Darno menghela napas panjang. Kepalanya pusing mendengar banyak istilah yang disebutkan Nuri. Istilah zaman sekarang pastinya, karena di zamannya anak seusia Nuri hanya tau sekolah. Belajar. Mana ada hp.
“Berapa harganya?”
“Macam- macam, Pak.” Jawab Nuri, “Yang mahal ya sampe jutaan tapi kalau murah lima ratus ribu juga ada?”
“Lima ratus ribu?” Darno menggeleng. Uang sebanyak itu bisa untuk kebutuhan belanja istrinya sebulan. Itupu terkadang masih kurang. Anaknya bukan cuma Nuri, masih ada dua lagi. Dan semuanya juga butuh biaya. Dia yang sudah mati- matian bekerja saja masih kurang untuk menutupi kebutuhan sehari- hari dan kini anaknya membutuhkan uang sebanyak itu dengan alasan hp nya jadul. Ya Tuhan,
“Nduk,” Darno menghirup napas dalam- dalam sebelum akhirnya memberi penjelasan agar Nuri mengerti, “Kamu tahu kan bapakmu bukan orang kaya. Cuma kuli. Sudah bersyukur kita hidup di rusun begini, nggak terlantar di kolong jembatan. Tapi kita juga harus hidup prihatin. Biaya semakin mahal, lah kalau kamu tak kasih duit beli HP baru nanti kita makan apa. HP mu nggak bisa dimakan kan?”
Bibir Nuri mencebik. Darno melihatnya, ia menggelengkan kepala. “Seumur kamu itu yang penting sekolah yang bener biar jadi orang. Nanti kalau kamu jadi orang, banyak duit HP se-truk juga bisa kebeli.”
“Sudah! Sana belajar. Nggak usah mikirin HP. Pakai yang ada.”
Masih dengan wajah bertekuk Nuri bangkit. Darno menggeleng. Tingkah anak sekarang apa memang seperti ini? Karena minggu lalu Rahman, teman sesama kuli bangunan juga mengeluhkan sikap anaknya yang sering meminta uang untuk jalan- jalan bersama teman- temannya, lalu Haidir juga dibuat pusing karena putranya marah karena tak kunjung dibelikan motor.
Dunia memang sudah aneh.
***
“Pak, Bapak! Pak!” Darno menghentikan kegiatan mengaduk semen. Punggungnya ditegakkan dan menemukan istrinya tengah berlari- lari menghampirinya dengan wajah sembab.