Ia juga menambahkan bahwa versi asli dari surat al-Ahzab lebih panjang. Hal ini juga didukung oleh Zaid bin Tsabit dan 'Aisyah yang menyebutkan bahwa pada masa hidup Nabi, surat al-Ahzab tiga kali lebih panjang. Banyak riwayat yang dicatat oleh Suyuti (melalui Sirry, 2017) memberikan kesan kuat bahwa mushaf Usmani tidak lengkap, dalam artian tidak memuat sejumlah ayat yang pernah disampaikan Nabi.Â
Sistematika Alquran juga dinilai oleh sebagian ilmuwan studi Alquran sangat kacau. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat dalam suatu surat selalu lompat-lompat, tidak fokus pada suatu persoalan yang sedang disajikan. Misalnya pada surat al-Baqarah, dalam belasan ayat secara berturut-turut akan ditemukan ayat-ayat tentang keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban berpuasa, dan hubungan suami-istri (Shihab, 2014).
Â
Jawaban dari Sarjana Muslim
Atas tuduhan-tuduhan tersebut, anggaplah itu versi mereka. Sebenarnya, sarjana muslim telah melakukan counter narasi untuk mengimbangi pandangan sarjana barat tersebut. Para sarjana muslim meyakini bahwa tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh para sarjana barat tidak berangkat dari iman, sehingga muncul kontroversi terkait kanonisasi Alquran.Â
Kepentingan mereka adalah untuk mengkaji Alquran dengan menggunakan pendekatan ilmiah, karena Alquran bagi mereka sama seperti kitab-kitab atau buku-buku lain. Bisa saja beberapa temuan para sarjana barat dapat dimanfaatkan oleh umat Islam sepanjang tidak merusak tatanan nilai-nilai Islam. Jadi, sikap yang diperlukan adalah terbuka dan kritis.Â
Mengenai pernyataan Zaid di atas, Ilyas (2013) menyatakan tidaklah bertentangan dengan kemutawatiran Alquran, karena pengumpulan Alquran didasarkan pada hafalan, sedangkan pengumpulan tulisan hanyalah untuk menambah nilai kepercayaan terhadap hafalan tersebut. Maksud dari pernyataan Zaid adalah ia tidak memperoleh teks ayat dari para sahabat, namun sebenarnya dia sendiri sudah menghafalnya.Â
Masih menurut Ilyas (2013) bahwa Zaid hafal ayat-ayat tersebut adalah berasal dari penyataannya sendiri, "Tidak ditemukan sebuah surat al-Ahzab yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw. membacanya." Artinya, dia sebenarnya hafal dan yakin bahwa itu adalah ayat-ayat Alquran, namun tidak menemukan tulisannya, oleh karena itu dia mencarinya.Â
Bagi para ulama, yang menjadi ukuran atau standar bukanlah kemutawatiran tulisan akan tetapi kemutawatiran hafalan. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa bagi sarjana barat yang hidup pada era modern yang mana budaya baca-tulis sudah berkembang, sehingga menganggap sumber tertulis merupakan hal yang valid dibanding sumber hafalan.Â
Sementara pada tuduhan sistematika Alquran, Shihab (2014) mengungkapkan bahwa kita tidak memperoleh penjelasan dari nabi tentang pertimbangan peletakan ayat demi ayat, namun di balik itu semua pasti ada hikmahnya. Shihab (2014) mengumpamakan dalam tugas protokoler saat upacara resmi, mereka menempatkan para tamu sesuai dengan tempat-tempat tertentu, bukan berdasarkan waktu kehadiran mereka di lokasi upacara, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti kedudukan, usia, jenis kelamin, dsb. Maka, dalam peletakan ayat Alquran tidak disesuaikan dengan urutan turunnya ayat. Rasulullah atas bimbingan Malaikat Jibril telah meletakkan ayat-ayat Alquran sesuai pentunjuk Allah Swt.Â
Penilaian baik-buruk suatu sistematika ini sebenarnya berkaitan dengan tujuannya, sehingga yang mengetahui tujuannya adalah Allah Swt. Alquran bukanlah suatu kitab ilmiah atau buku yang tersusun secara sistematis-metodologis. Namun pada sisi lain, Alquran ingin menegaskan bahwa Alquran tidak sedang memilah-milah pesan-pesannya sehingga timbul kesan satu pesan lebih penting dari pesan lainnya.Â