Aku berdiri di depan cermin setinggi tubuh, dan kutatap diriku yang berkutat dengan kulit lembut berwarna hitam itu. Perempuan dalam cermin itu pastilah bukan diriku. Dia tampak begitu setengah mati berusaha lalu akhirnya kecewa karena celana panjang itu terhenti di batas paha atasnya, tak mau naik lagi.
“Keren, hon ?” tanya suamiku yang tiba-tiba masuk.
Aku cepat menoleh padanya dengan wajah putus asaku yang katanya khas, seperti wajah seekor anak anjing yang imut.
Oh, honey… here, here… “ katanya sambil mendekat dan memelukku.
“Celana ini cool banget !” rengekku, kesal sekali.
“Ya, tapi kau juga cool banget, walau ngga mengenakan celana buatan si Hermes,” dia mencoba menghiburku, tapi aku sedang tak butuh bujukan itu. Aku mau celana kulit keren buatan Monsieur Hermes naik sampai atas ! Menutup perutku, tidak mogok di bawahnya saja!
“Ok, aku besok ada pekerjaan di Bandung. Aku bisa carikan celana kulit hitam untukmu, sayang,” bujuknya.
Aku tentu saja mengerti maksudnya dan menghargai perhatiannya, tetapi … pasti kan bukan Hermes…
“Tentu saja bukan Hermes, hon. Tapi apa bedanya sih?” tambahnya seperti sanggup membaca pikiranku.
Aku masih tak menjawab.Tentu saja ada bedanya, cintaku…. Batinku.
“Terus, gimana dong? Aku kan tidak sanggup membeli celana kulit rancangan Hermes.”