Kita tentu mengenal istilah “kriminalisasi”. Kekuasaan atau oknum kekuasaan dapat menciptakan sebuah skenario “pelanggaran hukum” agar lawan politik atau orang yang tidak disukai mendekam di penjara, dan tangan yang paling logis dan halus untuk digunakan adalah tangan kepolisian. Secara lucu-lucuan, para aktivis bahkan bilang untuk tidak bermain-main dengan “polisi”, karena dengan perangkat yang dimiliki, “polisi” bisa memenjarakan seseorang dengan tuduhan kasus yang kadang tidak masuk akal dan tanpa bukti. Dalam perjalanan sejarah peristiwa, banyak terjadi kasus disebutkan diatas. Seorang aktivis yang dianggap anti pemerintah atau dianggap ‘berbahaya’ bagi kepentingan politik segelintir oknum dalam kekuasaan, kerap akhirnya dipenjara. Mereka dikenakan pasal-pasal yang penuh rekayasa, dan bahkan terkadang terkesan lucu. Dalam banyak kasus pula, oknum kepolisian kerap memenjarakan seseorang atas permintaan orang tertentu dengan imbalan sejumlah uang. Ini lazim kita sebut sebagai KRIMINALISASI.
Sebaliknya, kita juga kerap melihat, untuk pelanggaran hukum yang dilakukan terang terbuka, karena pelakunya adalah penguasa atau seseorang yang dekat dengan penguasa, terkadang oknum kepolisian justru membiarkannya bebas kemanapun. Dan prosesnya dibuat amat lambat. Dan untuk itu argumen yang paling elegan adalah “asas praduga tak bersalah”. Sebuah asas yang diberlakukan tebang pilih.
Nah, bagaimana positioning kepolisian saat ini dalam hiruk pikuk politik yang datang bak badai? Apakah praktik disebut diatas terjadi atau sebaliknya, dibawah Jenderal Tito Karnavian, Kepolisian Negara memposisikan diri secara institusional sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Kenapa penulis memaparkan terlebih dahulu penjelasan diatas,hal ini menjadi uptodate dengan kondisi politik hari ini. Kepolisian Negara berada ditengah berbagai tuduhan, “melindungi” Ahok karena dianggap dekat dengan kekuasaan, sekaligus juga mentersangkakan dan bahkan menangkap beberapa orang karena tuduhan makar. Persoalan timbul dikarenakan perkara kecepatan kepolisian merespon kedua kasus yang dipandang berbeda oleh beberapa pihak. Terhadap Ahok, polisi dianggap lambat, terhadap para tersangka makar, polisi dipandang ekstra cepat.
Tito Karnavian, sang nakhoda Kepolisian Negara tentu diberi posisi yang teramat sulit dan dilematis. Walaupun secara cepat, Tito menjawab tuduhan melindungi dan memperlambat proses hukum terhadap Ahok dengan segera mentersangkakan Ahok dan melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan. Kita harus mengakui, bahwa proses mentersangkakan Ahok dilakukan dengan amat rapih dan kemudian meredakan tuntutan berbagai pihak. Proses itu disusul dengan manuver Tito yang amat tangkas dengan segera menyambangi beberapa ormas Islam yang menuntut agar Ahok segera dijadikan tersangka, yang berujung pada kesepakatan Kapolri dengan pihak penggerak aksi massa 2 Desember 2016 tentang aksi damai di Monas. Langkah taktis tersebut, harus diakui kemudian mendinginkan suhu politik yang cenderung memanas pasca aksi massa 4 November 2016.
Disaat yang hampir bersamaan, kepolisian juga menciduk beberapa orang yang dianggap melakukan perencanaan makar. Tak kurang, puteri proklamator Bung Karno, Rahmawati Soekarnoputri, dua purnawirawan perwira tinggi AD, hingga musisi Ahmad Dhani serta aktivis senior Sri Bintang Pamungkas ikut ditangkap. Tak ayal, berbagai pihak mengkritik langkah penangkapan ini.
Dari cerita diatas, maka secara subjektif kita bisa saja menganalogikannya dengan ‘perilaku menyimpang’ oknum kepolisian terkait lambat menahan atau cepat menangkap. Bagi kelompok yang berada diluar kekuasaan, praktik tersebut dapat dipandang sebagai perilaku tebang pilih kepolisian dalam menjalankan dua kasus hukum. Yang satu dianggap harus ditekan dulu baru ditersangkakan, yang satu tanpa tedeng aling-laing langsung ditangkap.
Namun secara objektif dapat saja kita melihat kedua kasus dalam konteks yang berbeda. Dimana kepolisian memiliki hak subjektif dalam bersikap terhadap sebuah kasus.
Tetapi marilah kita memberi ruang bagi kepolisian untuk menjawab segala tudingan dengan cara yang paling elegan. Kepolisian diujung ketidakyakinan publik, dan tentu saja seluruh jajaran kepolisian wajib menjawabnya. Di era kepemimpinannya inilah, Tito dituntut agar mau dan mampu membersihkan aparatur kepolisian dari praktik menyimpang seperti tersebut diatas. Tito menghadapi tantangan maha besar, yakni kesangsian publik terhadap praktik penegakan hukum oleh kepolisian.
Benar, bahwa di masa lalu, banyak oknum polisi yang bisa diperalat kekuasaan atau oknum kekuasaan untuk memenjarakan orang dengan berbagai cara. Benar bahwa di masa lalu, banyak oknum polisi yang bisa dibayar oknum tertentu untuk memenjarakan orang dengan imbalan sejumlah uang. Tapi, benarlah pula bahwa Tito punya kesempatan memperbaiki kinerja, mentalitas dan watak anggota kepolisian, agar tidak lagi melakukan praktik menyimpang yang berakibat kepada hilangnya kemerdekaan seseorang dan runtuhnya hak memperoleh keadilan dari seorang warga negara.
Tito Karnavian diawal masa jabatannya menjumpai ujian berat. Ia tidak hanya harus memperlihatkan objektifitasnya dalam memandang sebuah peristiwa hukum. Tetapi juga disaat yang sama harus melakukan pembenahan internal ditubuh Kepolisian Negara dari oknum-oknum nakal yang bertahun-tahun terbiasa berperilaku menyimpang. Sebagai seorang perwira lulusan akademi kepolisian penerima bintang Adhi Makayasha dengan banyak prestasi, Tito dituntut memperlihatkan performa dan kualitasnya sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian Negara.