Mohon tunggu...
IMMANUEL ROOSEVELT
IMMANUEL ROOSEVELT Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Informatika

Hallo, nama saya Immanuel Roosevelt mahasiswa Universitas Mercu Buana dengan NIM 41520010180 Fakultas Ilmu Komputer prodi Informatika. Dosen pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.AkĀ 

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia

2 Desember 2024   00:23 Diperbarui: 2 Desember 2024   00:23 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi
Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

Modul Prof. Apollo
Modul Prof. Apollo

Pendahuluan

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merugikan negara tidak hanya dari segi keuangan, tetapi juga melemahkan tata kelola pemerintahan, memperburuk pelayanan publik, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tinggi, terus menghadapi tantangan dalam menegakkan hukum yang adil dan efektif terhadap pelaku korupsi. Dalam konteks hukum pidana, konsep yang dirumuskan Edward Coke tentang actus reus dan mens rea menawarkan kerangka yang sangat penting untuk menilai kesalahan pelaku secara objektif dan subjektif.

Tulisan ini akan menggali lebih dalam peran dan relevansi actus reus dan mens rea dalam menangani kasus korupsi di Indonesia, dengan mengintegrasikan elemen filosofis, historis, yuridis, serta studi kasus nyata yang terjadi di tanah air.

I. Pemahaman Filosofis dan Historis Actus Reus dan Mens Rea

1. Latar Belakang Teori Edward Coke
Edward Coke adalah seorang hakim dan ahli hukum Inggris pada abad ke-17 yang memperkenalkan konsep dualisme dalam kejahatan, yaitu actus reus (the guilty act) dan mens rea (the guilty mind). Konsep ini dilandasi oleh prinsip keadilan, bahwa seseorang tidak boleh dihukum hanya karena tindakannya (actus) tanpa adanya niat jahat (mens rea). Sebaliknya, seseorang dengan niat jahat tetapi tanpa tindakan yang melanggar hukum juga tidak dapat dihukum.

Coke menegaskan bahwa keadilan pidana harus bersifat dualistik: seseorang dianggap bersalah secara hukum jika memenuhi dua unsur, yaitu:

  • Adanya actus reus, tindakan nyata yang melanggar hukum.
  • Adanya mens rea, kondisi mental atau niat yang disengaja untuk melakukan tindakan tersebut.

Dalam hukum pidana modern, teori ini menjadi pilar utama dalam menilai kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi.

2. Evolusi Penerapan Teori dalam Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia yang berbasis pada hukum campuran (civil law dan common law) mengadopsi konsep ini dalam banyak regulasi pidana, terutama dalam penanganan kasus korupsi. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa setiap pelanggaran harus memiliki unsur:

  • Perbuatan (actus reus), misalnya penerimaan suap, penggelapan dana, atau manipulasi anggaran.
  • Kejahatan pikiran (mens rea), seperti niat untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain.

Konsep ini juga tercermin dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menjelaskan pentingnya membuktikan perbuatan melawan hukum (unlawful act) yang didasarkan pada niat atau kesengajaan pelaku.

II. Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia

1. Identifikasi Pelaku Utama dan Pendukung
Dalam tindak pidana korupsi yang kompleks, seperti pengadaan barang dan jasa, korupsi sering melibatkan banyak pihak dengan peran berbeda. Dengan memahami actus reus dan mens rea, penegak hukum dapat membedakan antara pelaku utama, aktor intelektual, dan pelaku sampingan.

Sebagai contoh, dalam kasus Korupsi Asabri yang merugikan negara Rp 23 triliun, terdapat berbagai tingkatan pelaku:

  • Actus reus: Penyalahgunaan dana investasi oleh direksi dan manipulasi saham oleh pihak swasta.
  • Mens rea: Keinginan untuk memperkaya diri sendiri melalui skema investasi fiktif.

Analisis ini memungkinkan peradilan untuk menetapkan tingkat hukuman yang sesuai berdasarkan peran dan niat pelaku.

2. Menjamin Keadilan bagi Pihak yang Tidak Bersalah
Ada banyak kasus di Indonesia di mana bawahannya hanya menjalankan perintah tanpa memahami konsekuensi hukum dari tindakannya. Contoh nyata adalah kasus Suap Bansos COVID-19, di mana beberapa staf Kementerian Sosial diduga terlibat dalam pengadaan fiktif atas arahan atasan. Jika unsur mens rea mereka tidak terbukti, maka mereka dapat dianggap sebagai korban, bukan pelaku utama.

3. Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Aparat Penegak Hukum
Dengan menggunakan pendekatan actus reus dan mens rea, pengadilan dapat meminimalisir risiko salah tangkap atau kriminalisasi pihak yang tidak bersalah. Hal ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem hukum Indonesia, terutama mengingat adanya tantangan dalam independensi lembaga penegak hukum.

III. Studi Kasus: Analisis Actus Reus dan Mens Rea dalam Korupsi Indonesia

1. Kasus E-KTP
Kasus ini merupakan salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Dalam kasus ini, kedua unsur kejahatan terbukti:

  • Actus reus: Manipulasi tender proyek e-KTP, penggelembungan anggaran, dan distribusi dana suap.
  • Mens rea: Niat memperkaya diri oleh para pejabat yang terlibat, termasuk Setya Novanto, yang merancang pembagian keuntungan.

Pengadilan menggunakan bukti-bukti elektronik, seperti percakapan WhatsApp dan aliran dana, untuk membuktikan unsur mens rea.

2. Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)
Kasus BLBI melibatkan dana bailout sebesar Rp 144,5 triliun. Actus reus terlihat dari penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukannya, sementara mens rea tampak dari niat pelaku untuk memperkaya diri dengan menggunakan perusahaan-perusahaan cangkang sebagai sarana penyembunyian aset.

3. Kasus Jiwasraya
Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 16,8 triliun. Terdakwa utama, seperti Heru Hidayat, terbukti melakukan actus reus berupa manipulasi investasi asuransi dan mens rea berupa niat untuk mengalihkan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.

IV. Tantangan dalam Penerapan Actus Reus dan Mens Rea

1. Kompleksitas Pembuktian Mens Rea
Pembuktian niat jahat (mens rea) seringkali menjadi kendala utama, terutama dalam korupsi yang melibatkan jaringan terorganisir. Penggunaan dokumen palsu, komunikasi tersandi, dan aliran dana melalui offshore account menjadi penghalang dalam membuktikan kesengajaan pelaku.

2. Kesenjangan Kapasitas Penegak Hukum
Tidak semua aparat penegak hukum memiliki kemampuan untuk menganalisis bukti kompleks, seperti data forensik keuangan atau komunikasi digital. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan teknologi canggih.

3. Tekanan Politik
Banyak kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi yang memiliki pengaruh politik. Hal ini seringkali menghambat proses pembuktian, terutama dalam mengungkap mens rea.

V. Rekomendasi untuk Penguatan Penerapan Konsep

1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan

  • Merevisi UU Tipikor untuk memperjelas definisi actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi kompleks.
  • Meningkatkan transparansi dalam proses tender dan pengadaan barang/jasa.

2. Pemanfaatan Teknologi

  • Menggunakan big data dan analisis forensik digital untuk melacak aliran dana dan pola komunikasi.
  • Mengintegrasikan sistem pelaporan yang memungkinkan masyarakat untuk melaporkan tindak pidana korupsi secara anonim.

3. Meningkatkan Kapasitas Aparat Penegak Hukum

  • Memberikan pelatihan khusus tentang analisis bukti mens rea dan actus reus.
  • Mengadopsi teknologi kecerdasan buatan untuk membantu analisis data hukum.

4. Kolaborasi Antar-Lembaga

  • Memperkuat kerja sama antara KPK, kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengawas lainnya.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan dan pencegahan korupsi.

VI. Perspektif Filosofis, Sosiologis, dan Ekonomis: Korupsi dalam Kerangka Actus Reus dan Mens Rea

Korupsi tidak hanya persoalan hukum, tetapi juga memiliki dimensi filosofis, sosiologis, dan ekonomis yang saling terkait. Penerapan konsep actus reus dan mens rea dalam konteks ini memerlukan pemahaman yang lebih luas untuk memastikan efektivitas pencegahan, penegakan hukum, dan pemulihan kerugian negara.

1. Perspektif Filosofis: Prinsip Keadilan dan Tanggung Jawab Moral

Edward Coke membangun kerangka actus reus dan mens rea berdasarkan prinsip keadilan substantif, yakni memastikan bahwa seseorang hanya dihukum jika terdapat kombinasi tindakan nyata dan niat jahat. Dalam konteks korupsi:

  • Prinsip ini mengakui bahwa tindakan semata tanpa niat tidak cukup untuk menghukum seseorang. Hal ini melindungi mereka yang terlibat secara tidak langsung, seperti bawahan yang hanya menjalankan tugas tanpa memahami bahwa tindakannya merupakan bagian dari kejahatan.
  • Sebaliknya, jika niat jahat terbukti tanpa tindakan langsung (seperti dalam peran aktor intelektual), mereka tetap dapat dihukum karena mendalangi kejahatan.

Filosofi ini menegaskan pentingnya tanggung jawab moral dalam sistem peradilan. Sebagai contoh, dalam kasus Korupsi Dana Otsus Papua, banyak pihak terlibat dalam alokasi dana yang tidak tepat. Analisis keadilan moral melalui mens rea memungkinkan pemisahan pelaku utama dari pihak-pihak yang terlibat karena ketidaktahuan.

2. Perspektif Sosiologis: Dampak Sistemik Korupsi

Korupsi di Indonesia seringkali bersifat struktural, dengan jaringan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari pejabat tinggi hingga individu biasa. Dalam kerangka actus reus dan mens rea, pendekatan sosiologis membantu memahami bagaimana budaya korupsi terbentuk:

  • Budaya Patrimonialisme: Indonesia memiliki sejarah panjang budaya patron-klien, di mana bawahan merasa wajib melayani kepentingan atasan meskipun melanggar hukum. Hal ini memperumit pembuktian mens rea pada bawahan yang merasa dipaksa untuk melaksanakan perintah atasan.
  • Normalisasi Perilaku Koruptif: Dalam beberapa kasus, tindakan yang melanggar hukum menjadi "normal" dalam budaya organisasi. Misalnya, manipulasi laporan keuangan dianggap sebagai bagian dari strategi bisnis. Tanpa analisis mens rea, fenomena ini dapat terus berlangsung.

3. Perspektif Ekonomis: Biaya dan Dampak Korupsi

Korupsi menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Dalam kasus seperti Jiwasraya atau Asabri, kerugian negara tidak hanya berdampak pada kerugian langsung, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan di pasar keuangan. Dengan analisis actus reus dan mens rea, biaya korupsi dapat dihitung lebih akurat melalui:

  • Kerugian Langsung: Penggelapan dana atau manipulasi anggaran.
  • Kerugian Tidak Langsung: Hilangnya investasi asing, melemahnya stabilitas ekonomi, dan penurunan kepercayaan masyarakat.
    Sebagai contoh, kerugian ekonomi akibat korupsi di sektor infrastruktur menyebabkan terhambatnya pembangunan, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional.

VII. Dimensi Hukum dan Politik dalam Penegakan Actus Reus dan Mens Rea

Penanganan korupsi seringkali dipengaruhi oleh dinamika politik, terutama ketika melibatkan tokoh-tokoh penting. Dalam konteks ini, penerapan konsep actus reus dan mens rea menjadi tantangan yang rumit.

1. Aspek Hukum: Kompleksitas Pembuktian dan Implementasi

Hukum pidana Indonesia mengakui pentingnya pembuktian dua elemen ini, tetapi implementasinya di pengadilan seringkali menghadapi kendala:

  • Ketersediaan Bukti: Pembuktian mens rea memerlukan bukti niat, seperti percakapan, dokumen perencanaan, atau pengakuan saksi. Namun, dalam korupsi yang terorganisir, pelaku sering menggunakan kode-kode tertentu untuk menyamarkan niat mereka.
  • Dualisme Undang-Undang: Dalam beberapa kasus, ada tumpang tindih antara hukum pidana umum (KUHP) dan UU Tipikor, yang menyebabkan perbedaan penafsiran mengenai unsur actus reus dan mens rea.

2. Aspek Politik: Tekanan dan Intervensi

Beberapa kasus besar seperti BLBI dan Hambalang menunjukkan bagaimana kepentingan politik dapat mempengaruhi proses hukum. Hal ini seringkali melemahkan pembuktian elemen mens rea, terutama ketika pelaku utama memiliki posisi strategis dalam pemerintahan.

Sebagai contoh, dalam kasus Century Bank, tekanan politik menyebabkan proses pembuktian berjalan lambat, meskipun ada indikasi kuat mengenai mens rea berupa niat untuk menyelamatkan pihak tertentu dengan merugikan negara.

VIII. Penerapan Teknologi dan Inovasi dalam Analisis Actus Reus dan Mens Rea

Dalam era digital, teknologi memainkan peran penting dalam menganalisis actus reus dan mens rea. Teknologi dapat digunakan untuk mengungkap bukti yang sulit diakses melalui metode konvensional.

1. Forensik Digital

Dengan meningkatnya penggunaan teknologi dalam korupsi, forensik digital menjadi alat utama untuk membuktikan elemen mens rea:

  • Melacak transaksi melalui blockchain atau sistem perbankan.
  • Menganalisis komunikasi digital, termasuk email dan pesan teks.

Sebagai contoh, dalam kasus Suap Meikarta, bukti mens rea diperoleh melalui percakapan WhatsApp yang mengungkap niat para pejabat untuk menerima suap.

2. Kecerdasan Buatan (AI) untuk Analisis Data Hukum

AI dapat membantu mengidentifikasi pola yang menunjukkan actus reus dan mens rea dalam dataset besar. Dengan algoritma pembelajaran mesin, sistem ini dapat mendeteksi anomali dalam laporan keuangan atau aktivitas transaksi mencurigakan.

3. Big Data untuk Pencegahan Korupsi

Big data memungkinkan analisis prediktif untuk mengidentifikasi potensi korupsi sebelum terjadi. Sistem ini dapat memantau anggaran pemerintah dan mengidentifikasi penyimpangan berdasarkan pola sebelumnya.

IX. Peran Masyarakat dalam Mengidentifikasi Actus Reus dan Mens Rea

Pemberantasan korupsi tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Dalam konteks actus reus dan mens rea, masyarakat memiliki peran penting dalam:

  • Pelaporan Dugaan Tindak Pidana: Masyarakat dapat melaporkan dugaan actus reus melalui platform seperti KPK Whistleblower System (KWS).
  • Tekanan Sosial terhadap Pelaku: Kritik publik dapat memengaruhi pengadilan untuk lebih serius dalam membuktikan mens rea.

Sebagai contoh, dalam kasus Bansos COVID-19, tekanan masyarakat menyebabkan pengadilan mempercepat proses pembuktian dan penjatuhan hukuman kepada Juliari Batubara.

X. Studi Kasus Korupsi Korporasi di Indonesia: PT Duta Graha Indah (PT DGI)

Korupsi korporasi merupakan salah satu tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah kasus PT Duta Graha Indah (PT DGI) yang melibatkan korporasi sebagai pelaku kejahatan. Kasus ini menunjukkan bagaimana konsep actus reus dan mens rea diterapkan dalam penindakan korupsi korporasi dengan kekuatan hukum tetap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

1. Latar Belakang Kasus

PT Duta Graha Indah, sebuah perusahaan konstruksi besar, terlibat dalam sejumlah proyek pembangunan yang dibiayai oleh negara. Pada periode 2010ā€“2011, PT DGI terbukti melakukan manipulasi dalam proyek pembangunan fasilitas rumah sakit dan infrastruktur lainnya, termasuk proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Udayana di Bali dan proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang.

2. Peran PT DGI sebagai Korporasi dalam Korupsi

Penyelidikan KPK mengungkapkan bahwa PT DGI terlibat dalam sejumlah tindakan koruptif yang memenuhi elemen actus reus dan mens rea:

  • Actus Reus (Tindakan Nyata):
    • Manipulasi proses tender dengan memberikan suap kepada pejabat pemerintah untuk memenangkan kontrak proyek.
    • Penggelembungan harga (markup) dalam proyek-proyek tersebut yang menyebabkan kerugian negara.
    • Pelibatan dokumen palsu dalam laporan keuangan perusahaan untuk menutupi penyimpangan dana.
  • Mens Rea (Niat Jahat):
    • Manajemen puncak PT DGI dengan sengaja merencanakan tindakan manipulasi ini untuk mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar.
    • Penggunaan dana perusahaan untuk menyuap pejabat pemerintah menunjukkan adanya niat langsung untuk melanggar hukum.

3. Peran Individual dan Korporasi

Dalam kasus ini, KPK tidak hanya menjerat individu-individu yang terlibat, seperti Dudung Purwadi, Direktur Utama PT DGI saat itu, tetapi juga menjerat korporasi sebagai entitas hukum. PT DGI menjadi salah satu perusahaan pertama yang dijerat dengan pidana korporasi dalam kasus korupsi di Indonesia.

4. Proses Hukum

Setelah penyelidikan yang mendalam, KPK melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Proses hukum menunjukkan bagaimana actus reus dan mens rea diterapkan dalam konteks korupsi korporasi:

  • Pembuktian Actus Reus: KPK menghadirkan bukti fisik, seperti dokumen kontrak proyek, bukti transfer dana, dan rekaman komunikasi antara manajemen PT DGI dan pejabat pemerintah.
  • Pembuktian Mens Rea: Bukti niat jahat ditemukan melalui korespondensi internal perusahaan yang menunjukkan adanya perencanaan manipulasi, serta pengakuan saksi dari pihak internal dan eksternal perusahaan.

5. Vonis Pengadilan

Pada tahun 2018, Mahkamah Agung menetapkan PT DGI (yang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring, PT NKE) bersalah atas tindak pidana korupsi. Pengadilan menjatuhkan hukuman berupa:

  • Denda sebesar Rp700 juta.
  • Pembayaran uang pengganti sebesar Rp85 miliar, yang merupakan kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan perusahaan.
  • Larangan bagi PT NKE untuk mengikuti proyek pemerintah selama kurun waktu tertentu.

6. Dampak Kasus terhadap Dunia Bisnis

Kasus PT DGI memberikan dampak besar terhadap dunia bisnis di Indonesia:

  • Kerugian Reputasi: PT DGI mengalami kerugian reputasi yang signifikan, kehilangan kepercayaan dari klien dan mitra bisnis.
  • Preseden Hukum: Kasus ini menjadi preseden penting dalam penanganan korupsi korporasi, di mana korporasi dapat dijerat sebagai subjek hukum pidana.
  • Peningkatan Kepatuhan: Kasus ini memicu perusahaan lain untuk meningkatkan kepatuhan terhadap aturan hukum dan transparansi dalam operasional bisnis mereka.

7. Analisis Mendalam dengan Kerangka Actus Reus dan Mens Rea

Penerapan kerangka actus reus dan mens rea dalam kasus PT DGI menunjukkan pentingnya analisis mendalam untuk memastikan keadilan:

  • Actus Reus:
    • Tindakan nyata berupa manipulasi tender dan penggelembungan harga dapat diidentifikasi melalui audit keuangan dan pemeriksaan dokumen.
    • Peran aktif perusahaan dalam menyuap pejabat pemerintah menjadi bukti konkret pelanggaran hukum.
  • Mens Rea:
    • Rencana sistematis yang didokumentasikan dalam internal perusahaan menunjukkan niat langsung untuk mendapatkan keuntungan ilegal.
    • Keterlibatan manajemen puncak menjadi indikasi kuat bahwa tindakan ini dilakukan dengan sengaja.

8. Pembelajaran dari Kasus PT DGI

Kasus ini memberikan sejumlah pembelajaran penting:

  • Pentingnya Sistem Pengawasan: Pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur untuk mencegah manipulasi tender.
  • Penegakan Hukum yang Tegas: Penindakan tegas terhadap korporasi menunjukkan bahwa tidak ada entitas yang kebal hukum.
  • Penguatan Kapasitas KPK: KPK harus terus meningkatkan kapasitasnya dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan korporasi, termasuk penggunaan teknologi dan data analitik.

XI. Kesimpulan dan Penutup

Kasus PT DGI menunjukkan bagaimana korupsi korporasi dapat merugikan negara dalam skala besar, serta pentingnya penerapan konsep actus reus dan mens rea untuk memastikan keadilan. Melalui pendekatan hukum yang komprehensif, penguatan kelembagaan, dan peningkatan kesadaran publik, Indonesia dapat meminimalkan kasus korupsi korporasi dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih transparan dan berintegritas.

Penerapan konsep actus reus dan mens rea dalam menangani kasus korupsi di Indonesia adalah elemen kunci untuk mencapai keadilan yang substantif. Dengan memahami tindakan nyata (actus reus) dan niat jahat (mens rea), sistem peradilan dapat membedakan pelaku utama dari pihak-pihak yang hanya terlibat secara tidak langsung.

Namun, penerapan konsep ini menghadapi tantangan besar, termasuk kompleksitas pembuktian, tekanan politik, dan keterbatasan teknologi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan teknologi, reformasi hukum, penguatan kapasitas penegak hukum, dan partisipasi aktif masyarakat.

Hanya dengan cara ini Indonesia dapat memperbaiki citra sistem hukum dan membangun masa depan yang lebih transparan dan bebas korupsi.

Daftar Pustaka

Anditya, L., & Rosita, S. (2023). "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia." Jurnal Integritas: Kajian Antikorupsi Indonesia, 9(1), 34-56.

Muchamad, C. (2022). "Corporate Criminal Liability in Indonesia: Challenges and Solutions." Journal of Comparative Criminal Justice, 6(2), 101-120.

Istiqomah, S., Rokhim, A., & Isnaeni, D. (2023). Kebijakan Hukum Pidana dalam Pertanggung Jawaban Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi. Al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 12(2), 278-297.

Zahra, Z. (2022). "Evaluating Mens Rea in Corporate Crimes: Insights from Indonesia." Jurnal Hukum dan Pembangunan, 8(3), 175-190.

Suryawan, I. G., & Putri, A. T. (2023). "Analysis of Vicarious Liability and Identification Doctrine in Corporate Corruption Cases." Asian Journal of Legal Studies, 5(4), 214-230.

Lakso, A. (2023). "Pembuktian Kesalahan Dalam Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia." Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, 3(1), 15-27.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun