Al-Qur'an (selanjutnya ditulis Alquran) sebagai sebuah kitab suci, tidak hanya suci dari segi fisiknya tetapi juga makna yang terkandung di dalamnya, karena ia berisi firman-firman Allah Swt. Alquran biasa didefiniskan sebagai firman-firman Allah Swt. yang disampaikan oleh Malaikat Jibril sesuai dengan redaksi-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. dan diterima oleh umat Islam secara tawatur [1] (Shihab, 2014). Â
Alquran bagi umat Islam, tidak sekadar dijadikan sebagai bacaan yang bernilai pahala, namun juga sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan di dunia. Sangat wajar bila kitab suci ini menempati posisi penting bagi umat Islam. Selain itu, dalam studi Alquran (quranic studies), kitab ini terus dikaji secara serius dengan menggunakan berbagai metode modern. Bahkan tidak berlebihan jika dalam beberapa tahun terakhir, studi Alquran menjadi "primadona" dalam disiplin studi Islam (Sirry, 2017).Â
Hal ini dibuktikan dengan maraknya konferensi-konferensi dan buku-buku yang mengangkat tema Alquran. Selain itu, Alquran juga sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa agar dapat dibaca dan dikaji oleh orang-orang di berbagai belahan dunia.Pesona Alquran ini sempat diperebutkan oleh dua agama besar, yaitu Yahudi dan Kristen. Bahkan, para generasi awal sarjana barat sering mengklaim dan berusaha membuktikan bahwa Alquran merupakan pengulangan atau peminjaman ajaran Yahudi (atau Kristen), sedangkan Muhammad Saw. tidak lebih dari seorang murid pendeta Yahudi (atau Kristen).Â
Fazlur Rahman, seorang cendekiawan muslim asal Universitas Chicago, menentang keras anggapan tersebut, terutama kepada John Wansbrough yang menulis karya Quranic Studies. Wansbrough (2004) mengklaim bahwa (1) Alquran sejatinya adalah sebuah karya untuk tradisi Yahudi; (2) Alquran adalah sebuah karya "gabungan" beberapa tradisi; sehingga disimpulkan (3) Alquran adalah produk pasca-Muhammad. Rahman (2017) keberatan atas tesis Wansbrough tersebut, terutama pada poin kedua tentang Alquran merupakan karya campuran beberapa tradisi. Ia menilai bahwa ada kelemahan pada data sejarah yang disajikan Wansbrough.
Tulisan ini akan memaparkan argumentasi tentang proses pembukuan Alquran yang dilihat dari sudut pandang historis dan teologis. Kedua perspektif ini sering dianggap secara dikotomis, karena Alquran hanya dilihat dari satu sudut pandang saja sekaligus menegasikan yang lain. Dalam ranah teologis, Alquran merupakan hal yang sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi isi dan ajarannya. Alquran menuntun pembacanya ke arah keimanan dan penjamin keselamatan di dunia dan akhirat. Dalam ranah historis, kitab suci ini terus menjadi perbincangan menarik bahkan menjadi hal yang tidak pernah selesai dibicarakan. Kajian-kajian serius mengenai proses turunnya Alquran, menghubungan Alquran dengan kitab-kitab sebelumnya, metode penafsiran Alquran, menghubungan Alquran dengan berbagai masalah dan kebutuhan masyarakat modern, serta sejarah kanonisasi Alquran adalah contoh-contoh dalam kajian studi Alquran.
Sejarah Singkat Kanonisasi Alquran
Istilah kanonisasi Alquran ini merujuk pada proses pengumpulan atau kodifikasi ayat-ayat Alquran yang sebelumnya belum tersusun secara utuh.Ketika Alquran pertama kali diturunkan, Rasulullah Muhammad Saw. berusaha menghafalnya untuk beliau pribadi sebelum didakwahkan kepada para sahabat.Â
Sebagaimana dicatat oleh sejarah bahwa beliau adalah seorang ummy[2] (Ilyas, 2013). Meskipun begitu, Rasulullah Saw. memiliki daya ingat yang sangat kuat dalam menghafal ayat-ayat yang turun. Setiap tahun Malaikat Jibril datang mendereskan semua ayat-ayat yang sudah diterima Nabi.
