“Berjanjilah,Nak. Berjanjilah untuk tak lagi merindukannya.”
***
Kinara menarik napas panjang, sesaat setelah tiba di depan pintu rumahnya. Wajah yang sebelumnya bertekuk diubahnya menjadi lebih ceria dan bersinar. Tak lama ia pun mengucap salam sebelum kemudian membuka pintu.
“Kinara, kamukah itu, Nak?” Sebuah suara lembut dari arah belakang terdengar.
“Iya, Bu. Ini Kinara.” Jawab Kinara. Tak lama ia pun menghampiri ibunya. Wanita itu tampak tengah disibukkan dengan adonan kue di atas meja.“Kok siang-siang bikin kue, Bu?”
“Iya, nih. Pesenan dadakan Bu RT. Nanti malam di rumahnya mau kedatangan saudara dari luar kota.” Jelas Ibu. “Cepat sekali belajar kelompoknya? Sudah selesai memangnya?”
Eh?
“I—iya, Bu. Ke—kelompokku pintar-pintar sih. Jadi cepat selesainya.”
“Oh,” Ibu manggut-manggut. “Ya udah sana ganti baju terus makan! Nanti kalau kuenya sudah selesai, kamu bisa antar kan?”
“Iya, Bu.” Jawab Kinara pendek sambil bernafas lega.
“Bagus.” Ibu mengangguk dan tersenyum. “Makasih ya,”
Kepala Kinara mengangguk lemah. Tak lama ia pun membalik badannya untuk kemudian masuk ke dalam kamar. Sedetik setelah pintu kamar tertutup, Kinara menghela napas dalam-dalam.
Rasanya sulit. Mengapa aku begitu merindukannya?
***
“Ada apa?”
Kinara mendongak. Ditatapnya sang Ibu dengan dahinya berkerut.
“Beberapa hari ini kamu selalu pulang terlambat?” tanya Ibu kemudian. “Memangnya belajar kelompok setiap hari?”
Eh?
“Ada yang kamu sembunyikan, Kinara?”
Tubuh Kinara menegang seketika. Bibirnya kelu. Ibu tahu?
“Kamu sudah tak lagi mempercayai Ibu?”
Kepala Kinara tertunduk. Bukan! Bukan masalah percaya, tapi…
Ah, Ibu pasti marah jika tahu alasannya. Masih terpatri jelas di benak Kinara ucapan Ibu untuk tak lagi melihatnya.
“Kinara…”
Kinara menghela napas dalam-dalam. Kepalanya terangkat. Tak lama menggeleng. Eng—nggak. Nggak ada apa-apa, Bu.”
Sesaat hening. Kinara bergeming di tempatnya. Sungguh, tak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
“Kamu ke sana?”
Wajah Kinara memucat seketika. Habis sudah! Ibu jelas-jelas tahu.
“Benar kan? Ya Tuhan, Kinara sudah berapa kali Ibu bilang untuk tak lagi menemuinya,” Suara Ibu terdengar frustasi membuat dada Kinara terasa sesak.
Maaf, Bu!
“Jangan, Nak. Jangan menyakiti dirimu.” Sambung Ibu dengan lirih. “Mengertilah, dia sudah tak lagi peduli pada kita. Dia memilih meninggalkan kita, Kinara…,”
Sebutir air mata lolos membasahi pipi Kinara. Ibu benar. Pada akhirnya ia memang menjadi pihak yang tersakiti. Ah, bodohnya kamu, Kinara!
“Kamu bertemu dengannya?”
Pertanyaan Ibu dijawab gelengan oleh Kinara. “Eng—enggak, Bu.” Jawabnya terbata. “Ta—tapi aku bertemu dengan perempuan itu.”
Sejurus kemudian Kinara mendengar Ibu berdecih. “Cih, wanita culas itu!” makinya gusar.
Kinara bungkam. Ia tak menyalahkan jika Ibunya berkata kasar. Toh memang demikian adanya. Keluarganya hancur karena ayahnya yang terpesona dan jatuh cinta pada wanita itu. Wanita yang jauh lebih muda dan menarik. Kinara membenci wanita itu, tetapi lebih dari itu ia merindukan ayahnya.
Biar bagaimanapun ia tetap seorang anak. Anak yang dulu begitu dekat dengan sang ayah sebelum lelaki itu memilih pergi meninggalkan keluarganya.
Ah, ayah…
Mengapa kau tega pada kami, bisik Kinara dalam hati.
“Kinara…,”
Kinara mendongak dan menatap Ibunya. “Kenapa kamu ke sana?” tanya Ibu.
“A—aku, A—ku kangen Ayah, Bu!”
Sesaat kemudian ruangan terasa senyap. Tak ada yang berbicara. Hingga kemudian Kinara merasakan usapan lembut di kepalanya.
“Berjanjilan satu hal pada Ibu, Kinara!”
Kinara mengernyit. Ia memilih diam menunggu Ibunya melanjutkan perkataan.
“Berjanjilah,Nak. Berjanjilah untuk tak lagi merindukannya.”
***
Lampung, September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H