Mohon tunggu...
Politik

Menantang Harris Azhar Menghadirkan Negara ke Dalam Penjara

5 Agustus 2016   11:10 Diperbarui: 5 Agustus 2016   11:20 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca berbagai pemberitaan berkaitan dengan kasus Freddy Budiman, orang yang baru saja menjalani hukuman mati karena tuduhan gembong narkoba, kita lalu terseret kepada figur Harris Azhar, sang kordinator Kontras. Harris dalam kicauannya di media sosial menyampaikan beberapa fakta mengejutkan, setidaknya menurut versi Freddy, tentang adanya ‘kongkalikong’ oknum aparat yang ikut serta bekerjasama dengan Freddy dalam menjalankan bisnis narkobanya. Tak urung, pihak kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan lembaga lain yang disebut Freddy langsung bereaksi. Kabar terakhir, terdengar kabar Harris resmi dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan pencemaran nama baik.

Sebagian pihak menuduh Freddy melakukan “akrobat terakhir” sebelum ia dieksekusi mati. Tuduhan itu diperkuat oleh fakta bahwa Freddy memang kerap menciptakan banyak kontroversi sejak ia ditangkap. Sebagian menuduh Harris Azhar membuka tabir yang disampaikan Freddy karena sedang menjalankan ‘agenda’ menunda eksekusi mati Freddy. Keduanya terdengar nyinyir.

Sebagian yang lain justru kemudian mengamini kesaksian Freddy tersebut. Diantara mereka kemudian berpendapat agar kesaksian Freddy harus segera diungkap, ditindaklanjuti.

Yang mana yang benar, itu tetaplah misteri, mengingat Freddy telah meninggal dunia. Tetapi kemudian opini terkesan digiring agar Harris segera membuktikan kicauannya, ujungnya adalah laporan ke Bareskrim Mabes Polri. Harris mungkin saja menyimpan kartu truff yang ia sembunyikan untuk kemudian dipergunakan disaat yang tepat. Mungkin saja justru sebenarnya Harris tak memiliki apapun kecuali kesaksian sepihak Freddy Budiman.

Marilah kita membaca pertikaian opini diatas secara wajar dan jujur. Kontras, seperti juga lembaga non-pemerintah lainnya, selama ini diharapkan bisa menjadi “corong” rakyat Indonesia, utamanya ketika terjadi kebuntuan aspirasi, sebuah deadlock. Kontras diharapkan menjadi garda terdepan bagi rakyat untuk menuntut keadilan yang terinjak oleh negara maupun oleh oknum aparat negara, berkait tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, intimidasi maupun bentuk kekerasan lain yang dianggap melanggar hak asasi manusia. Nah, pertanyaannya adalah apakah Freddy adalah narapidana pertama yang menyampaikan fakta sejenis kepada Kontras ataukah ternyata sudah ratusan napi korban kesalahan aparat yang telah melaporkan fakta yang terjadi sebelum Freddy. Kalau Freddy menjadi napi pertama yang berani ‘lapor’, maka amat sangat wajar baru kali ini Kontras bergerak, walaupun seharusnya, sudah menjadi rahasia umum berita bisik-bisik terjadi banyak pelanggaran hak asasi dan tindak kekerasan yang menimpa para napi, sekalipun tanpa ada pengakuan Freddy. 

Apakah Kontras memfungsikan lembaganya sebagai institusi pasif, yang hanya menunggu bola, menunggu laporan dan pengakuan. Atau justru Kontras, selama ini menjadi lembaga proaktif yang rajin menggali issue dan lalu kemudian menindaklanjutinya. Jika sebelum ini Kontras telah kerap menerima laporan dari para napi terkait kekerasan dan kesalahan prosedur yang dilakukan oknum aparat, maka pertanyaannya menjadi leih gamblang, kenapa Kontras memilih pengakuan Freddy untuk ‘menggebuk’ perilaku keliru oknum aparat tersebut. Kenapa Kontras kali ini hingar bingar, terdengar berisik tentang pelanggaran prosedur oknum aparat didalam penjara. Anggaplah, mungkin Kontras di era Harris kali inilah yang ‘lebih berani’ bersuara.

