Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Janji Mila (1)

23 Mei 2016   17:02 Diperbarui: 3 Juni 2016   14:05 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Janji Mila Part I

Oleh : Imas Siti Liawati dan Putri Apriani

Ada yang berubah dari Mila – putriku – beberapa minggu ini. Dia lebih ceria dan riang. Mila juga sering terlihat senyum-senyum sendiri. Ia pun menjadi mudah diatur, tak seperti biasanya yang sering mendebatku dalam berbagai hal.

Ada apa? Pertanyaan itu menggelayuti diriku.

Apa karena sebentar lagi dia akan berulang tahun?

Atau dia sekarang dia punya pacar?

Ah, remaja kan begitu, sikap mereka yang labil sulit sekali ditebak.

Sepertinya aku harus langsung bertanya pada Mila, bisikku dalam hati.

Rasa penasaranku yang menggebu membuatku tak sabar untuk segera menanyakannya pada Mila. Dan kesempatan memang datang saat siang hari, sepulang dari gadisku dari sekolah. Wajahnya yang terlihat sumringah dan bersinar, membuatku semakin tak sabar.

“Nak, Bunda mau ngomong sama kamu.”

Mila yang baru saja menyelesaikan makan siangnya mendongak. “Iya, Bun?”

“Kamu kenapa sih? Kok Bunda perhatiin akhir- akhir ini beda.”

“Beda gimana, Bun?”tanya Mila dengan kening mengerut.  

“Keliatannya belakangan ini kamu makin ceria deh. Ayo ada apa? Cerita dong sama Bunda,”

“Cerita apa sih, Bun?” Mila tersipu. Aku dapat melihat wajah anak gadisku yang merona sekaligus senyum malu- malunya.

Aku tersenyum. “Mila punya pacar ya, Nak sekarang. Ehm, ganteng nggak orangnya?”

“Ih, Bunda apaan sih? Nggak ah, nggak ada apa- apa. Bunda kepo ah.”

Aku nyengir. Mila memang seperti ini. Introvert. Dia jarang membicarakan masalah pribadinya. Semua disimpannya sendiri. Jujur aku agak kesulitan untuk memantaunya. Untungnya ia bukan tipe anak yang suka macam-macam, semoga saja begitu seterusnya.

Kuhela napas dalam- dalam, sepertinya hari ini aku belum memiliki kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Butuh waktu mungkin…

“Ya udah kalau kamu belum mau cerita sama Bunda. Tapi Bunda Cuma mau ngingetin kalau kamu menjalin hubungan sama cowok. Hati- hati ya, Nak! Jaga kehormatan kamu sebagai seorang perempuan. Bawa diri dengan baik!”

Mila mengangguk-angguk. “Ingat ya orang tua menjaga kamu sejak kecil dengan baik jadi jangan rusak hal itu sebelum saatnya tepat.”

“Iya, Bun. Mila janji deh. Mila nggak akan ngecewain Ayah Bunda.”

Senyumku melebar. Kuanggukkan kepala. “Bunda pegang janjinya ya!”

Ibu jari Mila teracung ke atas. “Siap! Eh iya, ngomong- ngomong boleh nggak teman- teman aku mau kerja kelompok di sini?”

“Kapan?

“Besok.”

 “Kapan sih Bunda melarang kamu kerja kelompok? Apalagi itu kegiatan yang bagus kan, jadi kenapa harus dilarang?”

“Hhehe.. Iya sih Bunda.” Mila tersenyum. “Oh iya, jangan lupa bikin cemilan ya Bun buat besok?”

“Oke sayang, siap.” Kataku mengangguk mengiyakan.

“Ah, Bunda emang is the best deh!”

***

Jam dinding menunjukkan pukul 13.00 tepat, bel sekolah berbunyi. Anak-anak kelas XI-F satu per satu mulai keluar dari kelas mereka. Mila beranjak kemudian memanggil beberapa temannya untuk berkumpul di DPR alias Di bawah Pohon Rindang.

