Dalam konflik di perairan Natuna Utara dengan China, maupun Vietnam pada mulanya konflik ini tidak menjadi isu nasional (nonpoliticised), sehingga konflik yang terjadi seringkali diatasi melalui cara-cara diplomatik yang hanya diketahui oleh lembaga negara yang bersangkutan seperti Kementerian Luar Negeri. Setelah cara-cara diplomatik gagal dan konflik di Natuna Utara terus terjadi, maka konflik ini lama kelamaan menjadi isu nasional yang dipolitisasi. Hal ini ditandai dengan masuknya perdebatan tentang konflik Natuna Utara atau Laut China Selatan ke forum-forum diskusi atau berita nasional. Karena konflik terus berkembang dan dua proses (nonpoliticed -> politicised) sudah terjadi, artinya isu tersebut memiliki urgensi yang tinggi maka proses sekuritisasi pun tidak bisa dihindari dan harus dilakukan.
Sejauh konflik ini telah berlangsung, salah satu upaya sekuritisasi laut Natuna Utara, pertama kali dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi tahun 2014 dengan memprioritaskan kebijakan maritim. Langkah ini direalisasikan dengan baik melalui UU illegal fishing yang diformulasikan oleh Menteri Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Pada era tersebut, kebijakan ini dilaksanakan dengan berani oleh Menteri Susi melalui penangkapan ataupun penarikan kapal China ke pelabuhan terdekat. Insiden yang terjadi pada 19 Maret 2016 menjadi penanda bahwa Indonesia berani mengambil langkah pengamanan yang tegas terhadap pelanggaran China di perairan ZEE Indonesia dengan cara menangkap atau menenggelamkan kapal asing. Tetapi, hal tersebut tidak menghentikan illegal fishing yang dilakukan China dengan terus menggunakan alasan "traditional fishing grounds" atau wilayah yang sudah biasa digunakan menangkap ikan secara turun-temurun.
Gestur Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang bisa diartikan sebagai upaya sekuritisasi antara lain mengadakan rapat di kapal perang RI Imam Bonjol-383 di perairan Natuna Utara, sebagai respon China terhadap insiden tertembaknya kapal ikan Han Tan Cou oleh TNI Angkatan Laut pada tahun 2016. Hal ini menandakan bahwa perairan Natuna adalah milik Indonesia yang sah berdaulat sehingga kepala negara dan para petingginya memiliki wewenang untuk beraktivitas di wilayah tersebut. Rapat di atas kapal perang pun dilakukan beberapa kali oleh Presiden Jokowi selama masa pemerintahannya.
Sikap lain yang bisa termasuk ke dalam kategori sekuritisasi adalah penyebutan Laut Natuna Utara oleh pihak Indonesia pada berbagai wacana yang menyangkut konflik di Laut China Selatan. Hal ini merupakan Speech of Act, di mana penggunaan bahasa menekankan intensi dari penuturnya. Dengan kata lain, Indonesia ingin menegaskan bahwa Laut Natuna Utara adalah wilayah perairan berdaulat milik Indonesia dan bukan bagian dari Laut China Selatan yang disengketakan oleh China dan claimant state. Indonesia melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) bidang Kemaritiman melakukan pembaruan peta NKRI pada tahun 2017 dengan meng-update Laut Natuna menjadi Laut Natuna Utara. Tindakan ini dilakukan setelah perjanjian batas maritim Indonesia dengan negara-negara terkait seperti Filipina dan Singapura. Tetapi pembaruan nama ini belum didaftarkan di International Hydrographic Organization (IHO), sebuah organisasi internasional yang mengkoordinasikan kegiatan di perairan dan menetapkan standar dalam peta dan dokumen laut.
Upaya sekuritisasi lain yang dilakukan Indonesia adalah memperkuat kemampuan berperang di medan perairan melalui latihan militer gabungan yang disebut The ASEAN Solidarity Exercise di Natuna 2023 (ASEX-01N). Pasukan ini disebut dengan Super Garuda Shield. Indonesia dan Amerika memimpin latihan militer ini dan mencakup latihan amfibi dan Operasi Darat yang diselenggarakan Filipina, Australia dan Amerika Serikat. Latihan militer gabungan ini bukanlah merupakan yang pertama, sebelumnya Indonesia juga mengikuti The ASEAN Multinational Naval Exercise (AMNEX) di Thailand pada tahun 2017, tepat setelah konflik Laut China Selatan bergulir ke pengadilan arbitrase.
Dengan serangkaian upaya pengamanan yang telah dilakukan Indonesia, nyatanya belum cukup untuk memukul mundur China untuk berhenti melakukan pelanggaran di wilayah perairan Natuna. Hal ini disebabkan, China memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar. Apalagi jika dibandingkan dengan kekuatan militer negara-negara di ASEAN, termasuk Indonesia. Untuk menyikapi konflik di perairan dengan China ataupun dengan negara lain, maka Indonesia harus melakukan upaya sekuritisasi yang lebih sistematis dari segi pertahanan militer dan kebijakan.
Rekomendasi Kebijakan: Perkuat Sistem Pertahanan Militer
Potensi sumber daya yang terdapat di perairan Natuna, menjadi sebuah urgensi untuk diamankan dari pihak-pihak eksternal yang melakukan eksploitasi yang merugikan secara ekonomi dan mencederai kedaulatan. Indonesia harus segera mengambil sikap dan langkah untuk  mencegah konflik terus terjadi di perairan Natuna Utara.
Setelah mengkaji konflik maritim di perairan Natuna dengan beberapa Negara seperti China dan Vietnam, penulis merekomendasikan beberapa kebijakan yang bisa dijadikan opsi oleh pemerintah sebagai langkah sekuritisasi. Kebijakan ini terbagi ke dalam kebijakan jangka pendek dan kebijakan jangka panjang.
Sebagai rekomendasi kebijakan jangka pendek, pemerintah Indonesia harus segera melegalkan nama "Laut Natuna Utara" di International Hydrographic Organization (IHO). Hal ini bertujuan untuk menegaskan identitas wilayah Natuna adalah bagian dari Indonesia yang sah secara hukum internasional di  mata dunia. Selain itu, tujuan mendaftarkan nama Laut Natuna Utara supaya lama-kelamaan komunitas internasional menyadari bahwa wilayah perairan Natuna bukan bagian dari Laut China Selatan yang disengketakan oleh China dan claimant state.