Stunting merupakan sebuah persoalan akut di Indonesia selain kemiskinan. Mengutip sehatnegeriku.kemenkes.go.id, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6 persen.Â
Dalam laman yankes.kemenkes.go.id, menurut WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang dengan panjang atau tinggi badan di bawah standar.
Prevalensi stunting tertinggi di Indonesia termasuk di daerah kami Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni 17,4 persen (aksi.bangda.kemendagri.go.id). Pada tingkat propinsi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) tempat saya berada, menduduki peringkat teratas prevalensi stunting sebesar 28 persen pada 2022 (ntt.bps.go.id).
Secara nasional, kabupaten TTS pada tahun 2021 nangkring di posisi teratas sebagai daerah dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Masalah tersebutlah yang kemudian mengundang Presiden Jokowi turun langsung ke TTS pada tahun lalu.
Presiden Joko Widodo sendiri menargetkan angka stunting di Indonesia pada tahun 2024 turun menjadi 14 persen. Saat ini pun pemerintah dari pusat hingga desa terus berupaya menurunkan angka stunting.
Semoga saja angka stunting di NTT khususnya Kabupaten TTS terus menurun dari hari ke hari. Mengutip kupang.tribunnews.com edisi Senin (28/8/2023), Bupati TTS Egusem Pieter Tahun marah kepada para camat dan kepala Puskesmas karena angka stunting yang tidak turun dan malah naik.Â
Di Kabupaten TTS, kelihatannya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menangani stunting. Beberapa bulan lalu ada operasi timbang untuk mengukur berat dan badan para Balita. Anak-anak wajib timbang dan ukur beberapa bagian tubuh untuk mendeteksi stunting.
Posyandu untuk anak Balita selama ini sudah berjalan lancar di desa-desa sekali dalam sebulan. Posyandu juga rutin sekali sebulan untuk para ibu hamil.Â
Terdapat program pemberian makanan siap saji yang bergizi bagi ibu hamil dan anak-anak dengan masalah masalah gizi. Para petugas di desa mengolah sendiri makanan tersebut lalu mengantarnya ke rumah penerima atau terpusat di lokasi Posyandu. Sejumlah program tersebut guna mencegah stunting sejak 1000 hari pertama kehidupan anak sejak dalam kandungan hingga terlahir.
Ada juga program yang berkaitan dengan penanganan stunting seperti bedah rumah dan pembuatan jamban sehat bagi warga miskin. Selain itu juga ada pengadaan sumber air bersih bagi masyarakat seperti sumur bor atau instalasi jaringan air dari sumber air ke pemukiman.
Akhir-akhir ini muncul lagi program pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri di SMP. Setiap hari Jumat anak-anak putri membawa makanan dan minuman dari rumah. Sesampai di sekolah mereka lalu makan dan minum tablet tambah darah yang sekolah berikan.
Pemberian tablet tambah darah untuk mencegah anemia pada remaja putri. Jika anak putri sejak remaja sudah menderita anemia, ketika dewasa dan menikah dapat memiliki anak yang stunting.
Terkait stunting di NTT khususnya Kabupaten TTS, salah penyebabnya adalah kurangnya asupan protein hewani seperti susu, ikan, telur dll. Kekurangan asupan protein tersebut sejak anak dalam kandungan hingga lahir dan tumbuh.
Kami masyarakat di Kabupaten TTS banyak yang miskin bahkan miskin ekstrem sehingga sulit membeli susu, ikan atau telur untuk makan. Selain itu juga pemahaman tentang pentingnya makanan bergizi seperti protein juga masih kurang.
Kurangnya asupan protein seperti yang mantan Gubernur NTT Viktor Laiskodat sampaikan bahwa masyarakat lebih banyak makan nasi. Makanan sumber protein cuma sedikit atau malah tidak ada.
Sumber protein seperti susu bubuk dalam kemasan dos/kaleng untuk ibu hamil dan Balita harganya puluhan sampai ratusan ribu. Harga susu tersebut lumayan berat bagi orang berekonomi lemah.Â
Ada susu rentengan untuk anak-anak dengan harga recehan sekitar empat ribuan namun itupun masih terasa berat. Orang tua pun belum paham tentang manfaat susu sehingga tidak membelikan anaknya susu walaupun memiliki cukup uang.
