Dalam sebuah penelitian berjudul Sejarah Etnis Cina di Niki-niki, Timor Tengah Selatan 1800-1965Â yang dipublikasikan di undana.ac.id, Karel Singli (Lee Khoet Chong) salah satu tokoh Tionghoa di Niki-niki bilang pada tahun 1800an ayahnya berdagang hasil bumi di Timor. Demi memudahkan dan menjalin keakraban dengan warga lokal, ayahnya belajar bahasa Dawan.
Warga lokal pada masa itu kebanyakan belum bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa daerahnya. Para pedagang pun terpaksa harus belajar bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan warga setempat.
Generasi ketiga dari warga Tionghoa di Niki-niki saat ini sebagian masih fasih menggunakan Bahasa Dawan dan sebagian lagi hanya sebatas memahami bahasa daerah ini. Warga lokal kini kebanyakan sudah bisa berbahasa Indonesia sehingga pedagang tidak perlu lagi belajar bahasa daerah dalam berdagang.
Populer di masyarakatÂ
Sejumlah pengusaha Tionghoa yang sudah berdagang puluhan tahun sangat populer di kalangan warga lokal hingga ke daerah-daerah sekitar Niki-niki.
Mereka terkenal dengan nama Tionghoa-nya dan nama itu lebih terkenal dari nama toko atau tempat usahanya. Masyarakat sering menyebut nama sang pemilik toko sebagai pengganti nama tokonya. Saat sudah meninggal pun nama orang tersebut masih diingat dan dikenang warga.Â
Sapaan oko dan aci
Warga Tionghoa di Niki-niki memiliki sapaan yang menunjukan hubungan kekerabatan sebagai ayah, ibu, kakak, adik, kakek atau nenek, dst. Kami yang bukan Tionghoa secara umum menyebut laki-laki Tionghoa dengan oko (saudara laki-laki) dan menyebut perempuan dengan aci (saudara perempuan).Â
Orang Timor/Atoin Meto dari kampung menyebut laki-laki Tionghoa dengan sebutan bab (baba) dan menyebut perempuan Tionghoa dengan sebutan non (nona).Â
Oe sebagai sahutanÂ
Di kalangan internal orang Tionghoa, kerap terdengar mereka menyahuti orang lain terutama yang lebih tua dengan kata oe saat berbicara.