Laporan OECD BEPS Aksi 1 Â membahas sejumlah isu dan masalah terkait ekonomi digital, namun isu tersebut terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu perpajakan langsung (pajak penghasilan) dan pajak tidak langsung (pajak pertambahan nilai). Isu-isu ini termasuk upaya perusahaan multinasional untuk memiliki kehadiran digital yang substansial dalam perekonomian suatu negara tanpa dikenakan pajak, keberadaan properti berharga (baik manfaat maupun biaya) karena adanya kampanye pemasaran data lokasi melalui penggunaan produk dan layanan digital, karakterisasi pendapatan yang diperoleh dari model bisnis baru dan penerapan prinsip sumber dan bagaimana memastikan pemungutan PPN yang efektif terkait dengan transaksi lintas batas barang dan jasa digital.
Skema Base Erosion and Profit Shifting oleh industri multinasional dikala ini dalam konteks perpajakan langsung( Pajak Pemasukan) bagi OECD BEPS Aksi 1 terdiri dari 4 elemen, yakni:
- Meminimalisasi pajak di negara pasar dengan Menjahi taxable presence. Dalam perihal ini dilakukan baik dengan  menggeser gross profit (profit shifting) atau mengurangi laba bersih dengan memaksimalkan pengurangan laba pada tingkat pemberi pemasukan.
- Penerapan withholding tax yang rendah atau sama sekali tidak menerapkan di negara sumber.
- Penerapan pajak yang rendah atau sama sekali tidak pada tingkat penerima penghasilan melalui klaim pada pendapatan non-rutin substansial yang seringkali dibentuk melalui skema intra grup.
- Tidak adanya pemajakan kini (current taxation) dari keuntungan perusahaan atas tarif pajak yang rendah di tingkat ultimate parent company.
Dari elemen- elemen di atas bisa kita pahami kalau skema penghindaran yang dicoba melibatkan 3 perihal berarti ialah status Bentuk Usaha Tetap ( BUT), terdapatnya Controlled Foreign Company( CFC) serta transaksi transfer pricing. Bermacam model bisnis baru di perekonomian digital serta lambatnya reaksi pemerintah atas pergantian ini memberikan celah industri yang aktif dalam Ekonomi Digital untuk melaksanakan penghindaran status BUT, pembuatan industri cangkang( CFC) di negeri yang mempunyai ketentuan lemah atas CFC serta upaya transfer pricing memakai intangibles goods( tercantum hard- to- value intangibles).
Berikutnya bila kita memandang sisi indirect tax( Pajak Pertambahan Nilai), Ekonomi Digital menghadirkan tantangan dalam pemungutan PPN di mana impor barang, pemanfaatan jasa, serta intangibles yang diperoleh konsumen akhir dari supplier luar negara. Di Indonesia sendiri PPN menganut prinsip tempat tujuan( destination principle), oleh sebab itu pesatnya Ekonomi Digital kian memperbesar hilangnya kemampuan( potential lossses) penerimaan negeri sebab pemakaian teknologi dalam tiap penyerahan ataupun pemanfaatan benda/ jasa spesialnya pada transaksi cross- border.Â
Pemungutan PPN yang tidak berjalan atas transaksi cross- border tersebut hendak tingkatkan resiko persaingan usaha yang tidak sehat terhadap domestic retailer yang diharuskan memungut PPN atas penjualan kepada konsumen akhir. Perihal ini pasti membagikan ketidakadilan untuk harus pajak spesialnya Pengusaha Kena Pajak yang menjual produknya lebih mahal akibat PPN dibanding supplier luar negara yang sanggup menjual produknya leluasa dari pengenaan PPN.
Kewajiban Pajak
Sesunguhnya, kewajiban pajak  jelas telah diinformasikan dalam regulasi yang berlaku. Setiap wajib pajak yang memperoleh penghasilan di wilayah Indonesia, baik WNI ataupun WNA, wajib membayarkan pajak sesuai ketentuan yang ada. Setelah itu pajak memiliki porsinya untuk tiap jenis penghasilan. Namun demikian, regulasi konvensional yang berlaku tersebut sepertinya sudah tidak terlalu sesuai untuk digunakan karena pengenaan pajak terbatas pada lingkup pajak penghasilan saja. Pada rapat yang diadakan beberapa waktu lalu di Konferensi Tingkat Tinggi, disepakati untuk memperaktikan pajak dengan tipe khusus untuk ekonomi digital.
Konferensi Tingkat Tinggi yang juga dihadiri oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani, telah mendapatkan sejumlah kesepakatan, diantara kesepakatan yang paling uatama adalah tentang regulasi perpajakan untuk e-Commerce dan ekonomi digital yang kemudian akan memiliki ketentuan khusus. Kesepakatan tersebut sangat penting karena biasanya kedua pelaku bisnis berada di negara berbeda, sehingga harus ada aturan jelas mengenai pajak yang akan dikenakan pada para pelaku bisnis tersebut.
Objek Pajak Bisnis Digital Belum Terdikotomi
Pajak penghasilan yang dikenakan untuk bentuk Badan Usaha Tetap menurut peraturan konvensional yang berlaku saat ini masih mengharuskan syarat badan mempunyai bangunan atau kantor yang berlokasi di Indonesia, pada kenyataanya tidak sedikit badan atau bentuk usaha beraktivitas secara digital dan tidak memiliki kantor berupa bangunan fisik. Hal tersebut terlihat sepeleh dalam praktek bisnis, namun tidak pada bidang pajak.Â
Pelaku bisnis digital saat ini masih banyak yang salah dalam melaksanakan kewajiban perpajakan dan bahkan ada pelaku tidak melaksanakan kewajiban pajaknya dengan alasan tidak mengetahui aturan yang berlaku. Oleh karena itu dibutuhkan tinjauan lebih lanjut sehingga para pelaku bisnis digital tetap aktivitas bisnis dan kewajiban perpajakan secara bersamaan.