Coke menegaskan bahwa keadilan pidana harus bersifat dualistik: seseorang dianggap bersalah secara hukum jika memenuhi dua unsur, yaitu:
- Adanya actus reus, tindakan nyata yang melanggar hukum.
- Adanya mens rea, kondisi mental atau niat yang disengaja untuk melakukan tindakan tersebut.
Dalam hukum pidana modern, teori ini menjadi pilar utama dalam menilai kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi.
2. Evolusi Penerapan Teori dalam Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia yang berbasis pada hukum campuran (civil law dan common law) mengadopsi konsep ini dalam banyak regulasi pidana, terutama dalam penanganan kasus korupsi. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa setiap pelanggaran harus memiliki unsur:
- Perbuatan (actus reus), misalnya penerimaan suap, penggelapan dana, atau manipulasi anggaran.
- Kejahatan pikiran (mens rea), seperti niat untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain.
Konsep ini juga tercermin dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang menjelaskan pentingnya membuktikan perbuatan melawan hukum (unlawful act) yang didasarkan pada niat atau kesengajaan pelaku.
II. Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus Korupsi di Indonesia
1. Identifikasi Pelaku Utama dan Pendukung
Dalam tindak pidana korupsi yang kompleks, seperti pengadaan barang dan jasa, korupsi sering melibatkan banyak pihak dengan peran berbeda. Dengan memahami actus reus dan mens rea, penegak hukum dapat membedakan antara pelaku utama, aktor intelektual, dan pelaku sampingan.
Sebagai contoh, dalam kasus Korupsi Asabri yang merugikan negara Rp 23 triliun, terdapat berbagai tingkatan pelaku:
- Actus reus: Penyalahgunaan dana investasi oleh direksi dan manipulasi saham oleh pihak swasta.
- Mens rea: Keinginan untuk memperkaya diri sendiri melalui skema investasi fiktif.
Analisis ini memungkinkan peradilan untuk menetapkan tingkat hukuman yang sesuai berdasarkan peran dan niat pelaku.
2. Menjamin Keadilan bagi Pihak yang Tidak Bersalah
Ada banyak kasus di Indonesia di mana bawahannya hanya menjalankan perintah tanpa memahami konsekuensi hukum dari tindakannya. Contoh nyata adalah kasus Suap Bansos COVID-19, di mana beberapa staf Kementerian Sosial diduga terlibat dalam pengadaan fiktif atas arahan atasan. Jika unsur mens rea mereka tidak terbukti, maka mereka dapat dianggap sebagai korban, bukan pelaku utama.
3. Menghindari Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Aparat Penegak Hukum
Dengan menggunakan pendekatan actus reus dan mens rea, pengadilan dapat meminimalisir risiko salah tangkap atau kriminalisasi pihak yang tidak bersalah. Hal ini penting untuk menjaga kredibilitas sistem hukum Indonesia, terutama mengingat adanya tantangan dalam independensi lembaga penegak hukum.
III. Studi Kasus: Analisis Actus Reus dan Mens Rea dalam Korupsi Indonesia