“Gimana, jadi kerja kelompok di rumah gue kan?” tanya Mila pada teman-temannya seraya membenarkan posisi tas punggungnya.

“Iya, jadi tinggal nunggu Kamal nih, ciiyee Kamal ikutan jugaaaa.” celetuk Ridho memecah suasana.

“Kayaknya ada yang mau ketemu sama calon mertua nih.” Ucok menimpali.

Mila yang tengah digoda oleh teman-temannya hanya menyunggingkan senyuman. Sejujurnya hatinya pun sedang berbunga-bunga. Bahagia. Tak salah, inilah yang disebut dengan cinta dan Mila sadar ia sedang merasakannya.

Beberapa menit kemudian, Kamal datang dengan napas terengah-engah. “Sorry, gue tadi ke toilet dulu. Gimana jadi berangkat sekarang?”

Senyum Mila  semakin melebar karena kehadiran Kamal. Kepalanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Kamal, tetapi saat ia baru saja hendak membuka mulut, suara Ucok terdengar lebih dahulu.

“Ciye, yang grogi.”

“Ciye yang nggak sabar mau ketemu camer.”

Kini, Santi dan Lisa yang ambil suara. Gelak tawa mereka pecah, persis ketika angin bertiup sepoi. Wajah Mila pun memerah seketika.

“Ck, apaan sih! Udah yuk berangkat.” Cetus Mila mengabaikan sorak sorai teman- temannya serta detak jantungnya yang tiba- tiba berdegup kencang. Tak lama bibir Mila komat-kamit, jarinya menunjuk temannya satu-persatu sambil menghitung, “Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Oke fix, enam orang sama gue ya? Yuk berangkat.”

***

Mila beserta lima orang temannya telah sampai di rumah ketika aku sedang menyiapkan cemilan dan minuman dingin untuk mereka. Mila memang jarang mengajak teman- temannya ke rumah, namun beberapa diantaranya sudah aku kenal karena diriku yang tak pernah absen menghadiri setiap pertemuan yang diadakan sekolah. Saat seperti itu aku selalu menyempatkan bertegur sapa dengan teman- teman Mila dan juga orang tua mereka. Tak ada salahnya untuk menjalin silaturahmi kan?

Tapi kali ini aku tersadar dengan adanya sosok lain diantara teman- teman Mila yang telah kukenal. Sosoknya benar- benar asing di mataku.

“Kamal, Tante.” Jawabnya saat aku bertanya namanya. Tangannya terulur dengan sangat sopan.

“Oh, kok Tante baru lihat Kamal ya?”

“Saya baru pindah ke sekolah Mila,” ujarnya seraya menarik napas. “Empat bulan yang lalu, Tante.”

Siapapun bisa langsung menebak jika anak ini tampak gugup. Kulirik Mila yang juga tampak berbeda. Dia terlihat cemas saat aku berbicara dengan Kamal. Dalam hati aku tertawa, jadi kini aku bisa tahu apa penyebab anak gadisku berubah.

Intuisi seorang Ibu tepat bukan?

Semenjak kejadian itu Kamal semakin sering datang ke rumah. Kadang bersama teman- temannya, tapi tak jarang ia datang sendiri. Sikapnya yang sopan dan ramah, membuatku menyukainya.  Aku memang membiarkan semuanya. Kulihat kehadiran Kamal banyak membawa hal positif bagi Mila. Tak kupungkiri kedekatan mereka juga  justru membuat nilai-nilai Mila semakin meningkat.

“Jadi kalian pacaran kan?”

“Eh, Bunda!” Mila tersenyum malu- malu sesaat setelah kunjungan Kamal entah untuk yang kesekian.

“Kamal anaknya baik ya, Mil?”

Mila mengangguk. “Iya, Bun.”

“Jadi bener pacaran?”

Mila tak menjawab. Ia kembali senyum malu- malu.

“Bunda nggak masalah kok,” Dapat kulihat wajah Mila yang berubah menjadi lebih berbinar saat aku mengatakan hal itu.  “Asal ingat janji ya!”

=tbc=

selanjutnya Janji Mila (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun