Alih-alih marah, Papa justru makin terbahak. Aku makin jengkel dibuatnya. “Nggak Papa nggak Mama. Sama-sama ngeselin, ah!”
“Masa?” kerling Papa menggoda.
Bibirku mengerucut. Papa sih lebih asyik orangnya. Nggak suka ngomel kayak Mama. Beliau juga nggak banyak menuntut. Tapi sayang, hampir tiga tahun Papa bekerja di luar kota. Ia hanya pulang seminggu atau dua minggu sekali. Yang itu berarti keberadaan Papa amat jarang di rumah.
“Jalan-jalan yuk, Dek!”
Aku mendongak. “Berdua aja,” tambahnya lagi.
Tumben, gumamku dalam hati. Setiap Papa pulang, kami sekeluarga memang memanfaatkan waktu dengan jalan-jalan sekeluarga. Pilihannya kalau bukan tempat wisata, ya pusat perbelanjaan.
“Mama mau ada acara reunian sama teman-temannya. Kak Jasmine katanya ada jam tambahan di sekolah. Dia kan mau dikirim lomba lagi.”
“Oh.” Mulutku membulat dan kepala manggut-manggut. Kak Jasmine emang hebat, untuk kesekian kalinya ia dipilih mewakili sekolah lagi.
Hem, alamat piala Kak Jasmine bakal bertambah lagi.
“Kok malah bengong, ayo!” Ajak Papa lagi.
“Aku itu harus kayak mana ya, Pa biar kayak Kakak? Aku mau juga punya piala. Punya prestasi juga. Aku bosen kalau dibanding-bandingin sama Kakak terus,” keluhku pada Papa.