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang telah disampaikan Nabi. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan, bahkan ada yang menuliskan di pelepah kurma agar ayat-ayat yang mereka hafal terekam dengan baik. Beberapa tahun kemudian, banyak sahabat yang menjadi penghafal Alquran gugur dalam medan peperangan sehingga muncul wacana untuk mengumpulkan semua ayat dan membukukannya.Â
Dalam konteks pembukuan ini terdapat banyak pendapat. Ada sumber yang menyatakan bahwa pembukuan Alquran dimulai saat zaman khalifah Usman, ada juga yang beranggapan bahwa pembukuan Alquran sebenarnya sudah ada pada khalifah sebelumnya.
Setiap kali ada ayat turun, Rasulullah Saw. mendiktekan kepada para sahabat bahkan beliau menunjuk beberapa sahabat sebagai juru tulis. Rasulullah Saw. tidak hanya mendiktekan ayat-ayat yang turun, tetapi juga memberikan petunjuk letak ayat itu di mana (Ilyas, 2013). Ibnu Abbas mengatakan, "Jika satu surat diturunkan kepada Rasulullah Saw., beliau memanggil sebagian penulis wahyu kemudian memerintahkan: Letakkan surat ini padatempat ini, begini-begini." (HR. Tirmidzi).Â
Dalam pemahaman di atas, Alquran memang sudah ditulis oleh para penulis wahyu sejak zaman Rasulullah, namun baru dihimpun dan dikumpulkan dalam satu mushaf beberapa tahun setelah wafatnya Nabi (Sirry, 2017). Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa Alquran mulai dihimpun pada zaman Abu Bakar atas usulan dari Umar bin Khattab. Umar khawatir jika Alquran tidak segera dibukukan -mengingat semakin banyak penghafal Alquran yang gugur dalam peperangan, maka Alquran bisa saja "terlupakan". Para penghafal Alquran merupakan orang-orang pilihan dari zaman Nabi yang bertanggung jawab menjaga keaslian Alquran.Â
Pendapat itu akhirnya disetujui oleh Khalifah Abu Bakar dan segera menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai orang yang dipercaya untuk memulai pengumpulan Alquran. Proyek ini ternyata memakan waktu cukup lama, sampai pada Khalifah ketiga yaitu Usman bin 'Affan. Pada masa Usman, wilayah Islam semakin meluas dan mulai terdapat berbagai kelompok muslim membaca Alquran dengan bacaan yang berbeda-beda (Sirry, 2017). Dengan situasi seperti ini, Khalifah Usman membentuk komisi untuk menyatukan bacaan Alquran. Maka, Alquran (baca: mushaf) yang sampai pada kita saat ini merupakan hasil dari komisi yang dibentuk tersebut.
 Â
Tuduhan dari Sarjana Barat
 Uraian singkat tentang sejarah kanonisasi Alquran di atas ternyata masih menyisakan bahan perdebatan dari seorang sarjana revisionis
[3], yaitu Wansbrough (2004) yang menggunakan dua metode analisis dalam mengkritik Alquran: analisis sumber (source analysis) dan analisis bentuk (form analysis).Â
Analisis pertama digunakan untuk menelisik fakta sejarah dan mendekonstruksi sumber-sumber muslim tradisional, seperti sirah nabi, hadis, dan tafsir. Analisis kedua digunakan untuk memaparkan inkonsistensi ayat-ayat Alquran, seperti yang kita tahu bahwa kisah-kisah dan ide-ide dalam Alquran sering diulang-ulang dengan versi berbeda-beda.
Sebagian sarjana barat beranggapan bahwa hasil kanonisasasi yang dilakukan di masa Usman tidak lengkap dan tidak sistematis (Sirry, 2017). Tuduhan seserius ini, bagi sebagian umat Islam menjadi hal yang tidak nyaman karena kitab suci Alquran sudah dianggap sebagai sesuatu yang final dan terjaga kebenarannya. Memang, tidak semua sarjana barat memiliki pandangan yang sama atau monolitik. Di antara mereka sering beradu pandangan merupakan hal lazim, sama halnya ketika mereka mengkritik Bibel (Alkitab). Bagi para sarajana barat, Alquran memiliki kedudukan yang sama dengan teks atau kitab suci lain (profan). Jadi salah besar jika mengganggap semua sarjana barat atau revisionis memiliki misi untuk "menghancurkan" Islam meskipun kita tidak menutup kemungkinan dugaan itu ada benarnya.
Jika mau dikumpulkan semua, ternyata tuduhan yang dilakukan oleh sebagian sarjana revisionis atau kerap disebut sebagai orientalis ini berjumlah 12 tuduhan (Ilyas, 2013). Abu Bakar dan Usman dianggap sebagai aktor utama yang telah memalsukan dan menghilangkan sebagian ayat-ayat dan surat Alquran, karena sebenarnya Alquran yang diturunkan berjumlah 17.000 ayat. Banyaknya ayat-ayat Alquran yang hanya berasal dari hafalan para sahabat, sementara banyak sahabat yang gugur dalam peperangan, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa Zaid bin Tsabit "hanya" bisa menghimpun ayat-ayat dari hafalan para sahabat yang masih hidup.
Zaid melaporkan bahwa pada waktu mushaf Alquran ditulis, bagian terakhir surat at-Taubah hilang dan hanya ditemukan dalam catatan Khuzaimah Al-Anshari. Ubay bin Ka'ab membaca surat al-Bayyinah dalam versi berbeda yang ia klaim didengarnya dari Nabi, termasuk dua ayat yang tidak tercatat dalam teks Usmani.Â
Ia juga menambahkan bahwa versi asli dari surat al-Ahzab lebih panjang. Hal ini juga didukung oleh Zaid bin Tsabit dan 'Aisyah yang menyebutkan bahwa pada masa hidup Nabi, surat al-Ahzab tiga kali lebih panjang. Banyak riwayat yang dicatat oleh Suyuti (melalui Sirry, 2017) memberikan kesan kuat bahwa mushaf Usmani tidak lengkap, dalam artian tidak memuat sejumlah ayat yang pernah disampaikan Nabi.Â
Sistematika Alquran juga dinilai oleh sebagian ilmuwan studi Alquran sangat kacau. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat dalam suatu surat selalu lompat-lompat, tidak fokus pada suatu persoalan yang sedang disajikan. Misalnya pada surat al-Baqarah, dalam belasan ayat secara berturut-turut akan ditemukan ayat-ayat tentang keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban berpuasa, dan hubungan suami-istri (Shihab, 2014).
Â
Jawaban dari Sarjana Muslim
Atas tuduhan-tuduhan tersebut, anggaplah itu versi mereka. Sebenarnya, sarjana muslim telah melakukan counter narasi untuk mengimbangi pandangan sarjana barat tersebut. Para sarjana muslim meyakini bahwa tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh para sarjana barat tidak berangkat dari iman, sehingga muncul kontroversi terkait kanonisasi Alquran.Â
Kepentingan mereka adalah untuk mengkaji Alquran dengan menggunakan pendekatan ilmiah, karena Alquran bagi mereka sama seperti kitab-kitab atau buku-buku lain. Bisa saja beberapa temuan para sarjana barat dapat dimanfaatkan oleh umat Islam sepanjang tidak merusak tatanan nilai-nilai Islam. Jadi, sikap yang diperlukan adalah terbuka dan kritis.Â
Mengenai pernyataan Zaid di atas, Ilyas (2013) menyatakan tidaklah bertentangan dengan kemutawatiran Alquran, karena pengumpulan Alquran didasarkan pada hafalan, sedangkan pengumpulan tulisan hanyalah untuk menambah nilai kepercayaan terhadap hafalan tersebut. Maksud dari pernyataan Zaid adalah ia tidak memperoleh teks ayat dari para sahabat, namun sebenarnya dia sendiri sudah menghafalnya.Â
Masih menurut Ilyas (2013) bahwa Zaid hafal ayat-ayat tersebut adalah berasal dari penyataannya sendiri, "Tidak ditemukan sebuah surat al-Ahzab yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw. membacanya." Artinya, dia sebenarnya hafal dan yakin bahwa itu adalah ayat-ayat Alquran, namun tidak menemukan tulisannya, oleh karena itu dia mencarinya.Â
Bagi para ulama, yang menjadi ukuran atau standar bukanlah kemutawatiran tulisan akan tetapi kemutawatiran hafalan. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa bagi sarjana barat yang hidup pada era modern yang mana budaya baca-tulis sudah berkembang, sehingga menganggap sumber tertulis merupakan hal yang valid dibanding sumber hafalan.Â
Sementara pada tuduhan sistematika Alquran, Shihab (2014) mengungkapkan bahwa kita tidak memperoleh penjelasan dari nabi tentang pertimbangan peletakan ayat demi ayat, namun di balik itu semua pasti ada hikmahnya. Shihab (2014) mengumpamakan dalam tugas protokoler saat upacara resmi, mereka menempatkan para tamu sesuai dengan tempat-tempat tertentu, bukan berdasarkan waktu kehadiran mereka di lokasi upacara, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti kedudukan, usia, jenis kelamin, dsb. Maka, dalam peletakan ayat Alquran tidak disesuaikan dengan urutan turunnya ayat. Rasulullah atas bimbingan Malaikat Jibril telah meletakkan ayat-ayat Alquran sesuai pentunjuk Allah Swt.Â
Penilaian baik-buruk suatu sistematika ini sebenarnya berkaitan dengan tujuannya, sehingga yang mengetahui tujuannya adalah Allah Swt. Alquran bukanlah suatu kitab ilmiah atau buku yang tersusun secara sistematis-metodologis. Namun pada sisi lain, Alquran ingin menegaskan bahwa Alquran tidak sedang memilah-milah pesan-pesannya sehingga timbul kesan satu pesan lebih penting dari pesan lainnya.Â
Bagi yang tekun membaca dan mengkaji Alquran secara mendalam, ia akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sehingga aspek-aspek yang semula terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung dan di mana pangkalnya (Shihab, 2014). Â Â Â Â
Â
Penutup
Perdebatan soal kanonisasi Alquran di atas sebenarnya membuktikan bahwa Alquran selalu memiliki tempat khusus, baik bagi kalangan umat Islam maupun para pengkaji Alquran. Perdebatan secara akademis memang akan terus terjadi, namun yang jelas, kebenaran secara teologis akan mengantarkan kepada kesimpulan bahwa Alquran merupakan wahyu Allah yang terus terjaga sampai kapan pun. Meyakini dan mengamalkannya adalah upaya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Malaikat Jibril yang diperintahNya) menurunkan Alquran, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS. al-Hijr [15]: 9).
Ilyas, Y. (2013). Kuliah ulumul qur'an. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
Shihab, M. Q. (2014). Mukjizat Al-qur'an ditinjau dari aspek kebahasaan, isyarat ilmiah, dan pemberitaan gaib. Bandung: Mizan.
Sirry, M. (2017). Kemunculan Islam dalam kesarjanaan revisionis. Yogyakarta: Suka Press.
Rahman, F. (2017). Tema-tema pokok Al-qur'an. (Terjemahan Ervan Mutawab dan Ahmad Baiquni). Bandung: Mizan. (Edisi asli diterbitkan tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica Inc. The University of Chicago Press, Illinois).
Wansbrough, J. (2004). Quranic studies: Sources and methods of scriptual interpretation. New York: Prometheus Books.Â
[2] Ummy adalah orang yang tidak bisa membaca dan menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H