Yang menarik untuk dipertanyakan adalah, apakah output langkah nekat Harris ini? Akankah memang bermaksud untuk merapihkan aparat hukum kita dari praktik menyimpang, memanfaatkan momentum Revolusi Mental yang dikumandangkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ataukah persoalan ini, sama dengan banyak kasus lain yang melibatkan aparat, kemudian hanya akan menguap lalu menghilang tanpa kelanjutan apapun. Akankah ada penuntasan yang jelas, atau malah hanya akan jadi sebatas perang opini, perang pemberitaan. Harris dan Kontras lah yang tahu jawabannya.

Tapi marilah kita berprasangka baik kepada Harris dan Kontras. Dan jika saja apa yang diikhtiarkan Harris dan Kontras adalah soal keadilan seorang anak manusia, yang kebetulan saja bernama Freddy Budiman, seorang gembong narkoba, maka kita semua harus mau menyatu barisan bersama Harris dan Kontras membongkar kebobrokan perilaku aparat hukum kita. Kita tidak boleh memandang Freddy sebagai seorang gembong narkoba, tidak boleh memandang Freddy hanya sebagai napi, tapi marilah kita memandang Freddy sebagai manusia, sebagai rakyat negara ini. 

Kita harus mau membedakan dua fakta, persoalan hukum yang dihadapi Freddy di satu sisi dan hak asasi Freddy sebagai manusia di sisi yang lainnya. Dan itu seharusnya berlaku kepada semua napi, tidak hanya Freddy. Bukan berarti pengakuan seorang napi tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Toh, menjadi napi tidak serta merta mencabut status rakyat yang melekat pada mereka. Dan sekali lagi, status napi tidak pula serta merta berarti mereka layak menerima perlakuan menyimpang apapun dari oknum aparat.

Jika kita menilik kesaksian Freddy, maka yang menjadi fokus adalah tentang adanya keterlibatan oknum aparat yang selama ini ikut serta mengamankan bahkan ikut serta bermain secara langsung membantu Freddy menjalankan bisnis narkobanya. Lainnya adalah tentang adanya privilage, keistimewaan yang diterima Freddy selama dalam penjara, sampai-sampai konon Freddy bisa tetap menjalankan bisnis haramnya. Titik krusialnya adalah kenapa hanya Freddy yang dipenjara, bahkan kemudian di eksekusi mati, jika benar ada oknum aparat negara yang sebenarnya ikut terlibat.

Harris dan Kontras Harus Memahami Apa Yang Dihadapi Narapidana

Persoalan yang dialami Freddy bukanlah persoalan terberat seorang napi. JIka seorang kriminal, main api dengan aparat dalam menjalankan aksi kejahatannya tapi kemudian sang aparat cuci tangan dengan lalu mengorbankan si kriminal, itu perkara lumrah dalam hukum kejahatan. Penyelesaiannya kelewat mudah, sebut saja nama aparat yang bersangkutan, lalu usut keterlibatannya secara tuntas. Tapi faktanya dalam kasus Freddy mungkin saja menjadi lebih besar efeknya, karena disinyalir berkaitan dengan keterlibatan petinggi BNN, Polisi dan TNI, serta melibatkan pula uang besar yang beredar dalam bisnis narkoba Freddy.

Lebih dari itu, sesungguhnya persoalan terberat para napi adalah perlakuan hukum yang menyimpang dari terlalu banyak oknum polisi, jaksa dan hakim yang kemudian membuat mereka tercebur dalam masa pemenjaraan yang dalam menjalankan proses tersebut masih juga dikepung oleh praktik menyimpang para oknum petugas penjara. Harris harus membawa Kontras masuk kedalam fakta itu. Karena persoalan Freddy hanyalah butir pasir dalam luasnya ‘hamparan pantai’ kesalahan sistemik perilaku oknum aparat kita. Dan Harris harus berani masuk kesana, ia tidak boleh mengecilkan nyali Kontras.

Harris harus mau dan berani membongkar sindikat kekerasan terhadap tahanan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian selama masa pemeriksaan di kantor polisi. Harris harus tahu bahwa dikantor-kantor polisi tertentu, penyiksaan terhadap tahanan dianggap sebagai praktik yang wajar dan biasa, bahkan jadi hiburan bagi polisi pemeriksa.

 Bentuk penyiksaan seperti menutup mata tersangka dengan lakban, memukuli dengan tangan atau alat, menendang sampai dengan menyetrum tahanan dan bahkan menembak kaki tahanan dari jarak dekat padahal tahanan tidak melarikan diri, menjadi suatu fakta yang ditutup rapat. Selanjutnya, tahanan yang disiksa, baru dapat dibesuk pihak keluarga setelah luka bekas siksaan yang mereka alami sembuh dan tak berbekas. Belum lagi intimidasi verbal yang dialami seorang tahanan ketika mereka diperiksa. 

Banyak dari mereka dipaksa menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, tidak diberi hak mendapatkan pendampingan penasehat hukum. Dimintai sejumlah uang oleh oknum aparat dengan berbagai alasan, dari mulai minta uang rokok, uang pulsa sampai dengan tawaran imbalan meringankan pasal yang dikenakan, bahkan untuk tawaran penutupan kasus alias delapanenam. Dan lagi tidak sedikit tahanan yang dipenjara karena hanya sekedar sebuah pengakuan, yang lalu atas alasan pengembangan kasus lalu dinyatakan layak ditindaklanjuti.

Banyak pihak yang terkait boleh saja berkelit dan mengatakan bahwa fakta itu palsu dan tuduhan kosong. Tapi Harris tidak boleh berhenti mengungkap kasus karena alasan bukti-bukti. Kalau polisi boleh langsung menahan dan menetapkan seseorang dalam status tersangka hanya karena sebuah ‘pengakuan’ dan mencari bukti belakangan, kenapa Kontras tidak memulai penyelidikan fakta-fakta tadi juga hanya berdasarkan pengakuan, lalu membuktikannya kemudian? Pertanyaannya adalah, pengakuan siapa? Jelas pengakuan para tahanan yang telah menjalani masa pidana mereka di penjara, baik rutan maupun lapas. 

Didalam penjara, para tahanan yang telah bergelar narapidana atau napi akan lebih berani bersaksi. Mereka tidak lagi takut dan khawatir akan disiksa oleh oknum polisi yang pernah menyiksa mereka. Harris harus mendorong Kontras yang dipimpinnya masuk ke penjara untuk menggali fakta. Bertemu dan berdialog dengan para napi tanpa adanya rekayasa, merasakan perihnya penderitaan dari ketidakadilan yang menimpa mereka. Pengakuan para napi terkait penyiksaan, kesalahan prosedur pemeriksaan dan pemerasan oknum aparat polisi diyakini akan menjadi bola salju amunisi bagi Kontras membongkar ketidak-benaran sistem hukum di republik ini. 

Kontras tidak boleh takut pada propaganda negatif yang sangat mungkin dituduhkan bahwa manuver menggali keterangan dari para napi ke penjara adalah upaya melemahkan kepolisian secara kelembagaan. Kontras tidak sedang mengorek-ngorek luka borok. Kontras sedang berikhtiar mengungkap fakta. Outputnya adalah pembenahan mentalitas SDM anggota kepolisian, sekaligus memberikan efek jera bagi para oknum anggota polisi yang gemar menyiksa tahanan. Dan saat ini adalah saat yang tepat, mengingat agenda utama Kapolri baru, Jenderal Tito Karnavian adalah pembenahan SDM dalam tubuh Polri. Dalam konteks ini maka gerakan Harris dan Kontras tersebut akan senafas seirama dengan agenda Kapolri.

