Maya tersadar seketika. Ia mengerjap. Seluruh keluarga tengah memandanginya. Menunggu dirinya mengubah keputusan. Semua berharap pernikahan akan tetap berjalan. Terlalu banyak kerugian materiil serta malu yang akan ditanggung. Apalagi hidup di daerah dengan masyarakat yang masih memiliki hubungan kekerabatan serta kedekatan yang masih erat. Dia harus siap digunjing dan dijadikan topik pembicaraan selama berbulan- bulan atau bahkan bertahun- tahun setelahnya.
“Pikirkan lagi, May. Siapa tahu dia bisa berubah.”
Maya menelan ludah. Siapa tahu? Tak ada jaminan. Lagipula Vito sudah mengakuinya, bahkan lelaki itu dengan mantap mengatakan sangat mencintai kekasihnya dan tak ingin dia mereka berpisah.
Lalu untuk apa diteruskan?
“Umurmu, May.” Maya menoleh dan melihat ibunya menggeleng sedih. “Ibu memikirkan usiamu yang semakin bertambah. Kamu apa nggak malu dengan omongan tetangga.”
“Menikah saja dulu lalu nanti bercerai,”
Maya terbelalak. Salah satu kakaknya mengatakan hal yang mustahil. Tak berpikirkah mereka jika pada akhirnya dia hanya akan menanggung kesakitan. Toh ujungnya dia akan menyandang status janda.
“Lakukan apa yang membuatmu bahagia, May!”
Maya menoleh. Ayah yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Dan perkataannya cukup melegakan Maya, meski berujung protes saudaranya yang lain.
“Jangan pikirkan orang lain. Pikirkan dirimu, Nak. Kamu harus hidup bahagia.”
Maya tersenyum getir. Nama baik keluarganya memang dipertaruhkan, namun kehidupannya jauh lebih panjang. Apapun yang terjadi keputusannya tak dapat diubah. Dia harus lebih kuat, tegar dan mandiri. Dia tak boleh menjadi perempuan yang rapuh. Berani dan tangguh dalam hidup, itulah perempuan yang sesungguhnya.