Rianty terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Ia gagap bukan karena penyakit lagi. Ia gagap gitu karena ada lu."
Aku mengerutkan dahi.
"Iya, dia suka banget sama lu. Itulah juga alasan dibalik kenapa dia mau ngerjain tugas-tugas sekolah lu; atau juga nganterin lu waktu itu. Dan, pas dia curhat ke gue soal perasaannya itu, dadaku gue sakit, Teph."
Keheningan muncul. Aku dan Rianty bersitatap. Ia masih tersenyum memandangiku.
"Udah ah, gue ke dalam dulu. Kayaknya kelas German Club juga udah mulai. Lu nggak balik ngurus pensi lagi?"
Belum sempat aku menjawab, ia sudah melengos; meninggalkanku yang masih terbengong-bengong dengan segala fakta yang kudapatkan hari ini. Mulai dari si culun yang ternyata teman sekelas dan juga juara Olimpiade Nasional, hingga diriku -- yang tak sengaja dan tak kusadari -- telah masuk ke sebuah cinta segitiga.
Yah, sepertinya -- dari gerak-geriknya itu -- Rianty memendam rasa ke cowok culun itu. Siapa namanya? Hmm.. oh, aku ingat... Immanuel Kencana Bramanto, sang juara tiga Olimpiade Sains tingkat nasional.