Oleh :
Isnainatul Mayagrafinda
Mahasiswa PPG Prajabatan Pendidikan Matematika 2023
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Pendahuluan
Kekerasan di sekolah merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan. Fenomena ini telah lama menjadi perhatian utama dalam pendidikan. Berbagai tindakan kekerasan dapat terjadi di sekolah, mulai dari perundungan, pelecehan fisik atau verbal, hingga tindakan diskriminatif berdasarkan etnis, agama, atau orientasi seksual. Secara statistik, kita dapat melihat bahwa kekerasan di sekolah memiliki dampak yang signifikan terhadap siswa. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sepanjang tahun 2022, terdapat 1.062 kasus kekerasan di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 955 kasus pada tahun 2021. Selanjutnya, pada kuarter pertama tahun ini (Januari-April 2023), Biro Data dan Informasi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat sebanyak 251 kasus kekerasan di sekolah, yang terdiri dari 99 kekerasan fisik, 88 kekerasan psikis, 78 kekerasan seksual, lima penelantaran, satu eksploitasi, 35 kekerasan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ini belum terselesaikan dan diperlukan solusi yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak.
Beberapa kasus yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat adalah kekerasan seksual terhadap anak di sekolah. Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menyebutkan bahwa pada awal tahun ini 50% kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang SD/MI, 10% di jenjang SMP, dan 40% di Pondok Pesantren. Sekjen Heru juga menambahkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi juga ada yang berbasis daring. Modusnya adalah pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup Whatsapp dan meminta korban melakukan video call pribadi dengan melepas pakaian. Masalah seperti ini memerlukan perhatian yang lebih serius, mengingat bahwa pelaku telah menggunakan teknologi untuk melancarkan aksi yang keji ini, maka perlu adanya peningkatan dan perlindungan anak di sekolah.
Secara umum, kekerasan di sekolah bisa mengancam hak dasar seorang anak untuk mendapatkan pendidikan di lingkungan yang aman dan mendukung. Hal ini dapat berdampak negatif bagi siswa, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Siswa yang menjadi korban kekerasan di sekolah dapat mengalami trauma, stres, dan bahkan depresi. Hal ini dapat mengganggu proses belajar dan perkembangan mereka. Kekerasan di sekolah bukan hanya merugikan bagi perkembangan pribadi siswa, tetapi juga bertentangan dengan gagasan pendidikan yang benar-benar merdeka. Adapun berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan di sekolah. Faktor internal meliputi kepribadian siswa, masalah keluarga, dan kondisi psikologis siswa. Faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan pengaruh media sosial.
Apakah Pendidikan di Indonesia Sudah Merdeka?
Pertanyaan ini mencerminkan tantangan yang harus dihadapi dalam mengembangkan sistem pendidikan yang lebih merdeka. Salah satu masalah yang perlu diatasi adalah kekerasan di sekolah. Kekerasan di sekolah bukan hanya merugikan bagi perkembangan pribadi siswa, tetapi juga bertentangan dengan gagasan pendidikan yang benar-benar merdeka. Menciptakan lingkungan belajar yang aman, mendukung, dan kondusif adalah salah satu langkah kunci dalam meraih kemerdekaan pendidikan sejati.
Untuk merdeka dalam pendidikan, kita perlu memastikan bahwa semua siswa dapat belajar tanpa takut dan tanpa hambatan seperti kekerasan. Hal ini akan memungkinkan mereka untuk menggali potensi mereka sepenuhnya dan menjadi bagian dari proses pendidikan yang mendorong kemerdekaan intelektual dan karakter, seperti pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Penerapkan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara saat ini sedang diupayakan demi menciptakan kemerdekaan dalam pendidikan.
Nilai-nilai Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan yang Menuntun
Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwasannya tujuan pendidikan adalah untuk menuntun kodrat yang ada pada anak agar mereka dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dengan pendidikan yang menuntun ini pendidik berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan minat mereka, mengejar impian mereka, dan meraih kebahagiaan yang setinggi-tingginya dalam kehidupan. Selain itu, pendidikan yang menuntun juga berfokus pada pembelajaran sepanjang hayat, menginspirasi rasa ingin tahu, dan membantu individu menjadi pembelajar mandiri yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan dalam dunia yang terus berkembang. Dengan demikian, pendidikan yang menuntun menjadi pondasi yang kuat untuk mencapai keselamatan, kebahagiaan, dan kemajuan baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.