Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulang Larut Malam

22 Maret 2017   12:03 Diperbarui: 22 Maret 2017   12:20 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam Berasap (dok.pribadi)

Beberapa waktu lalu terbaca kabar dari media, kelompok-kelompok sedang berebut menjadi pendamping desa. Perebutan itu begitu riuh. Satu kelompok mengkritik yang lain. Kelompok lain mengolok kelompok lainnya karena dianggap tidak memiliki pengalaman mendampingi desa. Kementerian Desa juga menjadi sasaran tembak, dianggapnya kementerian yang mengurusi tentang pendamping desa itu pilih kasih, menyalahi prosedur, menyalahi undang-undang.

Apakah betul begitu? Saya tidak tahu. Saya juga tidak tertarik mencari tahu. Kepada siapa saya harus bertanya agar tahu, saya juga tidak tahu. Mungkin juga wartawan yang menulis berita-berita itu juga tidak tahu. Kalau ada berita soal pendamping desa, yang melekat dalam pikiran saya hanya Sam Jack.

Sudah cukup lama saya tidak mendengar ledakan-ledakan pikirannya. Setiap pagi saya masih “upacara” baca koran. Saya membaca sampai tuntas, Jack tidak pernah kelihatan. Sekalipun hanya bayangannya saja.

Apa ia sudah menjadi pendamping desa sungguhan? Sehingga dia menjadi amat sibuk, sampai tak bertandang ke Djoglo? Mudah-mudahan begitu. Agar kalau dia bertandang dari desa ke desa punya dasar, memegang surat tugas. Lebih dari itu dia bisa mendapat imbalan dari jerih payahnya.

Gara-gara memikir Jack, sampai habis kopi segelas, koran pada pangkuan tidak kelar terbaca. Saat saya mulai meneruskan membaca, belum habis lead berita, saya mendengar pintu gerbang rumah Jack dibuka. Nah, itu dia si pengganggu pikiran.

Ia keluar masih memakai celana pendek, berkaos oblong cap Lombok, rambutnya awut-awutan, dan matanya masih merah. Pucat wajahnya menunjukkan dia kurang tidur.

“Pagi, Pak.” Sapanya.

Senyumnya tidak menunjukkan pancaran kegembiraan sama sekali. Seperti menanggung beban segunung. Tapi jangan salah, suaranya tidak menunjukkan keadaan fisiknya, masih meledak.

“Bagaimana Bapak tua. Masih pagi sudah melamun. Kayak mikir negara saja.” Ledeknya.

“Yang saya pikir lebih berat dari mikir negara, Jack.” Saya menggertak.

“Apa itu?” Ia melotot. Matanya seperti bola api merah yang akan meloncat.

“Mikir kamu!” Sentak saya.

Jack malah tertawa meledak. “Saya tahu, sampean kangen saya. Tapi sesungguhnya, sampean sedang kangen masa muda, dan masa muda sampean tidak seperti saya to?”

Asem. Sebegitunya dia mengorek kedalaman hati saya.

“ Maaf, Pak. Setiap hari saya pulang larut malam. Apa lagi kalau bukan untuk memberdayakan pemerintahan desa.” Dia membuka masalah yang sejak pagi saya pikirkan tentangnya.

“Jadi...” Saya akan bertanya padanya, tapi dia terburu memotong.

“Jangan dipikir saya sudah dikontram menjadi pendamping desa.”

“Bukan itu. Jadi yang membuka pintu gerbang setiap jam dua jam tiga itu kamu?” Saya meluruskan pertanyaan.

“Demi desa, Pak. Demi desa... Haha..” Matanya terpejam-pejam.

“Bapak tahu kondisi pemerintah desa? Rata-rata mereka belum paham undang-undang yang mengatur desa. Bagaimana prinsip-prinsipnya, azas-azasnya, kewenangan yang diberikan yang mana. Masih butuh waktu untuk memahamkan. Bagimana juga mengimplementasikannya, prosedurnya, mekanismenya, tahapannya.” Dia memeta masalah desa.

“Terus?”

“Ya memang harus terus. Haha.” Mulai keluar juga kelakarnya.

“Bapak pernah baca Erich Fromm Escape from Freedom? Ya, ya, belum. Itulah situasinya.” Katanya.

Ia melanjutkan, ketika orang biasa diatur kemudian diberi kebebasan mengatur dirinya sendiri maka terjadi kegagapan, gegar. Desa diberi kewenangan mengatur dan mengurus, tapi masih ingin, masih menunggu diatur struktur atasnya. Itu sekedar contoh. Musyawarah desa dulu sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Sekarang, hasilnya lebih enak dirumuskan di belakang meja, dan dimintakan tanda tangan orang-orang di sekitarnya. Seolah-olah ada musyawarah. Prinsip-prinsip itu masih belum terjangkau.

“Pendamping desa?”

“Saya? Hahaha.” Tawanya meledak.

“Yang resmi?”

“Mereka masih perlu belajar banyak. Ada yang rajin ke desa, tapi ketika ditanya dan disambati oleh desa masih glagepan. Ada yang cukup SPPD. Yang gak datang sama sekali, katanya ada juga. Pada masa transisi semacam ini, butuh pendamping yang memiliki integritas, tidak sekadar dapat surat kontrak, dan kemauan keras desa untuk belajar.”

“Kontrakmu?” Saya mengungkit.

“Saya ikhlas. Keikhlasan itu pasti berbuah baik. Maaf, Pak. Saya mau mandi.” Tutupnya.

“Tunggu sebentar Jack.” Saya mencegah.

Saya ambil sebotol madu, saya berikan kepadanya. “Minum yang rutin, biar gak mudah sakit.”

Ia terima, kemudian pamit pulang. Saya memandangi punggungnya, seolah sedang membawa beban segunung. Pemuda desa yang tidak berebut surat kontrak, tapi bergerak dengan ikhlas untuk desanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun