Baru kuingat, iya memang seperti itu.
Semenjak masuk bangku kuliah, aku harus melepaskan segala perhiasan yang kupunya. Juga giwang emas pemberian mendiang nenekku. Giwang yang kata lelaki ini membuatku terlihat semakin cantik. Harus kutanggalkan demi biaya semester empatku waktu lalu.
"Aku mau melihatmu memakai giwang lagi" katanya seperti mengalihkan pembicaraan.
"Renjana, kekasihku. Aku mau berhenti merepotkanmu. Jangan lagi sibuk berlama lama memikirkan aku yang bahkan tak tahu kapan bisa menebus giwangmu. Aku ini ingin melihatmu berbahagia. Aku menginginkan untuk melihatmu kembali pada koleksi buku buku dan bunga. Aku tahu, aku tak bisa penuhi hal itu. Kamu terlalu mahal Renjana, kamu terlampau berharga untuk manusia yang tak sanggup memberimu bahagia sepertiku. Kamu punya hidup yang perlu kau bangun dengan hati hati. Kelak dari rahimmu akan lahir manusia manusia tangguh yang lucu, aku mau itu bukan karena aku".
Senja berangsur malam.
Menyebarkan hawa dingin yang menusuk tulang pinggang.
"Renjana, kamu dibesarkan bukan untuk manusia buruk sepertiku. Aku ini mudah sekali berubah. Aku takut melukaimu lebih dalam. Pulanglah Sayangku, aku mau memikirkanmu malam ini dengan tenang. Aku mau kamu tidur dengan cantik, jangan bengkakkan mata indahmu lagi dengan banyak air mata".
Dia memegang kedua bahuku.
"Pulang ya, sekarang. Buatkan coklat panas untuk bibirmu yang manis. Aku mau melihat Renjana semakin cantik karena tidak begadang malam ini".
Aku masih tersedu, kuremas tissuku yang telah menjadi bubur dalam genggaman.
"Bagaimana kau bisa melihatku bahagia sedang penyebab rasaku adalah kamu?" aku rebah dalam bahunya, membasahi sisi kirinya.