DIET
Dengan tinggi badan seratus enam puluh lima dan berat lima puluh kilogram, seharusnya aku tergolong tidak gemuk, walau tidak bisa dimasukkan ke deretan para model. Aku pun tidak terlalu mempermasalahkan ukuran pinggangku, selama aku masih muat masuk ke gaun berukuran M yang biasa kubeli di departmen store. Sampai pada suatu ketika kakak perempuanku yang bekerja di sebuah majalah perempuan ternama, Cosmo, mengirimiku oleh-oleh dari negeri seberang lautan..
Begitu kubuka bungkusan indah berpita hijau itu, segera tercium aroma kulit yang sangat harum. Dan begitu kukuak kertas tipis yang melapisi benda hitam agak berkilat itu, aku langsung terkesiap.
“Oh, ya Tuhan! Ini kan Hermes !!!” pekikku tertahan.
“Emang kenapa ?” tanya suamiku sambil menurunkan koran dari wajahnya.
“Hermes!” ulangku setengah tidak suka pada kekurang-tahuannya siapa Hermes.
“Ya ?” katanya lagi sambil mendekat dan menatap isi kotak itu.
“Ooooo… Hermes yang itu,” katanya kemudian dengan wajah lebih cerdas.
“Smart boy !” seruku bercanda seolah dia adalah seorang murid yang akhirnya mengerti jawaban tepat.
Aku segera membawa celana kulit itu ke dalam kamar untuk mencobanya dengan tidak sabar. Aku ingin tahu betapa kerennya diriku dalam balutan kulit wangi berwarna hitam ini.
Aku berdiri di depan cermin setinggi tubuh, dan kutatap diriku yang berkutat dengan kulit lembut berwarna hitam itu. Perempuan dalam cermin itu pastilah bukan diriku. Dia tampak begitu setengah mati berusaha lalu akhirnya kecewa karena celana panjang itu terhenti di batas paha atasnya, tak mau naik lagi.
“Keren, hon ?” tanya suamiku yang tiba-tiba masuk.
Aku cepat menoleh padanya dengan wajah putus asaku yang katanya khas, seperti wajah seekor anak anjing yang imut.
Oh, honey… here, here… “ katanya sambil mendekat dan memelukku.
“Celana ini cool banget !” rengekku, kesal sekali.
“Ya, tapi kau juga cool banget, walau ngga mengenakan celana buatan si Hermes,” dia mencoba menghiburku, tapi aku sedang tak butuh bujukan itu. Aku mau celana kulit keren buatan Monsieur Hermes naik sampai atas ! Menutup perutku, tidak mogok di bawahnya saja!
“Ok, aku besok ada pekerjaan di Bandung. Aku bisa carikan celana kulit hitam untukmu, sayang,” bujuknya.
Aku tentu saja mengerti maksudnya dan menghargai perhatiannya, tetapi … pasti kan bukan Hermes…
“Tentu saja bukan Hermes, hon. Tapi apa bedanya sih?” tambahnya seperti sanggup membaca pikiranku.
Aku masih tak menjawab.Tentu saja ada bedanya, cintaku…. Batinku.
“Terus, gimana dong? Aku kan tidak sanggup membeli celana kulit rancangan Hermes.”
“Aku mau diet!” kataku seperti sebuah sumpah.
Dia menatapku. Aku tahu dari matanya, dia tertawa, namun dia terlalu manis untuk menertawakan istrinya yang sedang nekad.
“Aku mau diet!” tegasku lagi.
“Ok, honey, apa saja yang kau mau, aku dukung.”
Mulai malam itu aku tidak mau makan malam, dan besok, pulang kerja, aku akan singgah di Century Health Care untuk membeli pil pelangsing. Aku tahu itu pasti akan sangat membantu. Seorang temanku berhasil menurunkan bobotnya sebanyak tujuh kilogram dalam waktu sepuluh hari ketika dia menelan pil berwarna kekuningan yang dibelinya di health care itu. Sementara aku kan hanya harus menurunkan sekitar dua atau tiga kilogram untuk bisa masuk ke celana Hermes itu. Jadi, tak payah lah!
Lalu kupikir, berat badanku akan turun lebih cepat lagi jika aku tak mampir ke “Lekker” toko kue sahabatku di ujung jalan itu, walau aku pasti akan merasa kehilangan sesuatu yang gurih dan legit dari lidahku. Aku tidak akan mengecap manisnya kue coklatnya yang berlapis selai beri hitam, dan juga pai ragunya …Selamat tinggal semuanya !
Oh, satu lagi, aku tidak akan menggunakan lift, baik di kantorku yang terletak di lantai empat, maupun di apartemen kami yang berada di lantai tiga. Jika itu kukerjakan setiap hari, aku yakin, aku bisa mencapai ukuran yang kubutuhkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Tiga hari berlalu. Aku merasa agak loyo, tapi tidak semangatku. Ketika kujejakkan kakiku ke atas timbangan, jarum itu tak bergerak turun dari angka yang selalu ditunjuknya. Aku percaya, besok pasti jarum itu akan turun, karena hari ini aku merasa cukup aktif turun naik tangga mengurus segala keperluan presentasiku minggu depan. Apa lagi aku tadi lupa makan siang! Semangatku semakin menggebu.
Seminggu berlalu, aku belum merasa percaya diri untuk mencoba celana impianku itu. Pasalnya, berat badanku belum turun juga. Aku mulai menjadi sensitif jika membicarakan segala macam ukuran. Bahkan tadi pagi, ketika aku bertemu dengan teman kuliahku dulu, aku merasa sangat sedih mendengar komentarnya.
“Aduu..uh, kau makin segar saja!” serunya ceria.
‘Segar’, atau ‘seger’ ! Gawat. Kata-kata itu kan bentuk euphinisme untuk ‘gemuk’. Demikian juga dengan kata-kata ‘tambah seksi’, ‘sehat amat’, dan ‘makin molig’. Kata-kata itulah yang sering kuucapkan sebagi seruan sopan santun jika bertemu dengan teman-teman yang ‘berubah’. Tetapi sekarang, aku lah yang berubah. Alamaaa ...k!
Atau seperti kata suamiku ketika aku hamil enam bulan : “Ngga, honey, kau ngga gemuk,” katanya menghibur ketika aku mulai ribut dengan penampilanku. “kau … mmhh… glowing !” tambahnya.
Bagaimana aku tidak glowing, berat badanku bertambah enam kilogram, aku jadi gemuk sekali sehingga mudah berkeringat. Itu lah yang membuat pipiku berkilap seperti lampu kristal baru digosok.
Aku juga jadi tak senang pesta. Karena pesta artinya makan banyak dan enak, itu menurut suamiku. Aku dulu juga punya pikiran begitu. Tetapi sekarang, pesta artinya lemak, dan kalori! Sialnya, tak ada pesta atau kumpul-kumpul yang dapat kami hindarkan. Karena bagi kami, clubbing itu networking. Begitu absen satu kali, satu kali juga kesempatan bisnis hilang.
Malam ini giliran kami mengundang teman-teman. Makanan non lemak yang kupesan tertutup dengan makanan full lemak yang dibawa teman-teman. Tetapi aku boleh tenang ketika temanku yang sudah berhasil melunturkan lemaknya itu berkata bahwa aku boleh menelan dua butir pil kekuningan itu sekaligus bila diperlukan.
Begitu teman-teman pulang, aku duduk di meja makan dengan segelas air putih dan dua butir pil kuning. Di hadapanku masih berserakan piring-piring berisi sisa makan yang belum sempat kusingkirkan. Aku segera memasukkan dua butir pil sakti itu dan menyiramnya dengan air putih.
Karena aku menelannya sekaligus dua, pil-pil itu tak mau langsung meluncur ke perutku. Keduanya tampak berlama-lama berada di kerongkonganku. Kuhabiskan air putihku, namun mereka tak mau bergerak juga. Kuambil sesuatu yang lebih padat, mungkin bisa mendesak pil-pil bandel itu. Kumasukkan sepotong tart coklat, kukunyah dan kutelan. Itu tak banyak membantu. Tambah lagi. Kali ini kue sus besar, hanya itu yang ada di depanku, tidak ada pilihan!. Ternyata potongan lunak itu agak menolong. Kemudian aku minum lagi, kali ini setengah gelas punch yang tersisa milikku tadi. Namun aku masih merasakan ada yang mengganjal dalam saluran makananku. Dadaku merasa tak enak.
“Susu!” kata suamiku yang datang membantu. Lagi-lagi, hanya itu yang ada di dalam lemari es.
Begitu segelas susu kuteguk habis, aku baru merasa lebih nyaman. Tetapi tiba-tiba aku bersendawa panjang, karena merasa sangat, sangat, sangaaaaa….t kenyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H