Selanjutnya, apa yang dihadapi para napi setelah mereka dilimpahkan ke kejaksaan tidak kurang buruk. Dibanyak kasus, napi tidak juga memperoleh kesempatan menganulir atau menyangkal hasil pemeriksaan polisi yang keliru dan menyimpang kepada mereka, sekalipun mereka telah menyampaikan kepada jaksa penuntut umum saat mereka dilimpahkan. Banyak oknum jaksa memilih ikut menekan napi, mereka berkolaborasi dengan oknum polisi pemeriksa. 

Dan yang gila dan tak masuk akal, banyak oknum jaksa melarang napi menggunakan penasehat hukum saat bersidang dengan alasan akan membuat proses sidang menjadi lama. Freddy mungkin lebih beruntung ketimbang napi lain yang tidak memiliki uang sebanyak dia. Dengan uangnya reddy masih berkesempatan didampingi penasehat hukum. Cukup banyak juga oknum jaksa yang memberikan penawaran jasa ‘meringankan tuntutan dan putusan’ dengan imbalan sejumlah uang. 

Untuk hal ini, Harris dan Kontrasnya dapat juga mewawancarai para napi di penjara secara langsung. Bukan untuk melemahkan institusi kejaksaan, tapi untuk mendorong lembaga kejaksaan untuk menertibkan mentalitas para jaksa. Dan bagi Kontras, tentu saja dapat membantu para napi mendapatkan keadilan yang semestinya.

Di pengadilan, para napi juga masih harus berjuang melawan ketidakadilan sistem hukum. Banyak oknum hakim justru tidak memposisikan diri sebagai pemberi keadilan, tetapi justru pemberi hukuman. Semangat mereka bukan memberikan keadilan, tapi lebih kepada memenjarakan orang. Oknum hakim yang mungkin saja telah menerima imbalan dari pihak yang berperkara dengan para napi, bahkan justru menggenapi penderitaan moral para napi dengan memposisikan diri sebagai penghukum yang ‘mematikan’. Bagi mereka, fakta adalah ilusi yang harus terus dipatahkan.

 Harris dan Kontras harus melihat hal ini sebagai bentuk kekerasan mental, karena akibat vonis para oknum hakim yang kotor itulah kemudian muncul kerusakan mental yang tidak mudah diatasi oleh para napi. Instabilitas perilaku dan kerusakan mental itulah yang kemudian hanya akan memberi tiga ancaman besar, napi menjadi gila dan sakit jiwa, napi menjadi brutal dan menyukai kekerasan, bahkan tidak sedikit napi yang memutuskan bunuh diri dengan berbagai cara.

Yang terakhir adalah kondisi napi selama di lapas. Fase inilah yang kerap dibesar-besarkan. Pihak penjara, yakni rutan dan lapas kerap dipersalahkan karena adanya napi yang depresi, mengamuk atau bahkan bunuh diri. Padahal semua itu terjadi akibat rentetan panjang kekacauan proses hukum yang dilakukan secara sistemik oleh oknum polisi, jaksa dan hakim. 

Memang ada pula oknum petugas rutan yang kerap memeras napi, memberlakukan ‘pungutan wajib’, dan bahkan ikut serta melakukan tindak kekerasan terhadap tahanan. Khusus hal itu Kontras juga harus membuat catatan khusus, mengingat terkadang benturan antara napi dengan petugas penjara memiliki dua aspek, mentalitas napi yang sudah rusak akibat proses hukum yang menyimpang berhadapan dengan karakteristik petugas rutan yang menjadi mendua diantara ingin menegakkan ketertiban dan adanya oknum yang bersikap over-acting.

Para napi juga hanya mendapatkan fasilitas seadanya, makan seadanya, kesehatan seadanya, air seadanya, tempat tidur seadanya dan kendala anggaran menjadi alasan satu-satunya. Kondisi tersebut hanya bisa berubah jika kemudian napi mengeluarkan sejumlah ‘ongkos’ yang diserahkan kepada oknum petugas penjara. Freddy lebih beruntung lagi. Jika kita melihat kesaksiannya, Freddy mendapatkan keistimewaan yang luar biasa dari petugas lapas. Satu saja hal yang jauh bertolak belakang dari apa yang diterima oleh mayoritas napi yang justru hidup serba seadanya, kalau tidak mau dibilang kekurangan, karena tidak memiliki uang sebesar Freddy. 

Harris dan Kontras harus membuka mata fakta itu. Sesuai dengan tugas dan fungsi tujuan dibangunnya Kontras maka yang seharusnya dijadikan agenda utama adalah persoalan kondisi napi yang serba kurang, bukan hanya menyelidik oknum petugas rutan yang menerima pembayaran dari perlakuan istimewa kepada sedikit napi yang punya banyak uang. Harris dan Kontras harus mempertegas keberpihakan perjuangan mereka.

Membaca banyak hal diatas maka kita akan sepakat bahwa seyogyanya Harris Azhar dan Kontras tidak hanya berjuang bagi hak-hak seorang Freddy Budiman. Harris dan Kontras harus berjuang bagi kepentingan jutaan napi dan mantan napi yang hak-haknya sebagai manusia dilanggar dengan semena-mena. Harris dan Kontras harus mempertegas kembali perjuangan mereka melawan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental yang dialami oleh begitu banyak napi karena kekerasan dalam bentuk apapun dan alasan apapun tidak dibenarkan dilakukan terhadap seseorang, sekalipun seorang napi. 

Harris dan Kontras juga harus berjuang bagi upaya sadar pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan penjara melakukan penertiban mentalitas SDM mereka. Harris dan Kontras harus berani membongkar kebobrokan-kebobrokan itu atas nama hak asasi manusia. Harris dan Kontras pada akhirnya harus mau membantu membawa menghadirkan negara kedalam penjara. Jika instrumen kekuasaan pemerintahan lumpuh dan akhirnya tidak kunjung mampu menghadirkan negara kedalam penjara bagi para napi akibat terlalu banyak kepentingan, maka Harris dapat memimpin Kontras menghadirkannya.

 Karena selama negara tidak hadir di dalam penjara, maka selama itu pula praktik kotor oknum aparat tidak akan tersentuh dan terbongkar. Selama praktik kotor oknum aparat tidak dapat dihentikan, maka selama itu pula ratusan juta rakyat terancam mendapatkan ‘kesempatan’ menjadi pesakitan yang sangat mungkin menerima ketidak adilan, kekerasan, tindak kriminalisasi, pemerasan dan lainnya. Dan selama masih ada rakyat yang menerima itu semua maka selama itu pula Kontras menjadi sia-sia diadakan. 

Bahkan negara menjadi ‘tak perlu ada’ jika tidak jua mau hadir bagi mereka yang dipenjara. Karena mereka adalah tetap rakyat Indonesia. Untuk itulah, Harris ditantang untuk menghadirkan negara kedalam penjara. Bukan hanya untuk kepentingan seorang Freddy Budiman, bukan untuk seorang Harris Azhar, bukan untuk Kontras, tetapi untuk mengembalikan fungsi-fungsi bernegara, menegakkan fungsi-fungsi keadilan.

Non est vivere sed valere vita est – Hidup menjadi sia-sia jika tidak bermakna.

Oleh : Irwan Suhanto

Penulis pernah menjalani masa tahanan di Rumah Tahanan Serang, Banten selama + 7 bulan

Mendedikasikan tulisan ini bagi seluruh narapidana dan tahanan yang ada di seluruh Indonesia yang telah mengalami ketidakadilan hukum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun