Mohon tunggu...
Imelda Lamapaha_55520110018
Imelda Lamapaha_55520110018 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana

Learning By Doing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB1 Prof Apollo: Tantangan Pajak Ekonomi Digital dalam Dunia Internasional

7 Oktober 2021   08:43 Diperbarui: 7 Oktober 2021   08:49 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Pesatnya kemajuan teknologi saat ini membuat ekonomi digital menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial, karena memungkinkan kegiatan bisnis dapat memperoleh penghasilam dengan memanfaatkan media seperti penjualan barang secara online pada marketplace tertentu. 

Terutama saat masa pandemi covid 19 seluruh kegiatan termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, sampai kegiatan ekonomi telah berahlih ke arah digital. 

Peningkatan aktivitas digital di Indonesia akibat pandemi meningkat sangat potensial. Namun hal yang sangat disayangkan adalah hingga akhir tahun 2020 kesepakatan dunia terkait pajak digital belum juga tercapai. 

Hal tersebut menunjukan potensi pendapatan pajak untuk negara berkembang terkait pajak digital menjadi kian tergerus. Isu pajak ekonomi digital ini tidak hanya berkembang di Indonesia tetapi banyak negara lain mengalami hal yang sama, yakni kerugian yang ditimbulkan dari ketidak pastian regulasi perpajakan ekonomi digital.

Apa itu Ekonomi Digital ?

Ekonomi Digital sendiri dalam OECD BEPS Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 : 2015 Final Report didefinisikan sebagai “the result of a transformative process brought by information and communication technology (ICT), which has made technologies cheaper, more powerful, and widely standardised, improving business processes and bolstering innovation across all sectors of the economy".  

Pertumbuhan Ekonomi Digital yang pesat saat ini mampu menyelesaikan berbagai permasalah perekonomian dunia dari sektor retail, transportasi (transportasi online), edukasi (online course), kesehatan, interaksi sosial, hingga hubungan antar individu (social media). PBB dalam Handbook tentang Protecting the Tax base of Developing Countries menjelaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah meningkatkan permasalahan yang berkaitan dengan penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (BEPS).

Menurut handbook PBB, Ekonomi Digital dikarakteristikkan sebagai "An unparalleled reliance on intangible assets, massive use of data (notably personal data), widespread adoption of multisided business models capturing value from externalities generated by free products, and the difficulty of determining the jurisdiction in which value-creation activity occurs". Hal ini menunjukkan betapa besarnya ancaman ekonomi digital pada sektor perpajakan bagi sebuah negara, kesigapan pemerintah dalam merespon perkembangan ini sangat diperlukan untuk meminimalkan potensi hilangnya basis pajak.

Potensi Indonesia dengan penduduk mencapai 250 juta jiwa dan nilai PDB terbesar di Asia Tenggara menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk mengembangkan usahanya di Indonesia khususnya bagi perusahaan rintisan berbasis digital atau Startup. Buktinya hingga saat ini Indonesia telah memiliki 4 startup dengan status "Unicorn" (valuasi lebih dari US$1 Miliar) di mana perusahaan-perusahaan tersebut belum genap berumur 10 tahun. Perkembangan yang pesat dari perusahaan Startup tersebut didukung oleh adanya bonus demografi dan infrastruktur komunikasi yang memadai di Indonesia.

Tantangan Perpajakan dari Ekonomi Digital

Laporan OECD BEPS Aksi 1  membahas sejumlah isu dan masalah terkait ekonomi digital, namun isu tersebut terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu perpajakan langsung (pajak penghasilan) dan pajak tidak langsung (pajak pertambahan nilai). Isu-isu ini termasuk upaya perusahaan multinasional untuk memiliki kehadiran digital yang substansial dalam perekonomian suatu negara tanpa dikenakan pajak, keberadaan properti berharga (baik manfaat maupun biaya) karena adanya kampanye pemasaran data lokasi melalui penggunaan produk dan layanan digital, karakterisasi pendapatan yang diperoleh dari model bisnis baru dan penerapan prinsip sumber dan bagaimana memastikan pemungutan PPN yang efektif terkait dengan transaksi lintas batas barang dan jasa digital.

Skema Base Erosion and Profit Shifting oleh industri multinasional dikala ini dalam konteks perpajakan langsung( Pajak Pemasukan) bagi OECD BEPS Aksi 1 terdiri dari 4 elemen, yakni:

  • Meminimalisasi pajak di negara pasar dengan Menjahi taxable presence. Dalam perihal ini dilakukan baik dengan  menggeser gross profit (profit shifting) atau mengurangi laba bersih dengan memaksimalkan pengurangan laba pada tingkat pemberi pemasukan.
  • Penerapan withholding tax yang rendah atau sama sekali tidak menerapkan di negara sumber.
  • Penerapan pajak yang rendah atau sama sekali tidak pada tingkat penerima penghasilan melalui klaim pada pendapatan non-rutin substansial yang seringkali dibentuk melalui skema intra grup.
  • Tidak adanya pemajakan kini (current taxation) dari keuntungan perusahaan atas tarif pajak yang rendah di tingkat ultimate parent company.

Dari elemen- elemen di atas bisa kita pahami kalau skema penghindaran yang dicoba melibatkan 3 perihal berarti ialah status Bentuk Usaha Tetap ( BUT), terdapatnya Controlled Foreign Company( CFC) serta transaksi transfer pricing. Bermacam model bisnis baru di perekonomian digital serta lambatnya reaksi pemerintah atas pergantian ini memberikan celah industri yang aktif dalam Ekonomi Digital untuk melaksanakan penghindaran status BUT, pembuatan industri cangkang( CFC) di negeri yang mempunyai ketentuan lemah atas CFC serta upaya transfer pricing memakai intangibles goods( tercantum hard- to- value intangibles).

Berikutnya bila kita memandang sisi indirect tax( Pajak Pertambahan Nilai), Ekonomi Digital menghadirkan tantangan dalam pemungutan PPN di mana impor barang, pemanfaatan jasa, serta intangibles yang diperoleh konsumen akhir dari supplier luar negara. Di Indonesia sendiri PPN menganut prinsip tempat tujuan( destination principle), oleh sebab itu pesatnya Ekonomi Digital kian memperbesar hilangnya kemampuan( potential lossses) penerimaan negeri sebab pemakaian teknologi dalam tiap penyerahan ataupun pemanfaatan benda/ jasa spesialnya pada transaksi cross- border. 

Pemungutan PPN yang tidak berjalan atas transaksi cross- border tersebut hendak tingkatkan resiko persaingan usaha yang tidak sehat terhadap domestic retailer yang diharuskan memungut PPN atas penjualan kepada konsumen akhir. Perihal ini pasti membagikan ketidakadilan untuk harus pajak spesialnya Pengusaha Kena Pajak yang menjual produknya lebih mahal akibat PPN dibanding supplier luar negara yang sanggup menjual produknya leluasa dari pengenaan PPN.

Kewajiban Pajak

Sesunguhnya, kewajiban pajak  jelas telah diinformasikan dalam regulasi yang berlaku. Setiap wajib pajak yang memperoleh penghasilan di wilayah Indonesia, baik WNI ataupun WNA, wajib membayarkan pajak sesuai ketentuan yang ada. Setelah itu pajak memiliki porsinya untuk tiap jenis penghasilan. Namun demikian, regulasi konvensional yang berlaku tersebut sepertinya sudah tidak terlalu sesuai untuk digunakan karena pengenaan pajak terbatas pada lingkup pajak penghasilan saja. Pada rapat yang diadakan beberapa waktu lalu di Konferensi Tingkat Tinggi, disepakati untuk memperaktikan pajak dengan tipe khusus untuk ekonomi digital.

Konferensi Tingkat Tinggi yang juga dihadiri oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, telah mendapatkan sejumlah kesepakatan, diantara kesepakatan yang paling uatama adalah tentang regulasi perpajakan untuk e-Commerce dan ekonomi digital yang kemudian akan memiliki ketentuan khusus. Kesepakatan tersebut sangat penting karena biasanya kedua pelaku bisnis berada di negara berbeda, sehingga harus ada aturan jelas mengenai pajak yang akan dikenakan pada para pelaku bisnis tersebut.

Objek Pajak Bisnis Digital Belum Terdikotomi

Pajak penghasilan yang dikenakan untuk bentuk Badan Usaha Tetap menurut peraturan konvensional yang berlaku saat ini masih mengharuskan syarat badan mempunyai bangunan atau kantor yang berlokasi di Indonesia, pada kenyataanya tidak sedikit badan atau bentuk usaha beraktivitas secara digital dan tidak memiliki kantor berupa bangunan fisik. Hal tersebut terlihat sepeleh dalam praktek bisnis, namun tidak pada bidang pajak. 

Pelaku bisnis digital saat ini masih banyak yang salah dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan bahkan ada pelaku tidak melaksanakan kewajiban pajaknya dengan alasan tidak mengetahui aturan yang berlaku. Oleh karena itu dibutuhkan tinjauan lebih lanjut sehingga para pelaku bisnis digital tetap aktivitas bisnis dan kewajiban perpajakan secara bersamaan.

Jenis badan usaha ini memang belum dikelompokkan ke dalam regulasi manapun. Berdasarkan peraturan yang berlaku, memang jenis usaha seperti ini tergolong baru sehingga perlu diberikan satu regulasi khusus agar pelakunya mendapat kesetaraan kewajiban pajak seperti pengusaha lain. Meski tidak memiliki kantor, namun aktivitas bisnis dan penghasilan tetap berjalan bukan?

Isu Pajak Digital

Satu badan yang turut serta dalam perumusan kebijakan pajak ekonomi digital untuk dunia internasional, Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting atau BEPS menyatakan terdapat beberapa isu besar yang masih menjadi tantangan dalam perumusan aturan pajak jenis ini. Nantinya, pajak yang diberlakukan diorientasikan untuk kepentingan global demi mencegah penghindaran pajak, khususnya untuk badan usaha yang melakukan bisnis lintas negara.

Isu pertama adalah mengenai syarat Badan Usaha Tetap yang lebih dahulu dibahas di bagian awal tadi. Terkait dengan pemilikan bangunan atau kantor di suatu negara, dirasa perlu kajian lebih lanjut untuk menyesuaikan aturan dengan kenyataan yang kini ada bahwa tidak setiap BUT yang bersifat digital memiliki syarat tersebut. Namun tetap melakukan aktivitas bisnis lintas negara.

Kedua adalah terkait dengan pembagian hak pemberlakuan pajak untuk setiap negara. Seperti yang dipahami, banyak negara yang berupaya untuk menjaring pajak dari setiap celah yang ada di dunia bisnis. Namun demikian ketika pengusaha atau badan usaha telah melaksanakan kewajiban pajaknya di satu negara, maka kewajiban pajak di negara lain harus disesuaikan. Hal ini bisa dilakukan dengan pengangkatan penuh atau sebagian. Karena ekonomi digital melibatkan dua negara, harus ada pembagian jelas untuk porsi pajak masing-masing negara.

Terakhir adalah terkait dengan keabsahan transaksi yang dilakukan ekonomi digital. Tidak sedikit transaksi yang dilakukan berupa transaksi ilegal dan sulit terlacak. Dengan diberlakukannya regulasi khusus, maka celah untuk terjadinya transaksi tidak wajar dapat dipersempit secara berkelanjutan. Pajak ekonomi digital secara logis perlu memiliki regulasi tersendiri karena mempunyai kondisi berbeda dengan bisnis konvensional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun