“Apa enaknya sih main game itu?”
Kata-kata yang keluar dari mulut seorang perempuan mendadak membuat Nandes tertegun. Dia tak tahu siapa perempuan. Perempuan itu orang asing, baginya. Orang asing yang bersua dengannya di sebuah warung internet. Namun anehnya, kata-kata perempuan asing tersebut mampu membuatnya tertegun. Pikiran Nandes melayang-layang hingga terbawa ke masa-masa dua belas tahun lalu. Saat dia masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.
Saat itu, ia baru saja pulang sekolah. Seperti kebiasaannya, ia selalu saja mampir ke sebuah rental playstation yang terletak tak jauh dari sekolahnya. Kalau saja ia tidak mendapat peringkat tiga, mungkin saja orangtuanya akan mengoceh. Mungkin saja dia juga diberikan uang saku seadanya. Yah hanya untuk jajan saat istirahat dan ongkos.
Seperti biasa pula, ia menyerahkan uang senilai Rp 3000 untuk main selama satu jam. Setelah membayarkannya terlebih dahulu kepada seorang bapak bermata sipit, pemilik usaha rental tersebut. Langsung saja, ia duduk lesehan di depan sebuah televisi ukuran 14 inch. Didekatilah meja yang merupakan alas televisi tersebut. Di salah satu raknya, ia mengaduk-aduk beberapa kaset playstation. Cukup lama tangannya berada di dalam kardusnya, hingga pilihannya jatuh pada sebuah kaset game: Medal of Honor – permainan perang-perangan yang mengambil lokasi Perang Dunia Kedua. Daripada anak lelaki lainnya yang menyukai game sepakbola seperti Winning Eleven, Nandes lebih suka game perang-perangan. Ia begitu menyukai, jantungnya dibuat berdebar-debar oleh visual game perang tersebut.
Saat ia memasukan piringan game tersebut ke player-nya, sekilas ia melihat si bapak memanggil anaknya. Namun sepertinya nama anak si bapak tersebut merupakan nama panggilan. Aling; begitulah ia dipanggil. Jarang sekali ia dengar nama gadis Tionghoa seperti itu. Klasik. Biasanya nama-nama temannya yang orang Tionghoa sangat modern. Katherine, Stephanie, Selvie; atau juga berbau Indonesia seperti Vina, Maria, atau Rina. Jarang sekali yang berbau Mandarin. Ia berspekulasi, nama Aling tersebut merupakan nama panggilan.
Setelah si bapak memanggil, gadis bernama Aling datang dan si bapak memintanya untuk menjaga usaha rental tersebut. Sepuluh menit kemudian, terdengarlah suara deruman motor. Si bapak sudah meninggalkan tempat tersebut. Aling, bukannya duduk di meja kasir, malah menghampirinya. Gadis berkuncir dan berdagu agak meruncing itu duduk di sebelahnya. Satu pertanyaan keluar dari mulut gadis yang cukup manis, menurutnya, “Apa enaknya sih main game itu?”
Ia berhenti menekan tombol-tombol stiknya. Ia menoleh ke arah Aling. “Coba deh.” Ia menyodorkan stik tersebut ke Aling. “Lagian, papamu kan yang punya usaha rental ini, masak sih kamu nggak suka main PS?” Nandes mengerutkan keningnya.
“Iya, aku serius. Main game itu apa enaknya? Cuma di depan layar televisi, terus mencet-mencet tombol stik. Aku sih jauh lebih suka baca buku atau nonton VCD.” balas Aling.
Nandes makin mengerutkan keningnya. “Ya udah, coba dulu aja. Main game itu seru. Menegangkan. Bisa mengistirahatkan otak juga. Oh yah, main game itu juga bisa mengasah otak, lho.”
Giliran Aling yang berkerut dahinya. “Masak sih?”
Nandes beringsut ke arah Aling dan meletakan stik yang ia pegang ke tangan Aling. Ia menggerakan tangannya Aling untuk menekan tombol pause. Gambarnya pun mulai bergerak lagi.
“Nah tombol yang sebelah kiri itu buat gerakinnya. Sesuai anak panah. Panah ke atas digerakin, yah si tentaranya maju ke depan,” Ia menuntun Aling dari arah belakang. “Terus tombol 0 itu buat nembak, tombol x buat loncat,…” Lalu blah-blah-blah, Nandes menjelaskan masing-masing dari tombol yang ada di stik tersebut. Aling mulai mengerti. Bagaikan anak yang baru belajar naik sepeda, ketika ia berhenti menjelaskan caranya, Aling sudah larut dalam keasyikan permainan tersebut. Hingga tak terasa satu jam telah berakhir. Nandes harus pulang ke rumah.
“Eh makasih yah udah ajarin aku mainnya. Ternyata benar juga yah kata kamu. Main game memang asyik.” ucap Aling sambil menjulurkan tangannya. “Oh yah, nama kamu siapa?”
“Nandes.” Ia balas menjulurkan tangannya, lalu mereka berdua berjabat tangan. “Kamu sekolah dimana?”
“Aku sekolah di Pembangunan.”
“Wah itu kan sekolahan mahal yah? Kalau sekolahku sih, yah di samping.” Nandes menunjuk ke arah gedung sekolahnya yang berada dekat rental tersebut.
“Iya aku tahu, kok. Kelihatan dari seragamnya.” Aling terkikik.
Selanjutnya, Nandes jadi begitu akrab dengan Aling. Sekarang, ia datang ke rental tersebut bukan lagi untuk bermain saja. Namun ia datang untuk bertemu Aling. Tak sekedar bermain, mereka juga membaca buku dan menonton film bersama. Papanya Aling juga tak keberatan Aling bermain dengan Nandes. Papanya malah senang, sebab Aling punya teman. Aling memang anak yang mengkhawatirkan. Sikap anti-sosialnya begitu menakutkan bagi papanya. Papanya suka menyuruhnya menjaga usaha rental tersebut, dengan alasan Aling dapat berinteraksi. Berinteraksi dengan anak-anak yang datang bermain. Nyatanya, Aling malah sibuk membaca di meja kasir atau sekedar menonton anak-anak yang bermain. Itulah kenapa papanya Aling senang melihat kedekatan anaknya itu dengan Nandes.
Sayangnya, kedekatannya Nandes dengan Aling hanya selama mereka selesai menempuh Ebtanas. Aling meninggalkan Nandes, karena harus mengikuti papanya pindah ke Kalimantan. Nandes tak begitu tahu alasan pindahnya. Namun samar-samar ia dengar bahwa papanya Aling telah diterima kerja di sebuah perusahaan yang ada di kota Pontianak. Karena sudah diterima kerja, alhasil usaha rental itu ditutup.
*****
“Kenapa sih laki-laki itu kalau udah main game, jadi ansos gitu?” Perempuan asing itu jadi sewot. “Apa enaknya sih main game?” Nandes tak tahu bahwa perempuan itu sengaja bertanya seperti itu. Tujuannya hanya untuk membangkitkan kembali memorinya Nandes terhadap dirinya.
Masih sambil menatap permainan Point Blank-nya, ia menjawab, “Ya udah cobain aja. Lagian main game itu seru. Menegangkan. Bisa mengistirahatkan otak juga. Juga bisa mengasah otak.”
Perempuan itu malah tersenyum. Nandes melirik sekilas ke arah perempuan tersebut. “Eh kok malah senyam-senyum sendirian? Ya udah cobain aja. Klik aja icon-nya PB. Tuh.” Nandes menunjuki ikonnya.
“Gak ngerti maininnya.” timpal perempuan.
Permainan di-pause-kan oleh Nandes. Ia lalu beranjak ke arah belakang perempuan asing tersebut. Tangannya menggerakan tangan si perempuan itu untuk menekan ikon Point Blank tersebut. Anehnya, perempuan tersebut tak menjerit. Ia juga membiarkan Nandes mengajarinya bermain Point Blank. Padahal ia belum pernah bertemu Nandes sebelumnya. Begitupun Nandes. Ia mengajari perempuan itu tanpa ada kecangguan. Bahkan tanpa mereka berdua sadari, mereka malah bermain bersama. War, kalau menggunakan istilahnya anak-anak yang gemar bermain Point Blank.
Tak terasa sudah, Nandes dan perempuan asing itu telah berada di luar warnet itu. Dia berjalan bersama perempuan itu ke kampus Atmajaya. Dalam hatinya, Nandes bertanya-tanya: “Kenapa aku jadi bisa dekat dengan perempuan ini yah? Perasaan baru pertama kali bertemu.” Namun saat melihat wajahnya, Nandes merasa begitu familiar. Wajah perempuan itu seperti pernah dilihatnya di suatu tempat. Namun dimana dan kapan, Nandes sama sekali tak menemukan petunjuknya. Wajahnya kisut waktu berusaha mengingatnya.
“Oya, namanya siapa? Fakultas apa?” tanya Nandes.
“Marina, anak Psikologi,” jawab perempuan itu, sambil tersenyum.
“Eh, maaf yah,” Nandes agak ragu-ragu mengatakannya. “Kok aku kayak merasa kalau ini bukan pertama kalinya bertemu sama kamu? Kayak pernah ketemu sebelumnya, tapi aku lupa.” Nandes menggaruk-garuk kepalanya. “Eh maaf, kalau kamu merasa aku kege-eran.”
Marina tak menjawab. Ia malah melengos pergi begitu saja. “Eh maaf yah, aku ada kelas sebentar lagi. Sepuluh menit lagi mau mulai.” Ia berpura-pura melihat jamnya. Ia sengaja berbuat seperti itu, karena ia belum mau membuka kartunya. Sebetulnya ia telah mengetahui Nandes sebelumnya. Hati kecilnya mengatakan bahwa bocah lelaki, teman akrabnya waktu kelas 6 SD, telah berada di dekatnya. Ia tambah yakin lagi, saat melihat fisiknya yang sama-sama bertubuh tambun dan wajah yang penuh jerawat. Ciri-ciri yang sama dengan bocah di rental milik ayahnya itu. Namun karena kegengsian seorang wanita yang ia miliki, ia jadi pasif. Gengsi kalau seorang wanita mendekati dan mengajak kenalan terlebih dahulu seorang pria. Karena itulah, Marina terus berjalan menjauh dan meninggalkan Nandes yang masih berusaha membongkar laci otaknya untuk mencari apakah ia pernah bertemu Marina sebelumnya.
*****
“ALING!!!”
Nandes yang dari tadi sedang menikmati kencangnya wifi kampus di bawah payung yang menancap di meja kayu, jadi menghentikan aktifitas online-nya itu. Ia mencari-cari suara yang memanggil sebuah nama yang begitu familiar bagi otaknya. Matanya jelalatan mencari pelaku suaranya, hingga terpaku pada aula gedung C. Dari kejauhan, ia melihat sekumpulan mahasiswa yang sedang sibuk menjaga agar acaranya bisa berjalan lancar. Ia kemudian menemukan pelaku suara tersebut. Seorang mahasiswi berambut ikal sebahu sedang memanggil temannya yang sedang sibuk mengajak mahasiswa-mahasiswi yang lewat, untuk masuk ke dalam zona acara tersebut. Sepertinya mahasiswi itu ingin meminta bantuan temannya untuk mengoperasikan sebuah komputer yang berada di depannya. Mahasiswi itu memiliki hambatan dalam membuka suatu file.
Nandes menyipitkan matanya. Lah, itu kan bukannya perempuan yang kutemui di warnet tiga hari yang lalu? Namanya bukannya Marina yah? Tapi kok temannya memanggilnya Aling? Daripada ia terus menduga-duga tanpa ada kepastian, ia matikan laptopnya dan berjalan menghampiri perempuan yang ia temui di warnet waktu itu. Ia berjalan menuju aula gedung C yang sedang digunakan oleh sekelompok mahasiswa-mahasiswi yang aktif di Pastoran Atmajaya, untuk memperkenalkan kegiatan apa saja yang ada di organisasi tersebut. Nandes berjalan cepat, sebelum perempuan itu menghampiri temannya yang butuh bantuannya.
Tak sia-sia Nandes berjalan cepat. Karena ia sudah berada di depan pintu masuk dari acara tersebut dan perempuan itu belum terlalu jauh berjalan. Sebelum semakin jauh, dia memanggilnya terlebih dahulu, “Marina!”
Perempuan itu berhenti menghampiri temannya itu dan berbalik. Ia kaget. “Eh Nandes. Ada apa?”
Nandes malah mendelik ke arah Marina. Ia sepertinya baru sadar kalau perempuan itu menguncir rambut panjangnya. Akhirnya ia mulai mengetahui siapakah Marina sebetulnya. Marina, yang dari tadi menatapnya, mendadak jantungnya kumat lagi. Jantungnya kembali berdebar-debar lagi, sejak terakhir kali bikin ulah tiga hari lalu, waktu ia berjalan berdampingan dengan Nandes. Marina berharap Nandes segera menyadari identitas aslinya.
“Eeeeh…” Nandes gugup. “Kayaknya aku merasa pernah ketemu kamu sebelumnya deh?! Kamu itu…” Nandes berhenti dan menerawang ke langit untuk mengumpulkan ingatannya mengenai Marina.
Ayo, dong, Nandes! Ini aku, Aling. Cewek yang main PS sama kamu waktu itu. Marina hanya berani mendesak Nandes dalam hatinya. Ia begitu geregetan melihat Nandes yang tak begitu yakin dengan perasaannya.
“Waktu teman kamu manggil kamu Aling, itu seperti ada yang menampar pipiku, lalu semuanya jadi jelas,” Nandes seperti berusaha mengulur waktu dan membuat jantung Marina berdetak makin kencang. “Kamu itu Aling kan? Alumni SD Pembangunan, yang bapaknya bikin usaha rental di samping sekolahku, SD Teguh Karya? Yang dulu suka main PS bareng aku? Benar bukan dugaanku?”
Akhirnya. Kupikir, saat seperti ini tak akan datang. Asal kamu tahu, aku begitu kangen ingin bertemu kamu. Marina menghela napas lega.
“Eh, maaf yah kalau aku jadi sok kenal sama kamu,” Nandes meminta maaf atas perilakunya yang ‘sok tahu’.
“Nggak kok. Dugaanmu benar.”
“Wah nggak nyangka yah. Setelah sekian lama berpisah, ketemunya malah bisa di sini. Kamu gimana? Sudah semester berapa? Masih suka main PS?” Nandes mulai berani untuk memberondonginya dengan beberapa pertanyaan.
“Aku masuk tahun 2007. Bareng kamu.”
“Hah? Masak sih?”
“Iya, benar. Aku lihat, kok, kamu waktu bawa bendera fakultasmu waktu ospek itu.”
Dada Nandes kembang kempis. Tak disangka Marina malah mengingatnya lebih dahulu, daripada ia mengingatnya. Mungkinkah Marina itu merupakan belahan jiwanya? Soulmate-nya? Lalu, tiba-tiba saja ia ingat sesuatu. Sesuatu di masa lampau yang belum mendapatkan jawabannya dari Marina. Sebulan sebelum Ebtanas, ia pernah tak sengaja menembak Marina. Namun saat itu, Marina belum memberikan jawabannya, bahkan hingga di saat terakhirnya bertemu Marina. Mungkin inilah saat yang tepat. Nandes tak boleh menundanya lagi. Ia harus mendesak Marina untuk memberikan jawabannya.
Dengan hati-hati, Nandes berkata, “Oya, soal pertanyaan itu gimana? Itu lho, yang waktu aku bilang suka sama kamu. Kamu kan belum kasih jawabannya. Jadi gimana?” Kini Nandes yang dag-dig-dug jantungnya.
Marina tersenyum. “Dua jam lagi, setelah acara ini selesai, temui aku yah di kantin Cenderawasih.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H