pengamanan yang telah dilakukan Indonesia, nyatanya belum cukup untuk memukul mundur China untuk berhenti melakukan pelanggaran di wilayah perairan Natuna. Hal ini disebabkan, China memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar. Apalagi jika dibandingkan dengan kekuatan militer negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia. Untuk menyikapi konflik di perairan dengan China ataupun dengan negara lain, maka Indonesia harus melakukan upaya sekuritisasi yang lebih sistematis dari segi pertahanan militer dan kebijakan.

Rekomendasi Kebijakan: Perkuat Sistem Pertahanan Militer

Potensi sumber daya yang terdapat di perairan Natuna, menjadi sebuah urgensi untuk diamankan dari pihak-pihak eksternal yang melakukan eksploitasi yang merugikan secara ekonomi dan mencederai kedaulatan. Indonesia harus segera mengambil sikap dan langkah untuk  mencegah konflik terus terjadi di perairan Natuna Utara.

Setelah mengkaji konflik maritim di perairan Natuna dengan beberapa Negara seperti China dan Vietnam, penulis merekomendasikan beberapa kebijakan yang bisa dijadikan opsi oleh pemerintah sebagai langkah sekuritisasi. Kebijakan ini terbagi ke dalam kebijakan jangka pendek dan kebijakan jangka panjang.

Sebagai rekomendasi kebijakan jangka pendek, pemerintah Indonesia harus segera melegalkan nama "Laut Natuna Utara" di International Hydrographic Organization (IHO). Hal ini bertujuan untuk menegaskan identitas wilayah Natuna adalah bagian dari Indonesia yang sah secara hukum internasional di  mata dunia. Selain itu, tujuan mendaftarkan nama Laut Natuna Utara supaya lama-kelamaan komunitas internasional menyadari bahwa wilayah perairan Natuna bukan bagian dari Laut China Selatan yang disengketakan oleh China dan claimant state.

Rekomendasi kebijakan jangka pendek lain yang penulis usulkan adalah reformulasi PP/68 tahun 2014 tentang penataan wilayah pertahanan yang nantinya akan mengatur rencana zonasi antara kawasan Laut Natuna dan Laut Natuna Utara. Mengutip dari Direktur Perencanaan Wilayah Pertahanan, Laksamana Pertama TNI Idham Faca bahwa penataan wilayah pertahanan meliputi perencanaan wilayah pertahanan, pemanfaatan wilayah pertahanan, dan pengendalian pemanfaatan wilayah pertahanan. PP ini dibuat sebelum konflik di Laut Natuna Utara memanas, sehingga aturan yang ada belum bisa mengatasi konflik yang terjadi. Formulasi PP ini harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi Indonesia dengan pertahanan dan keamanan di wilayah Natuna, termasuk pengaturan ketika pihak eksternal memasuki wilayah ini dan mengambil pemanfaatan secara ilegal.

Sebagai rekomendasi kebijakan jangka panjang, Indonesia harus segera merampungkan pembangunan pangkalan militer di wilayah perairan Natuna Utara di garis ZEE terluar. Pangkalan militer ini harus berfungsi untuk pertahanan dan keamanan, tempat pasukan militer penjaga bertugas, sekaligus kota singgah untuk para nelayan maupun kru yang bertugas di perairan. Sebagai negara maritim, memiliki pangkalan militer yang memadai untuk menampung berbagai jenis kapal besar, menjadi area pengawasan dan fasilitas pengembangan lain untuk pertahanan dan keamanan adalah sebuah keharusan.

Meskipun rencana pembangunan pangkalan militer ini telah diusung sejak 2016, tetapi setiap tahun anggaran pertahanan yang khusus dialokasikan untuk hal ini melalui Bakamla (Badan Keamanan Laut) terus menurun seperti laporan dari Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI 2021. Progres dari pembangunan pangkalan militer ini pun tidak lagi menjadi berita nasional, sehingga transparansinya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat.  Tentu saja tidak mudah dan anggaran yang harus dikeluarkan untuk pembangunan pangkalan militer akan menyentuh angka fantastis, tapi jika dilakukan secara bertahap dan menjadi prioritas pada setiap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RJPN), maka tidak mustahil Indonesia memiliki pangkalan militer seperti yang dimiliki China di LCS. Dalam 10-20 tahun mendatang, Indonesia akan memiliki identitas negara maritim dengan sistem pertahanan militer di perairan yang kuat dan membuat negara lain tidak sewenang-wenang di wilayah perairan Indonesia.

Salah satu problematika lain dari laporan yang diterbitkan Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI 2021 adalah Bakamla belum berfungsi secara optimal. Maka hal ini juga menjadi kebijakan yang harus dijadikan prioritas, terutama fungsi Bakamla yang bertugas di perairan Natuna. Dengan sumber daya manusia Indonesia yang melimpah, pemerintah bisa melakukan wajib militer bagi para pemuda (usia angkatan kerja) Indonesia terutama masyarakat sekitar yang nantinya akan ditempatkan di pangkalan militer Natuna. Melakukan wajib militer kepada masyarakat seperti yang dilakukan Korea Selatan maupun Utara tentu tidak semudah melakukan kemah pramuka, tetapi kebijakan dari negara ini bisa diadaptasi mengingat kebutuhan pasukan militer Indonesia yang begitu tinggi. Sehingga, pemerintah seharusnya dapat mengeliminasi permasalahan dari kekurangan pasukan militer dengan mengambil dari sumber daya manusia yang tersedia.

Indonesia memasuki era kepemimpinan baru, dengan seorang presiden yang berlatar belakang militer. Tentu saja, Presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto, sangat paham begitu krusialnya isu keamanan dan pertahanan di wilayah Natuna, karena hal ini telah menjadi salah satu fokus utama saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pertahanan periode 2019-2024. Maka, kebijakan untuk memperkuat sistem pertahan militer di perairan Natuna menjadi lebih mungkin dilakukan sebagai upaya sekuritisasi untuk menjaga kedaulatan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun