Mohon tunggu...
Politik

Menatap Kepolisian Negara Ditengah Badai Politik

14 Desember 2016   23:19 Diperbarui: 14 Desember 2016   23:38 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/Tito_Karnavian

Memperhatikan situasi politik terkini yang menghangat, kita menjadi ikut memperhatikan sikap Kepolisian Negara, yang dalam tugas dan kewenangannya pada akhirnya bersinggungan secara langsung dengan situasi keamanan nasional.

Kepolisian sebagai penanggungjawab keamanan nasional, segera menjadi sorotan publik, berkaitan dengan kebijakan tekhnis yang diambil dalam menjalankan kewajibannya, menjaga stabilitas keamanan.

Polisi, mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya harus memposisikan dirinya sebagai garda terdepan dalam perkara keamanan nasional. Suatu hak sekaligus kewajiban yang memiliki resiko mendapatkan pujian berikut makian. Karena publik melihat kinerja tersebut secara telanjang, transparan.

Marilah kita melihat kondisi dilematis yang dihadapi oleh kepolisian.  Menilik dari khitahnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawahPresiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesiayaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Kondisi ini yang kerap membuat kepolisian berhadapan dengan kondisi dilematis, terutama jika kemudian terjadi friksi politik antara rakyat terhadap penguasa, dalam hal ini Presiden, yang notabene adalah pimpinan diatas pucuk pimpinan Kepolisian Negara, Kapolri. Kita tahu, bahwa Polri dipimpin oleh seorangKepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang sejak 13 Juli 2016 jabatan Kapolri dipegang olehJenderal Polisi Tito Karnavian.

Tetapi kita akhirnya harus menjadi permisif terhadap kebijakan kepolisian berkaitan dengan tindakan yang dipandang secara objektif, dianggap telah mengganggu ketertiban umum, melanggar hukum. Hal tersebut sudah sesuai dengan tugas pokok Kepolisian Negara. Tentunya tanpa harus mengabaikan tugasnya menjadi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Berkaitan dengan adanya aksi unjuk rasa yang belakangan ini marak berhubungan dengan tuntutan sebagian masyarakat agar gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok segera ditersangkakan, untuk kemudian juga dituntut untuk segera ditahan, kepolisian menemui situasi yang amat dilematis. Karena kita tahu, persoalan mentersangkakan, apalagi menahan seseorang yang dipandang telah melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum adalah hak subjektif kepolisian.

Bukankah kita telah sepakat, bahwa dalam menjalankan tugasnya, kepolisian harus bebas dari intervensi dan tekanan pihak manapun? Maka dengan memberi ruangyang cukup proporsional kepada kepolisian, berarti kita telahikut serta untuk tidak melakukan intervensi dan tekanan. Apakah hal ini dipahami?

Penulis mencatat, beberapa hal yang terjadi telah membuat pihak-pihak kemudian melewati batas kewajarannya, terutama dengan melanggar kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dan tekanan kepada pihak kepolisian dalam menegakkan keadilan dalam sebuah kasus hukum.

Kita tentu tidak melihat situasi ini dalam konteks keberpihakan kepada pihak tertentu. Penulis melihat, dalam praktiknya seharusnya teramat sulit bagi kita untuk melakukan aksi apapun dalam mengintervensi dan menekan kepolisian dalam bersikap terhadap sebuah peristiwa hukum. Sekalipun tekanan dilakukan dalam bentuk pengerahan massa besar-besaran. Karena jika saja, kepolisian mudah diintervensi atau ditekan untuk bersikap, maka itu sama saja dengan menceburkan kepolisian kedalam jurang kesalahan yang amat dalam.

Sering kita menyaksikan, ada pihak yang menuduh kepolisian dalam menjalankan tugasnya telah diintervensi oleh kekuasaan, atau setidaknya oknum kekuasaan. Awam melihat, pihak yang berada dalam kekuasaan memiliki kendali taktis untuk secara diam-diam melakukan intervensi terhadap kepolisian dalam sebuah kasus. Istilahnya bahkan, bisa menitip ‘pesanan’, apakah memenjarakan orang atau sebaliknya membebaskan orang. Melalui akses politik yang dimiliki selaku seseorang yang berada dalam sistem kekuasaan, oknum tertentu bisa memenjarakan lawan politik, tetapi juga sekaligus bisa ‘membebaskan’ sekutu politiknya dari jerat hukum.

Kita tentu mengenal istilah “kriminalisasi”. Kekuasaan atau oknum kekuasaan dapat menciptakan sebuah skenario “pelanggaran hukum” agar lawan politik atau orang yang tidak disukai mendekam di penjara, dan tangan yang paling logis dan halus untuk digunakan adalah tangan kepolisian. Secara lucu-lucuan, para aktivis bahkan bilang untuk tidak bermain-main dengan “polisi”, karena dengan perangkat yang dimiliki, “polisi” bisa memenjarakan seseorang dengan tuduhan kasus yang kadang tidak masuk akal dan tanpa bukti. Dalam perjalanan sejarah peristiwa, banyak terjadi kasus disebutkan diatas. Seorang aktivis yang dianggap anti pemerintah atau dianggap ‘berbahaya’ bagi kepentingan politik segelintir oknum dalam kekuasaan, kerap akhirnya dipenjara. Mereka dikenakan pasal-pasal yang penuh rekayasa, dan bahkan terkadang terkesan lucu. Dalam banyak kasus pula, oknum kepolisian kerap memenjarakan seseorang atas permintaan orang tertentu dengan imbalan sejumlah uang. Ini lazim kita sebut sebagai KRIMINALISASI.

Sebaliknya, kita juga kerap melihat, untuk pelanggaran hukum yang dilakukan terang terbuka, karena pelakunya adalah penguasa atau seseorang yang dekat dengan penguasa, terkadang oknum kepolisian justru membiarkannya bebas kemanapun. Dan prosesnya dibuat amat lambat. Dan untuk itu argumen yang paling elegan adalah “asas praduga tak bersalah”. Sebuah asas yang diberlakukan tebang pilih.

Nah, bagaimana positioning kepolisian saat ini dalam hiruk pikuk politik yang datang bak badai? Apakah praktik disebut diatas terjadi atau sebaliknya, dibawah Jenderal Tito Karnavian, Kepolisian Negara memposisikan diri secara institusional sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Kenapa penulis memaparkan terlebih dahulu penjelasan diatas,hal ini menjadi uptodate dengan kondisi politik hari ini. Kepolisian Negara berada ditengah berbagai tuduhan, “melindungi” Ahok karena dianggap dekat dengan kekuasaan, sekaligus juga mentersangkakan dan bahkan menangkap beberapa orang karena tuduhan makar. Persoalan timbul dikarenakan perkara kecepatan kepolisian merespon kedua kasus yang dipandang berbeda oleh beberapa pihak. Terhadap Ahok, polisi dianggap lambat, terhadap para tersangka makar, polisi dipandang ekstra cepat.

Tito Karnavian, sang nakhoda Kepolisian Negara tentu diberi posisi yang teramat sulit dan dilematis. Walaupun secara cepat, Tito menjawab tuduhan melindungi dan memperlambat proses hukum terhadap Ahok dengan  segera mentersangkakan Ahok dan melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan. Kita harus mengakui, bahwa proses mentersangkakan Ahok dilakukan dengan amat rapih dan kemudian meredakan tuntutan berbagai pihak. Proses itu disusul dengan manuver Tito yang amat tangkas dengan segera menyambangi beberapa ormas Islam yang menuntut agar Ahok segera dijadikan tersangka, yang berujung pada kesepakatan Kapolri dengan pihak penggerak aksi massa 2 Desember 2016 tentang aksi damai di Monas. Langkah taktis tersebut, harus diakui kemudian mendinginkan suhu politik yang cenderung memanas pasca aksi massa 4 November 2016.

Disaat yang hampir bersamaan, kepolisian juga menciduk beberapa orang yang dianggap melakukan perencanaan makar. Tak kurang, puteri proklamator Bung Karno, Rahmawati Soekarnoputri, dua purnawirawan perwira tinggi AD, hingga musisi Ahmad Dhani serta aktivis senior Sri Bintang Pamungkas ikut ditangkap. Tak ayal, berbagai pihak mengkritik langkah penangkapan ini.

Dari cerita diatas, maka secara subjektif kita bisa saja menganalogikannya dengan ‘perilaku menyimpang’ oknum kepolisian terkait lambat menahan atau cepat menangkap. Bagi kelompok yang berada diluar kekuasaan, praktik tersebut dapat dipandang sebagai perilaku tebang pilih kepolisian dalam menjalankan dua kasus hukum. Yang satu dianggap harus ditekan dulu baru ditersangkakan, yang satu tanpa tedeng aling-laing langsung ditangkap.

Namun secara objektif dapat saja kita melihat kedua kasus dalam konteks yang berbeda. Dimana kepolisian memiliki hak subjektif dalam bersikap terhadap sebuah kasus.

Tetapi marilah kita memberi ruang bagi kepolisian untuk menjawab segala tudingan dengan cara yang paling elegan. Kepolisian diujung ketidakyakinan publik, dan tentu saja seluruh jajaran kepolisian wajib menjawabnya. Di era kepemimpinannya inilah, Tito dituntut agar mau dan mampu membersihkan aparatur kepolisian dari praktik menyimpang seperti tersebut diatas. Tito menghadapi tantangan maha besar, yakni kesangsian publik terhadap praktik penegakan hukum oleh kepolisian.

Benar, bahwa di masa lalu, banyak oknum polisi yang bisa diperalat kekuasaan atau oknum kekuasaan untuk memenjarakan orang dengan berbagai cara. Benar bahwa di masa lalu, banyak oknum polisi yang bisa dibayar oknum tertentu untuk memenjarakan orang dengan imbalan sejumlah uang. Tapi, benarlah pula bahwa Tito punya kesempatan memperbaiki kinerja, mentalitas dan watak anggota kepolisian, agar tidak lagi melakukan praktik menyimpang yang berakibat kepada hilangnya kemerdekaan seseorang dan runtuhnya hak memperoleh keadilan dari seorang warga negara.

Tito Karnavian diawal masa jabatannya menjumpai ujian berat. Ia tidak hanya harus memperlihatkan objektifitasnya dalam memandang sebuah peristiwa hukum. Tetapi juga disaat yang sama harus melakukan pembenahan internal ditubuh Kepolisian Negara dari oknum-oknum nakal yang bertahun-tahun terbiasa berperilaku menyimpang. Sebagai seorang perwira lulusan akademi kepolisian penerima bintang Adhi Makayasha dengan banyak prestasi, Tito dituntut memperlihatkan performa dan kualitasnya sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian Negara.

Keluar, Tito harus memperlihatkan dirinya bukan hanya sebagai pimpinan kepolisian, tapi juga harus mampu menjadi simbol perubahan kinerja, mentalitas dan watak anggota kepolisian yang mampu bersikap adil, bebas dari berbagai tekanan dan kepentingan sekaligus menjadi pengayom dan pelindung masyarakat. Kedalam, Tito harus melakukan perubahan fundamental kepada jajarannya, agar perilaku menyimpang dan merugikan yang dapat berakibat pada hilangnya kemerdekaan seseorang dan terampasnya keadilan dikarenakan praktik pelaksanaan hukum yang keliru dan sarat muatan kepentingan, dapat dihentikan. Tanpa pandang bulu, Tito harus mampu membersihkan tubuh kepolisian dari oknum yang memiliki kinerja buruk dan kotor, bermental maling dan suka memeras, serta berwatak hanya ingin menghukum orang, bukan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dan untuk itu semua, Tito harus membuktikan dirinya dapat lolos dari ujian, sehingga menjadi pelengkap deretan prestasinya dan memiliki nilai kepantasan yang simetris dengan kualitasnya.

Dipundak Tito, profesionalitas Kepolisian Negara dipertaruhkan. Ia menjadi garda terdepan bagi kepolisian dalam menjawab keraguan publik. Dan untuk itu, kita, masyarakat umum wajib memberinya berjuta kesempatan dan kepercayaan. Karena hanya dengan dukungan publik, Tito dapat menjawab keraguan khalayak dengan prestasi, sekaligus menghempas oknum polisi nakal dan penuh muatan kepentingan, demi melakukan upaya bersih-bersih di internal Kepolisian Negara. Ditangan Tito, diharapkan para anggota kepolisian memiliki jiwa Tri Brata yang sesungguhnya, mempunyai jiwa dan semangat korsa, rasa memiliki yang amat tinggi pada korps kepolisian. Sehingga tidak ada lagi saling sikut, saling injak, saling menjatuhkan hanya untuk naik pangkat atau menduduki jabatan yang penting. Semua langkah ditempuh hanya demi kehormatan korps dalam memenuhi panggilan negara. Kita tunggu bersama.

Irwan Suhanto

Penulis pernah mendapat perlakuan kriminalisasi ditangkap dan ditahan melalui prosedur menyimpang oleh oknum kepolisian,

Di vonis satu tahun penjara, menjalani tujuh bulan masa hukuman

Putera seorang Perwira POLRI Anumerta penerima Bintang Satya Nararya

Tinggal di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun