Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Sang Penjaja

20 Februari 2016   09:58 Diperbarui: 20 Februari 2016   11:13 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar diambil dari wartakota.tribbunews.com"][/caption] 

Tri menyeka  peluh yang menetes di dahinya berkali- kali. Matanya menyipit. Mencoba menghalau sinar matahari yang perih jika langsung mengenai matanya.

“Panas banget ya, Tri!”

Tri mengangguk. Membenarkan ucapan Mpok Indun, Janda  paruh baya asal Rawa Buaya. 

“Iya, Mpok!” Tri menyahut singkat. Ia menghela nafas dalam, diliriknya isi dagangannya masih banyak. Belum  pada laku. Padahal hari sudah semakin siang. Semakin terik pula matahari menyengat. Entah sudah keberapa kali ia menyeka peluh dengan punggung tangannya.

“Itu pan, kata orang- orang gobal woming, makanye bumi sekarang makin panas!  Tapi kalo kata aye sih ya gara- gara kita- kita juga. Manusie. Sombong. Serakah,” cerocos Mpok Indun kembali.

Duh, peduli amat lah, rutuk Tri dalam hati. Yang penting daganganku laku hari ini! Lagian apa juga sih yang Mpok omongin? Bikin pusing aja!

Coba lu liat Tri! Pejabat kita doyannya korupsi. Makan duit kita- kita ni. Rakyat. Kan serakah namanye. Makanye Tuhan marah. Dikasihlah panas!”  tambah Mpok Indun lagi membuat Tri menggeleng sesaat. Si Mpok kalau udah ngomong, nggak lihat keadaan.

Tapi Tri sedikit banyak mengakui ucapan perempuan baya itu. Apa yang dikatakan perempuan bertubuh tambun itu memang benar.  Manusia sekarang memang sombong dan serakah. Apalagi para pejabat. Tri mencibir, waktu kampanye aja janji ini janji itu. Mau A mau B. ujungnya setelah jadi mikirin gimana caranya duitnya kembali. Sibuk ngumpulin proyek kesana- kemari.

“Heh, malah bengong lu!”

Tri nyengir. Ia merasa tak enak saat Mpok Indun mendengus sebal, “Iya Mpok, iya!”

Mpok Indun mengangguk- angguk. Tiba- tiba wajahnya berbinar. Tanpa harus bertanya Tri tahu penyebabnya. Kontan ia berdiri lalu setengah berlari ke objek arah pandangan Mpok Indun.

“Tungguin gue, Triii,” Tri mengabaikan teriakan Mpok Indun di belakangnya. Ia harus segera berlari. Jangan sampai kalah.

“Roti- roti! Rotinya  buat cemilan di jalan Pak, Bu!” Teriaknya kencang  setelah tubuhnya berada di sisi bis, yang dilihat Mpok Indun. 

“Rotinya, Pak!” tawarnya pada seorang pria paruh baya yang baru turun dari bis. Lelaki baya itu menggeleng pelan membuat Tri menghela nafas panjang. Belum rezeki, ucapnya dalam hati.

Tri masih berdiri di sisi bis. Menjajakan dagangan ke para penumpang yang mulai turun. Semoga ada yang beli, rapalnya dalam hati. Namun hingga bis kosong, tak ada satu pun dagangannya yang laris.

“Laris, Tri?

Tri mendengus gusar. Basa- basi!

“Ya udah Mpok, saya kesana aja,” Tri menunjuk gedung besar yang berada di tengah terminal, “Panas disini!”

Tanpa menunggu tanggapan Mpok Indun, Tri segera melangkahkan kakinya pergi. Sejujurnya ia juga malas bila bersama Mpok Indun. Terlalu bawel dan berisik! Kepala Tri tak jarang ikut pusing mendengar rentetan kalimat yang meluncur dari bibir si Mpok.

“Bete amat lo, Tri!”

Tri menoleh dan mendapati Saniah, temannya sesama penjaja makanan sedang menjajari langkahnya.

“Panas,” Sahut Tri singkat. Tangannya sesekali mengusap keringat di dahi.

Saniah mencibir, “Ah, elo ini kayak nggak biasa di terminal aja!”

Tri terdiam.  Dalam hati mengiyakan ucapan Saniah. Kalau cuaca panas kan harusnya dia nggak sedongkol ini. Sudah biasa dirinya berteman dengan debu dan panas, kan?

Halangan ye lo?”

Tri menggeleng, “Nggak!”

“Terus?”

Tri mengedikkan bahu, “Tauk ah,”

“Lah terus?”

“Nabrak.” Saniah terbahak. Celetukan Tri sebenarnya bernada sinis, tapi untuk dirinya yang sudah kenal lama takkan tersinggung. Sudah biasa!

Tri celingukan. Saniah mengernyit melihatnya. Sepertinya Tri sedang mencari…

“Aish nyari si abang Remon ya?”

Tubuh Tri menegang. Ia menoleh cepat. “Raymond, San.”

Saniah terkikik geli.“Iye tahu. Lo tuh ketahuan banget demen sama Bang Remon. Kalo dia datang wajah girangnya bukan main. “

Tri mendengus. “Tapi saran gue sih lo jangan deh suka sama dia.”

“Lo tahu kan siapa Bang Remon? Dari penampilan aja udah keliatan, Tri. Beda jauh. Da kita mah apa atuh, Tri? Udah syukur dia mau memperhatikan orang kayak kita. Ngajarin baca tulis anak- anak terminal termasuk kita. Udah nggak usah berharap banyaklah.”

Ada sesak yang tiba- tiba datang menghampiri Tri. Membuat nafasnya tercekat seketika. Tri membuang muka. Saniah benar, harusnya dia tahu diri!

Tapi mungkinkah ia bisa mengatur kepada siapa ia boleh jatuh cinta?

Ehm, Panjang umur!” Bisik Saniah tiba- tiba, “Tuh Bang Remon kemari.”

Tri tergagap. Refleks pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan Saniah. Sontak matanya terbelalak. Raymond berjalan ke arahnya sembari menggandeng seorang gadis cantik bertubuh tinggi. Keduanya terlihat serasi.

Eh?

“Halo Saniah, Tri!” Tri tersenyum kikuk saat disapa lelaki itu. Pandangannya sesekali melirik pada tautan jemari Raymond dan gadis di sebelahnya. Ada nyeri yang tiba- tiba datang.

“Eh ada si abang,” Jawab Saniah cepat. Dia memahami suasana yang tak nyaman bagi Tri. “Kok udah datang, Bang bukannya masih masih sejam lagi ya jadwalnya?”

Raymond tersenyum. “Abis jemput nih!” Lelaki itu mengangkat dagunya sedikit, mengarahkan pada gadis di sebelahnya, “Kalau pulang kejauhan, jadi mending ke sini aja langsung.”

“Eh iya nih kenalin Martha!” Gadis di sebelah Raymond mengulurkan tangan pada Tri juga Saniah. Meski enggan Tri membalas uluran tangan tersebut.

“Yang ini Tri, yang ini Saniah, Yang namanya.”

Yang? Sayang?

Kak Martha ini pacarnya Bang Remon ya?” Celetuk Saniah. Semoga bukan, gumam Tri dalam hati.

“Iya Nih! Kita baru jadian seminggu!”

Tri lunglai seketika. Ia merasa tubuhnya terasa ringan hingga tak lama kegelapan menyelimutinya.

=end=

 

Lampung, Februari 2016

[ISL]

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun