Dan ada guru lain lagi, nimbrung ngrumpi.
"La la la kok menulis, membaca saja ya tidak bisa! Semprul tenan si Anu itu!"
"Lo, ada lagi. Itu si Sondeng yang pakaiannya selalu nglomprot tidak karuan. Tidak bisa menghitung, selalu bikin gaduh di kelas."
"E, ala apa lagi si Sondeng itu. Cuma cengengesan kalau dimarahi. Jian *nyumpek-nyumpeki kelas."
Begitu kurang lebih celotehan guru-guru yang saya rekam di kepala. Celotehan bernada geregetan itu hampir setiap hari terdengar.
Anehnya guru-guru tidak pernah menyeloteh anak-anak papan tengah. Padahal kalau diklasifikasi anak-anak papan tengah itu termasuk baik dan jumlahnya lebih banyak.
Heran, ya benar-benar mengherankan!
Bagaimana tidak heran? Jika prosentase anak papan atas dan papan tengah digabung ada sekitar 80 %. Artinya anak yang baik di kelas itu ada 80 %. Sedangkan anak yang kurang baik hanya 20%. Mengapa guru-guru justru hatinya jengkel dan fokus kepada siswa yang 20 %?
Apakah guru-guru itu tidak tahu bahwa pikiran sangat berpengaruh pada pengejawantahan hasil? Orang Jawa bilang Sabda Pandita Ratu. Apa yang dikatakan itu yang terjadi.
Jika guru selalu menegatifkan siswa, maka sekelompok siswa itu akan benar-benar menjadi siswa yang menyandang banyak kekurangan. Siswa tersebut tidak akan berkembang.
Guru Sebaiknya Fokus Berpandangan Positif