“Orang tua sama anak, sama gampangan sih!”
“Huss, jangan keras- keras! Nggak enak didengar.”
“Biarin aja, Bu. Biar jadi pelajaran. Zaman sekarang kita mesti hati-hati pilih calon mantu. Untung dia ga hamil duluan kalau hamil kan lebih memalukan.”
Cemooh serta sindiran para tetangga membuat pekak telinga. Di saat aku memutuskan untuk menemui Ari, disaat itu pula ibu- ibu tengah bergunjing akan kemalanganku. Hatiku semakin remuk redam, kenapa harus nama ibu dan ayah dibawa- bawa. Tidak cukupkah penderitaan ini hanya aku yang menanggungnya.
Tuhan, kenapa semenyakitkan ini? Air mataku tak henti- hentinya menetes. Aku bahkan lupa jika aku sedang menyetir sendiri.
Penjelasan dari Ari tak pernah kudapat. Sampai akhirnya kedatanganku hari itu disambut pemandangan berbagai dekorasi ornamen pernikahan. Tak ada lagi pertanyaan setelahnya. Apa yang menjadi kegelisahanku selama ini terjawab sudah. Dan tepat saat aku keluar dari mobil, suara lantang Ari terdengar.
“Saya terima nikahnya Renata Dyah binti M. Duryah dengan mas kawin yang tersebut tunai.”
Ari benar- benar berengsek. Dia mempermainkan hidupku seenaknya. Bergegas aku kembali masuk ke dalam mobil. Muak rasanya jika aku harus bertemu dengannya. Kemarahanku memuncak. Emosi menggelegak. Jadi lima tahun kami selama ini hanya kesia- siaan?
Seharusnya aku menyadari bahwa Ari bukanlah pria terbaik untukku tanpa perlu penjelasan. Air mataku terus mengalir, tak terbendung. Kemalangan hidupku ternyata tak cukup sampai di situ. Banjirnya air mata membuat pandanganku terganggu. Aku pun kurang berkonsentrasi hingga akhirnya bunyi benturan cukup keras membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku terasa ringan, melayang dan hilang. entah berapa lama aku 'pergi', karena saat aku kembali, kudapati seluruh keluargaku berkumpul di dalam ruangan. Warna putih tampak mendominasi keseluruhan ruangan serta aroma obat yang mengusik indraku.
Satu fakta menyakitkan lagi harus kuterima. Aku mengalami kecelakaan dan kecelakaan itu menyebabkan kaki kiriku harus diamputasi. Ah, deritaku tak jua berhenti berakhir ternyata. Ari Erlan, aku sangat membencimu!
***