Mohon tunggu...
Isnainatul Mayagrafinda
Isnainatul Mayagrafinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

a learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghadapi Tantangan Kekerasan di Sekolah: Menyelaraskan Nilai-Nilai Pendidikan yang Memerdekakan

14 Oktober 2023   22:33 Diperbarui: 14 Oktober 2023   22:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh :
Isnainatul Mayagrafinda
Mahasiswa PPG Prajabatan Pendidikan Matematika 2023
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Pendahuluan

Kekerasan di sekolah merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan. Fenomena ini telah lama menjadi perhatian utama dalam pendidikan. Berbagai tindakan kekerasan dapat terjadi di sekolah, mulai dari perundungan, pelecehan fisik atau verbal, hingga tindakan diskriminatif berdasarkan etnis, agama, atau orientasi seksual. Secara statistik, kita dapat melihat bahwa kekerasan di sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap siswa. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sepanjang tahun 2022, terdapat 1.062 kasus kekerasan di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 955 kasus pada tahun 2021. Selanjutnya, pada kuarter pertama tahun ini (Januari-April 2023), Biro Data dan Informasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat sebanyak 251 kasus kekerasan di sekolah, yang terdiri dari 99 kekerasan fisik, 88 kekerasan psikis, 78 kekerasan seksual, lima penelantaran, satu eksploitasi, 35 kekerasan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini belum terselesaikan dan diperlukan solusi yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak.

Beberapa kasus yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat adalah kekerasan seksual terhadap anak di sekolah. Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menyebutkan bahwa pada awal tahun ini 50% kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang SD/MI, 10% di jenjang SMP, dan 40% di Pondok Pesantren. Sekjen Heru juga menambahkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi juga ada yang berbasis daring. Modusnya adalah pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup Whatsapp dan meminta korban melakukan video call pribadi dengan melepas pakaian. Masalah seperti ini memerlukan perhatian yang lebih serius, mengingat bahwa pelaku telah menggunakan teknologi untuk melancarkan aksi yang keji ini, maka perlu adanya peningkatan dan perlindungan anak di sekolah.

Secara umum, kekerasan di sekolah bisa mengancam hak dasar seorang anak untuk mendapatkan pendidikan di lingkungan yang aman dan mendukung. Hal ini dapat berdampak negatif bagi siswa, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Siswa yang menjadi korban kekerasan di sekolah dapat mengalami trauma, stres, dan bahkan depresi. Hal ini dapat mengganggu proses belajar dan perkembangan mereka. Kekerasan di sekolah bukan hanya merugikan bagi perkembangan pribadi siswa, tetapi juga bertentangan dengan gagasan pendidikan yang benar-benar merdeka. Adapun berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di sekolah. Faktor internal meliputi kepribadian siswa, masalah keluarga, dan kondisi psikologis siswa. Faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan pengaruh media sosial.

Apakah Pendidikan di Indonesia Sudah Merdeka?

Pertanyaan ini mencerminkan tantangan yang harus dihadapi dalam mengembangkan sistem pendidikan yang lebih merdeka. Salah satu masalah yang perlu diatasi adalah kekerasan di sekolah. Kekerasan di sekolah bukan hanya merugikan bagi perkembangan pribadi siswa, tetapi juga bertentangan dengan gagasan pendidikan yang benar-benar merdeka. Menciptakan lingkungan belajar yang aman, mendukung, dan kondusif adalah salah satu langkah kunci dalam meraih kemerdekaan pendidikan sejati.

Untuk merdeka dalam pendidikan, kita perlu memastikan bahwa semua siswa dapat belajar tanpa takut dan tanpa hambatan seperti kekerasan. Hal ini akan memungkinkan mereka untuk menggali potensi mereka sepenuhnya dan menjadi bagian dari proses pendidikan yang mendorong kemerdekaan intelektual dan karakter, seperti pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Penerapkan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara saat ini sedang diupayakan demi menciptakan kemerdekaan dalam pendidikan.

Nilai-nilai Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Pendidikan yang Menuntun

Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwasannya tujuan pendidikan adalah untuk menuntun kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan pendidikan yang menuntun ini pendidik berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan minat mereka, mengejar impian mereka, dan meraih kebahagiaan yang setinggi-tingginya dalam kehidupan. Selain itu, pendidikan yang menuntun juga berfokus pada pembelajaran sepanjang hayat, menginspirasi rasa ingin tahu, dan membantu individu menjadi pembelajar mandiri yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan dalam dunia yang terus berkembang. Dengan demikian, pendidikan yang menuntun menjadi pondasi yang kuat untuk mencapai keselamatan, kebahagiaan, dan kemajuan baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

Pemikiran Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa dasar pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kekerasan di sekolah bisa dikatakan melanggar prinsip-prinsip kodrat alam yang mencakup keseimbangan, harmoni, dan empati. Sementara itu, dalam konteks kodrat zaman, perubahan zaman dan teknologi membawa tantangan baru dalam bentuk kekerasan seperti perundungan atau kekerasan seksual berbasis daring. Hal ini menyatakan bagaimana perkembangan zaman mempengaruhi bentuk dan jenis kekerasan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekerasan di sekolah, perlu mempertimbangkan nilai-nilai kodrat alam dan kodrat zaman yang semakin canggih saat ini.

Budi Pekerti

Menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara, beliau mengartikan budi pekerti sebagai perpaduan antara cipta (kognitif) dan karsa (afektif) sehingga menghasilkan karya (psikomotor). Kekerasan di sekolah memiliki hubungan erat dengan budi pekerti karena budi pekerti mencerminkan nilai-nilai moral dan etika dalam perilaku manusia. Kekerasan, baik fisik maupun verbal, merusak karakter dan moral siswa dengan merendahkan kualitas budi pekerti yang harus dikembangkan. Tindakan kekerasan, contohnya seperti perundungan mengajarkan perilaku yang tidak etis dan merusak nilai-nilai budi pekerti seperti empati, kesopanan, dan rasa hormat terhadap sesama. Oleh karena itu, penanganan kekerasan di sekolah juga merupakan upaya untuk membentuk budi pekerti yang baik, mendukung perkembangan karakter siswa yang etis, dan memastikan bahwa nilai-nilai budi pekerti yang positif diterapkan dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Sitem Among

Sistem among adalah sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sistem ini menekankan pada pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti. Sistem among mengajarkan siswa untuk menghormati sesama, memiliki rasa tanggung jawab, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal ini dapat membantu siswa untuk menjadi pribadi yang tidak melakukan kekerasan. Adapun beberapa kelebihan dari sistem among ini adalah mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal, membentuk karakter siswa yang baik, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Menurut saya, konsep ini sangat cocok diterapkan untuk menghadapi tantangan kekerasan di sekolah. Dengan menerapkan tiga semboyan Ki Hajar Dewantara, pendidik diharapkan mampu untuk menuntun siswa sesuai dengan kodratnya. Tiga semboyan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ing ngarso sung tulodo. Peran pendidik dalam hal ini adalah memberikan contoh yang baik dan mengarahkan pada tindakan yang benar kepada siswa.

2. Ing madyo mangun karso. Peran pendidik dalam hal ini adalah memberikan dorongan, semangat, motivasi, dan inspirasi kepada siswa untuk mencapai tujuan bersama

3. Tut wuri handayani. Peran pendidik dalam hal ini menekankan pentingnya dukungan, kesetiaan, dan perhatian untuk menuntun siswa untuk mengeksplorasi dan mencapai cita-citanya.

Dengan berpedoman pada sistem among dan semboyan tersebut, diharapkan nantinya bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan kasus kekerasan di sekolah.

Nilai Luhur Sosial Budaya

Kekerasan di sekolah juga memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai luhur sosial budaya Indonesia yang mengedepankan kesopanan, rasa hormat, keseimbangan, harmoni, pendidikan karakter, empati, dan gotong royong. Kekerasan di sekolah melanggar prinsip-prinsip ini dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya luhur yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penanganan kekerasan di sekolah juga merupakan usaha untuk menjunjung tinggi nilai-nilai budaya luhur, yang mempromosikan lingkungan belajar yang aman, harmonis, dan mendukung perkembangan karakter siswa yang baik, sesuai dengan identitas budaya luhur Indonesia.

Identitas Manusia Indonesia

Kekerasan di sekolah juga memiliki dampak yang signifikan pada identitas manusia Indonesia, yang mencerminkan budaya, nilai-nilai, karakter, dan rasa keterikatan dalam masyarakat. Upaya untuk mengatasi kekerasan di sekolah harus mempertimbangkan dampaknya pada identitas manusia Indonesia dan bekerja menuju menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan identitas yang positif, budaya yang damai, dan martabat yang tinggi.

Kesimpulan

Peristiwa kekerasan di sekolah adalah masalah serius yang harus segera diatasi. Dalam mengatasi masalah ini, kita tidak hanya memastikan bahwa siswa mendapatkan pendidikan yang berkualitas, tetapi juga memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi individu yang beradab dan berkontribusi positif dalam masyarakat. Pendidikan yang memerdekakan harus menjadi fokus utama, menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan kondusif untuk perkembangan karakter dan potensi siswa. Ini melibatkan pendidikan moral yang kuat, pengajaran etika digital yang bijaksana, serta pembinaan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur sosial budaya. Nilai-nilai pendidikan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara dapat memastikan bahwa pendidikan menciptakan manusia-manusia yang beradab, berbudaya, dan menghormati identitas serta martabat setiap individu.

Referensi

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Kemendikbudristek.

Dewantara, K. H. (2022). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Rafael, Simon Petrus dan Mulyatno, Carolous Boromeus. (2022). Filosofi Pendidikan Indonesia. Jakarta: Kemendikbudristek.

CNN Indonesia (2023). 251 Anak Usia SD Jadi Korban Kekerasan di Sekolah Sepanjang 2023. Diakses pada 13 Oktober 2023. Link: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230529171523-20-955430/251-anak-usia-sd-jadi-korban-kekerasan-di-sekolah-sepanjang-2023.

Ihsan, Dian. (2023). 10 Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah pada 2023, 86 Anak Jadi Korban. Diakses pada 13 Oktober 2023. Link: https://www.kompas.com/edu/read/2023/02/21/060400271/10-kekerasan-seksual-terjadi-di-sekolah-pada-2023-86-anak-jadi-korban?page=all.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun