Perempuan itu malah tersenyum. Nandes melirik sekilas ke arah perempuan tersebut. “Eh kok malah senyam-senyum sendirian? Ya udah cobain aja. Klik aja icon-nya PB. Tuh.” Nandes menunjuki ikonnya.
“Gak ngerti maininnya.” timpal perempuan.
Permainan di-pause-kan oleh Nandes. Ia lalu beranjak ke arah belakang perempuan asing tersebut. Tangannya menggerakan tangan si perempuan itu untuk menekan ikon Point Blank tersebut. Anehnya, perempuan tersebut tak menjerit. Ia juga membiarkan Nandes mengajarinya bermain Point Blank. Padahal ia belum pernah bertemu Nandes sebelumnya. Begitupun Nandes. Ia mengajari perempuan itu tanpa ada kecangguan. Bahkan tanpa mereka berdua sadari, mereka malah bermain bersama. War, kalau menggunakan istilahnya anak-anak yang gemar bermain Point Blank.
Tak terasa sudah, Nandes dan perempuan asing itu telah berada di luar warnet itu. Dia berjalan bersama perempuan itu ke kampus Atmajaya. Dalam hatinya, Nandes bertanya-tanya: “Kenapa aku jadi bisa dekat dengan perempuan ini yah? Perasaan baru pertama kali bertemu.” Namun saat melihat wajahnya, Nandes merasa begitu familiar. Wajah perempuan itu seperti pernah dilihatnya di suatu tempat. Namun dimana dan kapan, Nandes sama sekali tak menemukan petunjuknya. Wajahnya kisut waktu berusaha mengingatnya.
“Oya, namanya siapa? Fakultas apa?” tanya Nandes.
“Marina, anak Psikologi,” jawab perempuan itu, sambil tersenyum.
“Eh, maaf yah,” Nandes agak ragu-ragu mengatakannya. “Kok aku kayak merasa kalau ini bukan pertama kalinya bertemu sama kamu? Kayak pernah ketemu sebelumnya, tapi aku lupa.” Nandes menggaruk-garuk kepalanya. “Eh maaf, kalau kamu merasa aku kege-eran.”
Marina tak menjawab. Ia malah melengos pergi begitu saja. “Eh maaf yah, aku ada kelas sebentar lagi. Sepuluh menit lagi mau mulai.” Ia berpura-pura melihat jamnya. Ia sengaja berbuat seperti itu, karena ia belum mau membuka kartunya. Sebetulnya ia telah mengetahui Nandes sebelumnya. Hati kecilnya mengatakan bahwa bocah lelaki, teman akrabnya waktu kelas 6 SD, telah berada di dekatnya. Ia tambah yakin lagi, saat melihat fisiknya yang sama-sama bertubuh tambun dan wajah yang penuh jerawat. Ciri-ciri yang sama dengan bocah di rental milik ayahnya itu. Namun karena kegengsian seorang wanita yang ia miliki, ia jadi pasif. Gengsi kalau seorang wanita mendekati dan mengajak kenalan terlebih dahulu seorang pria. Karena itulah, Marina terus berjalan menjauh dan meninggalkan Nandes yang masih berusaha membongkar laci otaknya untuk mencari apakah ia pernah bertemu Marina sebelumnya.
*****
“ALING!!!”
Nandes yang dari tadi sedang menikmati kencangnya wifi kampus di bawah payung yang menancap di meja kayu, jadi menghentikan aktifitas online-nya itu. Ia mencari-cari suara yang memanggil sebuah nama yang begitu familiar bagi otaknya. Matanya jelalatan mencari pelaku suaranya, hingga terpaku pada aula gedung C. Dari kejauhan, ia melihat sekumpulan mahasiswa yang sedang sibuk menjaga agar acaranya bisa berjalan lancar. Ia kemudian menemukan pelaku suara tersebut. Seorang mahasiswi berambut ikal sebahu sedang memanggil temannya yang sedang sibuk mengajak mahasiswa-mahasiswi yang lewat, untuk masuk ke dalam zona acara tersebut. Sepertinya mahasiswi itu ingin meminta bantuan temannya untuk mengoperasikan sebuah komputer yang berada di depannya. Mahasiswi itu memiliki hambatan dalam membuka suatu file.