Aku menggeleng. “Males, ah! Lo aja.”
Dirga mengernyit heran. Alis kirinya terangkat, “Tumben? Bukannya lo paling doyan ya!”
Bagiku, seblak sebenarnya bukan penganan baru. Mama yang asli Bandung sering kali membuatnya untuk camilan keluarga. Jadi ketika gerobak seblak Mentari mulai mangkal, aku paling antusias. Nyaris setiap hari aku membelinya. Rasanya kuakui memang sangat enak. Hitung-hitung mengobati kerinduanku pada seblak bikinan Mama di kampung halaman.
Tetapi satu yang kulupakan. Pepatah orang Jawa yang mengatakan witing tresno jalaran soko kulino, pun akhirnya berimbas padaku. Sejujurnya sejak awal wajah cantiknya sudah memikat, tetapi karena seringnya aku mengajaknya mengobrol di sela-sela melayani pesanan, kami jadi lebih dekat. Nah kedekatan ini lah yang akhirnya memunculkan gelenyar aneh di hatiku. Dan aku bukan bukan lagi anak-anak yang tak tahu apa artinya. Jelas sudah, kehadiran Mentari mengusik hati dan jiwaku.
“Bener nih nggak mau?” Dirga masih penasaran. Aku menggeleng.
“Nggak deh. Gue mau langsung ke dekanat aja. Ada berkas KKN gue belum lengkap.” jawabku sambil ngeloyor pergi. Sungguh, rasanya itu tak nyaman. Niat hati ingin mengikuti Dirga tapi logika menolak.
Demi Tuhan, ia cuma seorang penjual seblak.
Mama bisa jantungan kalau aku berpacaran dengan gadis itu, gumamku dalam hati.
Aku terlahir pada keluarga kaya dan terpandang. Jenjang pendidikanku pun cukup tinggi. Jadi…, argh, sudahlah! Segera dan secepatnya aku harus melenyapkan perasaan ini.
***
Kupikir setelah lebih dari tiga bulan disibukkan dengan KKN, perasaanku pada Mentari perlahan memudar. Tapi nyatanya, justru sekembalinya aku ke kampus, melihat dirinya adalah keinginan terbesarku. Maka tak menunggu lama, sesaat setelah memarkir motor aku pun segera menyeberang menuju tempat Mentari.