Perairan Natuna menyimpan cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Menurut studi Pemerintah Indonesia, cadangan migas di perairan Natuna bernilai 500 miliar dollar AS (Rp 7,25 kuadriliun). Jumlah ini terbagi ke dalam cadangan minyak bumi dan cadangan gas bumi.
Cadangan minyak bumi di Laut Natuna Utara mencapai 92,63 juta standar barel atau million stock tank barrel (MMSTB) dan cadangan potensialnya yang mencapai 137,13 juta MMSTB. Kemudian di sisi lain, cadangan gas bumi terbukti di Laut Natuna Utara mencapai 1.045,62 juta kaki kubik atau billions of standard cubic feet (BSCF). Cadangan gas alam yang tersimpan di Blok Natuna D-Alpha ini jika akan diambil dan digunakan, tidak akan habis untuk 30 tahun mendatang, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahkan dalam kajian yang dilakukan oleh kementerian ESDM pada tahun 2011 Cadangan gas alam di kepulauan Natuna adalah cadangan gas terbesar di Asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia. Dalam perhitungan matematika sederhana, cadangan gas perairan Natuna setara dengan Rp6.000 triliun, lebih besar dari pendapatan negara dalam APBN yang hanya berjumlah sekitar Rp1.700 triliun.
Selain dari gas dan minyak, sumber daya kelautan di perairan Natuna juga tidak kalah melimpah. Dari laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2017 potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711) di sekitar Laut Natuna dan Laut Natuna Utara adalah sebesar 767.126 ton. Jumlah ini terdiri dari berbagai jenis ikan seperti ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, danton lobster. Tentu saja jumlah tersebut sangat besar untuk aktivitas ekonomi dan potensi gizi pangan yang luar biasa untuk dikonsumsi masyarakat.
Jumlah sumber daya kelautan yang sangat besar menjadi magnet untuk para nelayan China, berlayar sampai ke perairan Natuna. Dari data sistem pemantauan "Skylight" pada tahun 2020, tercatat jumlah kapal asing yang masuk ke perairan Natuna bisa mencapai seribu per hari. Penelitian dilakukan pada tahun 2020 dengan selama 4 bulan. Berdasarkan sampel penelitian ini, jumlah kapal asing termasuk China yang masuk ke perairan Natuna mencapai 1.647 kapal per hari pada April, 810 kapal di Mei, 580 kapal di Juni, dan 768 kapal di Juli. Dengan masifnya aktivitas ilegal yang dilakukan oleh kapal asing, tidak terhitung kerugian materil akibat kehilangan sumber daya kelautan yang dialami Indonesia setiap harinya.
Faktor terbesar dari situasi ini adalah klaim Nine Dash Line China. Karena klaim ini berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna. Para kapal ikan ilegal asal China yang memasuki area Natuna beralasan bahwa wilayah itu merupakan "traditional fishing grounds" mereka dan tidak peduli jika realitanya wilayah Natuna adalah perairan negara Indonesia yang sah berdaulat.
Hasil penelitian dari Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI menegaskan bahwa selain dengan China, Indonesia juga bersengketa dengan Vietnam perihal klaim hak berdaulat di perairan Laut Natuna Utara. Hal ini juga diperkuat oleh hasil pemantauan dan analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021 yang menyebut bahwa keamanan laut Indonesia terancam oleh dua hal yaitu illegal fishing oleh kapal ikan berbendera China dan Vietnam, dan penelitian ilmiah kelautan tanpa izin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh Kapal Survei milik Pemerintah China. Tetapi dibanding dengan Vietnam, pelanggaran yang dilakukan China di perairan Natuna memiliki frekuensi lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa potensi sumber daya kelautan yang terkandung di perairan Laut Natuna Utara adalah hal yang sangat krusial untuk dijaga dan diamankan. Karena pada realitanya, potensi ini juga ibarat magnet bagi negara lain untuk datang dan memicu terjadinya konflik. Maka, upaya pengamanan atau sekuritisasi harus dilakukan di perairan Laut Natuna Utara. Karena urgensi dari sekuritisasi adalah untuk menjaga kedaulatan Indonesia dan mencegah terjadinya pencaplokan wilayah.
Sekuritisasi Laut Natuna Utara
Istilah sekuritisasi diambil dari studi Ilmu Hubungan Internasional dalam ruang lingkup keamanan. Menurut Buzan, seorang tokoh keamanan Hubungan Internasional, sekuritisasi adalah situasi saat sebuah negara menghadapi isu yang direpresentasikan sebagai ancaman eksistensial terhadap kelangsungan hidup suatu objek. Jika situasi ini terjadi, maka isu tersebut sudah memasuki ranah keamanan negara. Oleh karena itu, saat suatu negara menghadapi isu seperti ini, maka negara perlu untuk mempertahankan kedaulatannya dengan pertahanan militer seperti memposisikan tentara, produksi atau pengadaan senjata, dan upaya lain yang dapat mengamankan isu keamanan yang sedang berlangsung.
Untuk mengetahui bagaimana suatu isu adalah isu keamanan, Buzan menggunakan sebuah pola yaitu tidak dipolitisasi, dipolitisasi, diamankan (nonpoliticised -> politicised -> securitized). Pola ini merupakan proses keberlangsungan suatu isu di suatu negara. Jika pada mulanya isu tersebut tidak dipolitisasi atau tidak menjadi ranah perbincangan nasional, kemudian isu tersebut terus berkembang menjadi berita nasional, maka saat itulah isu tersebut membutuhkan tindakan pengamanan atau disekuritisasi. Hal ini menunjukkan urgensi dari isu tersebut yang membutuhkan strategi pengamanan yang tepat dan khusus.