Sementara itu ikan segar hasil tangkapan di laut, kebanyakan berasal dari Kota Kupang yang berjarak ratusan kilometer. Harga ikan otomatis relatif lebih mahal.
Ikan paling murah Rp 10.000 untuk sekitar 5 atau 6 ekor ikan berukuran kecil seukuran dua jari orang dewasa. Ikan yang ukurannya besar harganya lebih mahal lagi.
Di daerah pedesaan, ikan segar hanya ada setiap hari pasar yang seminggu sekali. Syukurlah kalau ada pedagang ikan yang berjualan lintas kampung dengan sepeda motor pada hari lainnya.
Sebenarnya sumber protein hewani yang murah meriah dan terjangkau adalah telur ayam. Dalam keadaan normal, harga telur per butir hanya dua ribuan dan per rak (30 butir) 50-an ribu.
Telur selain harganya yang recehan, pengolahannya juga cepat dan praktis. Cukup ceplokan ke dalam wajan dan dalam hitungan detik sudah siap saji.Â
Saat ini di beberapa desa di Kabupaten TTS terlihat ada program peternakan ayam petelur untuk kelompok tani. Kalau beternak ayam secara profesional dan berhasil, masyarakat di desa tersebut dengan mudah memperoleh telur untuk konsumsi. Para peternak pun bisa menghasilkan telur untuk konsumsi keluarga, teristimewa ibu hamil dan anak-anak Balita.
Kalaupun tidak ada peternakan ayam petelur, masyarakat juga bisa memperoleh telur dari ayam-ayam kampung peliharaannya. Ayam kampung malah memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dari ayam ras petelur.
Kala menyusuri desa-desa di Kabupaten TTS, selalu terlihat beberapa ekor ayam bahkan segerombolan yang berkeliaran di sekitar pekarangan rumah warga. Semiskin apapun masyarakat namun masih memiliki ayam bahkan ternak lain seperti babi, sapi, dll.
Ayam-ayam betina peliharaan dapat menghasilkan telur sebagai sumber protein hewani bagi pemiliknya. Ayam kampung dapat bertelur hingga 10 butir bahkan lebih.Â
Kami sendiri di rumah memelihara sepasang ayam peranakan secara semi-umbaran dalam kandang dengan pemberian makanan yang lebih baik. Ayamnya biasa bertelur belasan butir dan pernah mencapai 30 butir.Â
Kami juga memelihara beberapa ekor ayam kampung secara umbaran atau lepas. Ayamnya bebas berkeliaran di sekitar pekarangan untuk mencari makanan sendiri. Pada sore hari ayam kembali bertengger di pohon dekat rumah. Kami memberikan makanan untuk ayam ala kadarnya saja dengan jagung pada pagi dan sore hari.
Ayam-ayam biasanya bertelur pada sarang yang kami siapkan di sekitar rumah. Separuh bahkan semua telur sering kami ambil untuk jadikan lauk. Ponakan-ponakan saya semasa kecil sering konsumsi telur dari hasil ternak kami sendiri.
Untuk konsumsi daging ayam yang juga mengandung protein, hanya pada waktu tertentu saja seperti perayaan Natal, acara syukuran, pesta, dll. Daging ayam tidak menjadi konsumsi harian oleh kami.
Berdasarkan pengalaman ini saya berefleksi bahwa telur ayam merupakan sumber protein hewani terdekat dan terjangkau untuk masyarakat miskin sekalipun. Telur dapat menjadi menjadi salah satu amunisi dalam berperang melawan stunting di daerah termiskin seperti NTT khususnya Kabupaten TTS.
Saya berharap pemerintah di desa-desa dapat menggerakan masyarakatnya untuk memelihara ayam kampung. Selain itu juga terus mengedukasi masyarakat untuk mengkonsumsi telur hasil ternaknya.Â
Seandainya ayam peliharaan belum bertelur, lebih baik membeli sebutir telur daripada sebungkus mie instan atau kopi sebagai pendamping nasi. Kalau ayam peliharaan cukup banyak, bolehlah satu ekornya jadi ayam goreng tanpa harus menunggu hari spesial.Â
Pemerintah juga sebaiknya memberikan pendampingan bagi masyarakat yang menjalankan program beternak ayam petelur. Dengan begitu peternakan tersebut berhasil dan berkesinambungan. Menjadi penyedia telur yang terjangkau masyarakat di kampung-kampung.
Ayo beternak ayam, ayo makan telur. Entahlah stunting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya