Di tengah kerasnya upaya segenap komponen masyarakat untuk menahan laju penyebaran Covid-19, Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan wacana yang meresahkan.Â
Wacana untuk membebaskan narapidana kasus korupsi, bersama dengan narapidana kasus lain untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 membuat banyak pihak bersuara.
Langkah membebaskan narapidana di tengah pandemi ini memang bukan hanya Indonesia yang melakukannya. Beberapa negara lain seperti Iran, Jerman, Kanada, Inggris dan Amerika Serikat juga melakukannya.Â
Alasan overcrowd alias kelebihan penghuni di banding luas lapas adalah pemicunya, dan itu bisa memperbesar potensi penyebaran virus dengan cepat. Upaya menahan penyebaran virus melalui pembebasan tahanan juga bagian dari mentaati seruan dari Komisi Tinggi HAM PBB.
KOMISI III DPR PROTES KEMENKUMHAM
Kemenkumham merespon aksi cepat penanggulangan Covid-19 dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.Â
Berdasarkan Keputusan Menteri yang ditandatangani pada Senin , 30 Maret 2020, sebanyak 30 ribu narapidana akan dibebaskan karena kondisi darurat.
Kriteria narapidana yang dibebaskan karena pandemi ini mengacu pada PP No. 99 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti koruptor, teroris, narkotika dan kejahatan berat lainnya tidak termasuk di dalamnya.Â
Inilah yang kemudian memicu protes dari beberapa orang anggota Komisi III DPR RI saat melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) virtual pada hari Rabu, 1 April 2020.
Dalam RDP tersebut, dua anggota DPR yakni Nasir Djamil dari Fraksi PKS dan Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem. Keduanya memprotes dan menilai bahwa PP yang dijadikan acuan itu bersifat diskriminatif karena tidak memperlakukan semua narapidana secara sama.Â
Mereka mendesak Kemenkumham merevisi PP tersebut untuk membuka peluang bagi narapidana kasus korupsi untuk diikutsertakan dalam pembebasan darurat.
KEMENKUM BERENCANA REVISI PP 99/2012
Menkumham Yasonna Laoly dalam RDP tersebut merespon protes dengan mengungkapkan bahwa Kemenkumham akan meminta persetujuan Presiden untuk merevisi PP tersebut.Â
Jika Presiden menyetujui revisi PP, maka ada 4 kriteria tambahan bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa untuk bisa disertakan dalam pembebasan.Â
Kriteria pertama, narapidana kasus narkotika dengan syarat memiliki masa pidana 5 sampai 10 tahun yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan yang diperkirakan berjumlah 15.442 per 1 April 2020.Â
Kriteria kedua, narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan sudah menjalani 2/3 masa tahanan yang berjumlah 300 orang.Â
Kriteria ketiga yakni narapidana tindak pidana khusus yang mengidap sakit kronis yang status kesehatannya telah diperiksa oleh rumah sakit pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa tahanan. Kriteria terakhir adalah narapidana WNA asing sebanyak 53 orang.
COCOKKAH ALASAN OVERCROWD BAGI NAPI KORUPSI
Pertimbangan utama pembebasan tahanan yang dilakukan beberapa negara adalah karena alasan kelebihan daya tampung penjara. Alasan ini dan beberapa alasan yang perlu ditimbang dan dinalar ketika memutuskan apakah narapidana kasus korupsi bisa diikutsertakan dalam paket pembebasan khusus ini?
Pertama, protes dua anggota Komisi III DPR yang meributkan bahwa narapidana harus diperlakukan sama itu sudah tidak masuk akal. Bagaimana mungkin meminta perlakuan sama ketika jenis kejahatan dan tingkat kerugiannya saja sudah beda.Â
Karena itu ada istilah kejahatan luar biasa karena memang efeknya yang besar. Korupsi adalah salah satu jenis kejahatan biadab yang hingga detik ini menghantui bangsa ini.
Berdasarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 menyidik 62 kasus dengan 155 aktor dan nilai kerugian negara Rp6,2 triliun dan nilai suap Rp200 miliar dan nilai pencucian uang Rp97 miliar.Â
Kerugian triliunan itu hanya yang bisa ditelusuri oleh KPK, berapa triliunan yang masih harus ditelusuri karena korupsi adalah kejahatan yang sangat sistematis.
Tingginya kerugian tidak sebanding dengan sanksi yang diberikan. Indonesia adalah salah satu negara yang paling lemah dalam penegakan hukum kasus korupsi dibandingkan beberapa negara yang menerapkan sanksi keras dalam bentuk hukuman mati bagi pelakunya seperti yang dilakukan oleh Malaysia, Singapura, Vietnam, Taiwan.Â
Sementara di Jepang meski tidak menerapkan hukuman mati namun budaya malu yang sangat kuat kerap mendorong para terpidana korupsi memilih bunuh diri. Sementara disini, pelaku korupsi tetap dapat panggung dan harta mereka pun aman.
Kedua, alasan over kapasitas sangat tidak masuk akal. Para narapidana kasus korupsi biasanya ditempatkan di Lapas Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, Lapas Sukamiskin adalah satu dari 6 lapas lain di Kanwil Jawa Barat yang kapasitasnya mencukupi. Silakan cek link berikut.
Jadi, alasan kemanusiaan maupun alasan over kapasitas tidak relevan untuk membebaskan arapidana korupsi karena pandemi. Selain itu, sudah banyak informasi beredar betapa nyaman hidup para koruptor meski dalam penjara.
Karena itu, Presiden Joko Widodo sudah seharusnya menolak usulan Kemenkumham, karena pembebasan narapidana korupsi tidak mendesak untuk dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H