Mohon tunggu...
Imanuel Lopis
Imanuel Lopis Mohon Tunggu... Petani - Petani

Petani tradisional, hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita tentang Tionghoa di Niki-niki, NTT

29 Januari 2025   16:24 Diperbarui: 29 Januari 2025   20:13 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana lengang di Niki-niki, NTT, beberapa toko tutup saat perayaan Imlek. Gambar: dokumentasi Imanuel Lopis.

Niki-niki, sebuah kota kecil yang merupakan ibu kota Kecamatan Amanuban Tengah di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pada zaman dahulu Niki-niki adalah pusat kerajaan Amanuban, salah satu kerajaan di Timor. Niki-niki juga menjadi pusat perekonomian sejak zaman kerajaan hingga era pemerintahan modern sekarang.

Ratusan tahun lalu saat pedagang-pedagang dari Cina datang ke Timor untuk berdagang, mereka menjelajah hingga ke Niki-niki. Mereka kemudian menetap di Niki-niki dan keturunannya ada hingga sekarang.

Aktivitas di bidang perdagangan 

Warga keturunan Tionghoa di Niki-niki kebanyakan sebagai pengusaha yang bergerak di bidang perdagangan barang dan jasa.

Perdagangan barang melalui toko kelontong, toko bangunan, toko onderdil kendaraan, rumah makan dan toko furniture. Perdagangan jasa seperti bengkel kendaraan, angkutan penumpang/barang, salon kecantikan, fotocopy/printing dan kontraktor proyek pembangunan. 

Beberapa pengusaha beraktivitas dalam jual beli komoditas seperti kemiri, asam dan sapi. Mereka membeli dari warga dan menjualnya ke Jawa.

Fasih berbahasa daerah 

Kebanyakan pengusaha keturunan Tionghoa di Niki-niki terutama yang merupakan generasi kedua dan berusia lanjut sangat fasih berbahasa daerah yaitu Bahasa Dawan atau Uab Meto.

Saat berbelanja di beberapa toko milik orang Tionghoa, bosnya kerap menyapa dan berbicara dengan saya menggunakan bahasa daerah. Kala berpapasan di jalan, kami sering bertegur sapa dalam Bahasa Dawan ala orang Timor.

Dalam sebuah penelitian berjudul Sejarah Etnis Cina di Niki-niki, Timor Tengah Selatan 1800-1965 yang dipublikasikan di undana.ac.id, Karel Singli (Lee Khoet Chong) salah satu tokoh Tionghoa di Niki-niki bilang pada tahun 1800an ayahnya berdagang hasil bumi di Timor. Demi memudahkan dan menjalin keakraban dengan warga lokal, ayahnya belajar bahasa Dawan.

Warga lokal pada masa itu kebanyakan belum bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa daerahnya. Para pedagang pun terpaksa harus belajar bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan warga setempat.

Generasi ketiga dari warga Tionghoa di Niki-niki saat ini sebagian masih fasih menggunakan Bahasa Dawan dan sebagian lagi hanya sebatas memahami bahasa daerah ini. Warga lokal kini kebanyakan sudah bisa berbahasa Indonesia sehingga pedagang tidak perlu lagi belajar bahasa daerah dalam berdagang.

Populer di masyarakat 

Sejumlah pengusaha Tionghoa yang sudah berdagang puluhan tahun sangat populer di kalangan warga lokal hingga ke daerah-daerah sekitar Niki-niki.

Mereka terkenal dengan nama Tionghoa-nya dan nama itu lebih terkenal dari nama toko atau tempat usahanya. Masyarakat sering menyebut nama sang pemilik toko sebagai pengganti nama tokonya. Saat sudah meninggal pun nama orang tersebut masih diingat dan dikenang warga. 

Sapaan oko dan aci

Warga Tionghoa di Niki-niki memiliki sapaan yang menunjukan hubungan kekerabatan sebagai ayah, ibu, kakak, adik, kakek atau nenek, dst. Kami yang bukan Tionghoa secara umum menyebut laki-laki Tionghoa dengan oko (saudara laki-laki) dan menyebut perempuan dengan aci (saudara perempuan). 

Orang Timor/Atoin Meto dari kampung menyebut laki-laki Tionghoa dengan sebutan bab (baba) dan menyebut perempuan Tionghoa dengan sebutan non (nona). 

Oe sebagai sahutan 

Di kalangan internal orang Tionghoa, kerap terdengar mereka menyahuti orang lain terutama yang lebih tua dengan kata oe saat berbicara.

Oe mungkin sama seperti kata ia dalam Bahasa Indonesia yang merupakan sebuah bentuk kesopansantunan dalam berbicara.

Perayaan Imlek 

Warga Tionghoa di Niki-niki kebanyakan sudah memeluk agama Protestan dan Katolik, sebagian kecil masih beragama Khonghucu.

Saat Imlek, toko atau tempat usaha mereka tutup. Mereka merayakan Imlek dengan bertandang ke rumah keluarga. 

Seperti yang terpantau hari ini, suasana Niki-niki agak lengang. Sejumlah toko dan rumah milik orang Tionghoa tutup namun ada aktivitas kunjungan keluarga. Beberapa orang yang bersilaturahmi itu terlihat mengenakan pakaian warna merah, warna yang identik dengan Imlek.

Sementara itu orang Tionghoa yang beragama Konghuchu mungkin beribadah di rumahnya karena tidak ada tempat ibadah seperti klenteng.

Inilah sekilas cerita tentang Tionghoa di Niki-niki. Selamat merayakan Imlek 2576 Kongzili spesialnya untuk Oko dan Aci di Niki-niki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun