Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia sedang bergulir di tahap kampanye dan tinggal beberapa hari lagi pemilihan serentak. Pilkada ini juga berlangsung di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Peserta Pilkada di kabupaten TTS sebanyak lima pasangan calon (paslon) dari koalisi-koalisi partai politik parlemen dan non parlemen. Ada satu hal unik dari paslon-paslon tersebut yaitu menggunakan nama belakang/marga kedua calon sebagai nama paket/koalisi.
Marga merupakan nama keluarga yang diturunkan dari marga ayah dalam praktek budaya patrilinial di kabupaten TTS. Dalam penulisan nama seseorang, marga berada di posisi belakang sehingga disebut juga nama belakang. Marga inilah yang kemudian digunakan dalam pilkada sebagai nama paslon.
Paslon nomor 1, Salmun Tabun dan Marthen Tualaka (Tabun-Tualaka). Paslon nomor 2, Daniel Frans Oematan dan Uksam Selan (Oematan - Selan/Oesela).
Paslon nomor 3, Alexander Kase dan Johanis Lakapu (Kase-Lakapu). Paslon nomor 4, Egusem Pieter Tahun dan Johan Christian Tallo (Tahun-Tallo).
Sementara itu paslon nomor 5, Buce Lioe dan Army Konay tidak menggunakan marga sebagai nama paslon. Mereka menggunakan akronim nama panggilan kedua calon yaitu Bumy dari nama Buce dan Army. Walaupun demikian dalam alat peraga kampanye paslon ini marga mereka tercetak dengan menonjol.
Nama koalisi keempat paslon tersebut sudah melekat sejak deklarasi hingga kini kampanye. Nama belakang kedua calon ditulis sejajar menggunakan tanda pemisah strep (-) dengan font lebih besar dan menonjol.
Penggunaan nama belakang sebagai nama paslon di kabupaten TTS merupakan suatu hal unik di NTT bahkan mungkin di Indonesia. Dalam Pilkada di berbagai daerah, nama paket calon kebanyakan menggunakan singkatan nama calon, akronim nama calon atau suatu nama tertentu.
Penggunaan marga sebagai nama paket calon sudah ada sejak beberapa edisi Pilkada sebelumnya di kabupaten TTS.
Ada dua hal yang saya maknai dari fenomena penggunaan marga dalam Pilkada yaitu marga sebagai penarik dukungan suara pemilih dan sebagai tata krama di TTS.
Wilayah kabupaten TTS terdiri dari tiga wilayah yang dahulu adalah kerajaan yakni Amanuban, Amanatun dan Mollo. Penduduk asli di tiap wilayah memiliki marga masing-masing yang khas.
Banyak juga warga pendatang dengan  marga lain yang sudah lama menetap dan berkarya di TTS hingga marganya lekat dengan daerah tempat tinggalnya.
Berbagai marga khas terus menurun dari generasi ke generasi melalui marga ayah. Di manapun berada, marga akan terus menurun dari ayah ke anak.
Penduduk di kabupaten TTS yang sebanyak 400-an ribu jiwa kini sudah hidup berbaur di ketiga wilayah bekas kerajaan ini. Walaupun demikian dari marga seseorang bisa diketahui wilayah asalnya.
Kekhasan marga ini lalu ditonjolkan dalam nama paket pasangan calon kepala daerah untuk menarik dukungan suara dari pemilih.Â
Pemilih tetap di kabupaten TTS sebanyak 351.039 orang di 32 kecamatan yang tersebar di wilayah Amanuban, Amanatun dan Mollo.
Tipikal sebagian besar pemilih merupakan pemilih yang memilih calon kepala daerah karena kedekatan hubungan sosial atau kesamaan wilayah asal.
Sejak awal pengusungan paket calon kepala daerah, partai politik mengkonfigurasikan dua tokoh yang merepresentasikan dua wilayah. Bila calon bupati berasal dari wilayah Amanuban, calon wakilnya berasal dari Amanatun atau Mollo dan sebaliknya.
Melalui nama paket calon yang berupa marga, pemilih lebih mudah mengidentifikasi wilayah asal sang calon untuk memilihnya.
Contoh, ketika pemilih mengetahui paket calon dengan nama Tabun-Tualaka, mereka bisa tahu kalau marga Tabun berasal dari Amanuban dan marga Tualaka berasal dari Amanatun. Pemilih di Amanuban dan Amanatun pun kemudian bisa tergerak memilih paslon tersebut. Hal yang sama juga untuk paket lain seperti Oematan-Selan, Kase-Lakapu, Tahun-Tallo dan Lioe-Konay.
Nama paket calon yang demikian juga memudahkan pemilih untuk mengidentifikasi hubungan kekeluargaan marganya dengan marga calon atau hubungan calon dengan tokoh publik di daerah.Â
Hubungan kekeluargaan yang teridentifikasi dapat mempengaruhi pemilih untuk memilih calon kepala daerah bersangkutan. Contoh, paslon dengan nama paket Tahun-Tallo. Marga Tallo mengingatkan pemilih tentang sosok mantan bupati TTS yang karismatik yaitu Piet Alexander Tallo. Melalui marga, pemilih bisa mengenang sang mantan bupati lalu memilih anaknya yang menjadi calon wakil bupati.
Singkatnya marga digunakan dalam pilkada untuk menarik dukungan suara pemilih.
Penggunaan marga tidak hanya faktor elektoral semata tapi juga faktor tata krama yang berlaku di kabupaten TTS.
Salah satu norma kesopanan di TTS adalah menyapa atau menyebut orang lain dengan marganya. Sebutan marga sering dengan tambahan sapaan di depan seperti pak, ibu, om, tante, dll.
Menyapa orang lain apalagi yang lebih tua atau pejabat dengan menyebut nama depannya adalah ketidaksopanan. Contoh, penjabat bupati TTS adalah Drs Seperius Edison Sipa, M.Si. Masyarakat TTS akan selalu menyebutnya "Pak Sipa" dan tidak menyebutnya "Pak Seperius" atau "Pak Edison".
Tata krama ini kemudian tercermin pula dalam penamaan paslon bupati dan wakil bupati TTS dengan penggunaan marga kedua calon sebagai nama paket/koalisi.Â
Dari sudut pandang masyarakat, nama koalisi paslon berupa marga akan membuat masyarakat menyebutnya secara sopan karena sesuai norma yang berlaku.
Demikianlah sekilas ulasan tentang keunikan nama paslon kepala daerah di kabupaten TTS. Semoga menjadi fun fact pilkada yang dapat menambah khazanah pembaca sekalian. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H