Di pengadilan, para napi juga masih harus berjuang melawan ketidakadilan sistem hukum. Banyak oknum hakim justru tidak memposisikan diri sebagai pemberi keadilan, tetapi justru pemberi hukuman. Semangat mereka bukan memberikan keadilan, tapi lebih kepada memenjarakan orang. Oknum hakim yang mungkin saja telah menerima imbalan dari pihak yang berperkara dengan para napi, bahkan justru menggenapi penderitaan moral para napi dengan memposisikan diri sebagai penghukum yang ‘mematikan’. Bagi mereka, fakta adalah ilusi yang harus terus dipatahkan.
 Harris dan Kontras harus melihat hal ini sebagai bentuk kekerasan mental, karena akibat vonis para oknum hakim yang kotor itulah kemudian muncul kerusakan mental yang tidak mudah diatasi oleh para napi. Instabilitas perilaku dan kerusakan mental itulah yang kemudian hanya akan memberi tiga ancaman besar, napi menjadi gila dan sakit jiwa, napi menjadi brutal dan menyukai kekerasan, bahkan tidak sedikit napi yang memutuskan bunuh diri dengan berbagai cara.
Yang terakhir adalah kondisi napi selama di lapas. Fase inilah yang kerap dibesar-besarkan. Pihak penjara, yakni rutan dan lapas kerap dipersalahkan karena adanya napi yang depresi, mengamuk atau bahkan bunuh diri. Padahal semua itu terjadi akibat rentetan panjang kekacauan proses hukum yang dilakukan secara sistemik oleh oknum polisi, jaksa dan hakim.Â
Memang ada pula oknum petugas rutan yang kerap memeras napi, memberlakukan ‘pungutan wajib’, dan bahkan ikut serta melakukan tindak kekerasan terhadap tahanan. Khusus hal itu Kontras juga harus membuat catatan khusus, mengingat terkadang benturan antara napi dengan petugas penjara memiliki dua aspek, mentalitas napi yang sudah rusak akibat proses hukum yang menyimpang berhadapan dengan karakteristik petugas rutan yang menjadi mendua diantara ingin menegakkan ketertiban dan adanya oknum yang bersikap over-acting.
Para napi juga hanya mendapatkan fasilitas seadanya, makan seadanya, kesehatan seadanya, air seadanya, tempat tidur seadanya dan kendala anggaran menjadi alasan satu-satunya. Kondisi tersebut hanya bisa berubah jika kemudian napi mengeluarkan sejumlah ‘ongkos’ yang diserahkan kepada oknum petugas penjara. Freddy lebih beruntung lagi. Jika kita melihat kesaksiannya, Freddy mendapatkan keistimewaan yang luar biasa dari petugas lapas. Satu saja hal yang jauh bertolak belakang dari apa yang diterima oleh mayoritas napi yang justru hidup serba seadanya, kalau tidak mau dibilang kekurangan, karena tidak memiliki uang sebesar Freddy.Â
Harris dan Kontras harus membuka mata fakta itu. Sesuai dengan tugas dan fungsi tujuan dibangunnya Kontras maka yang seharusnya dijadikan agenda utama adalah persoalan kondisi napi yang serba kurang, bukan hanya menyelidik oknum petugas rutan yang menerima pembayaran dari perlakuan istimewa kepada sedikit napi yang punya banyak uang. Harris dan Kontras harus mempertegas keberpihakan perjuangan mereka.
Membaca banyak hal diatas maka kita akan sepakat bahwa seyogyanya Harris Azhar dan Kontras tidak hanya berjuang bagi hak-hak seorang Freddy Budiman. Harris dan Kontras harus berjuang bagi kepentingan jutaan napi dan mantan napi yang hak-haknya sebagai manusia dilanggar dengan semena-mena. Harris dan Kontras harus mempertegas kembali perjuangan mereka melawan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan mental yang dialami oleh begitu banyak napi karena kekerasan dalam bentuk apapun dan alasan apapun tidak dibenarkan dilakukan terhadap seseorang, sekalipun seorang napi.Â
Harris dan Kontras juga harus berjuang bagi upaya sadar pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan penjara melakukan penertiban mentalitas SDM mereka. Harris dan Kontras harus berani membongkar kebobrokan-kebobrokan itu atas nama hak asasi manusia. Harris dan Kontras pada akhirnya harus mau membantu membawa menghadirkan negara kedalam penjara. Jika instrumen kekuasaan pemerintahan lumpuh dan akhirnya tidak kunjung mampu menghadirkan negara kedalam penjara bagi para napi akibat terlalu banyak kepentingan, maka Harris dapat memimpin Kontras menghadirkannya.
 Karena selama negara tidak hadir di dalam penjara, maka selama itu pula praktik kotor oknum aparat tidak akan tersentuh dan terbongkar. Selama praktik kotor oknum aparat tidak dapat dihentikan, maka selama itu pula ratusan juta rakyat terancam mendapatkan ‘kesempatan’ menjadi pesakitan yang sangat mungkin menerima ketidak adilan, kekerasan, tindak kriminalisasi, pemerasan dan lainnya. Dan selama masih ada rakyat yang menerima itu semua maka selama itu pula Kontras menjadi sia-sia diadakan.Â
Bahkan negara menjadi ‘tak perlu ada’ jika tidak jua mau hadir bagi mereka yang dipenjara. Karena mereka adalah tetap rakyat Indonesia. Untuk itulah, Harris ditantang untuk menghadirkan negara kedalam penjara. Bukan hanya untuk kepentingan seorang Freddy Budiman, bukan untuk seorang Harris Azhar, bukan untuk Kontras, tetapi untuk mengembalikan fungsi-fungsi bernegara, menegakkan fungsi-fungsi keadilan.
Non est vivere sed valere vita est – Hidup menjadi sia-sia jika tidak bermakna.