"...lu serius, Ty, dia orangnya?"
Rianty mengangguk. "Dan motor yang lagi ia duduki itu, yah memang motornya."
Kata orang, kita perlu hati-hati saat membicarakan seseorang. Karena bisa jadi, objek yang jadi bahan pembicaraan kita itu mengetahuinya -- atau tengah berada di sekitar. Dan, si cowok culun itu mendadak menghampiri aku dan Rianty. Saat aku sudah serentangan dengannya, ia menatap Rianty. Bisa kulihat, dahinya basah. Pas bicara dengan Rianty pun, ia jadi tergeragap.
"Eh, Ri-rianty, a-apa ka-bar? La-lagi nga-ngapain? K-kok be-belum pu-pulang?"
"Biasa aja, Man. Kita kan udah temenan dari SD," ujar Rianty menepuk pundak si culun.
Si culun nyengir saja.
"Ka-kamu ga pulang?"
"Aku ada ekskul juga, sama kayak kamu,"
"O-oh," Ia mengangguk. "Y-yah udah, a-aku ke da-dalam dulu yah,"
Setelah si culun pergi, Rianty ganti menatapku. "Lu tahu, nggak? Kenapa si Iman gagap gitu?"
Aku mengangkat bahu. "Mungkin emang pembawaannya kali. Gue pernah dengar juga, ada tuh penyakit gagap gitu. Cuma gue lupa namanya."