“Mikir kamu!” Sentak saya.
Jack malah tertawa meledak. “Saya tahu, sampean kangen saya. Tapi sesungguhnya, sampean sedang kangen masa muda, dan masa muda sampean tidak seperti saya to?”
Asem. Sebegitunya dia mengorek kedalaman hati saya.
“ Maaf, Pak. Setiap hari saya pulang larut malam. Apa lagi kalau bukan untuk memberdayakan pemerintahan desa.” Dia membuka masalah yang sejak pagi saya pikirkan tentangnya.
“Jadi...” Saya akan bertanya padanya, tapi dia terburu memotong.
“Jangan dipikir saya sudah dikontram menjadi pendamping desa.”
“Bukan itu. Jadi yang membuka pintu gerbang setiap jam dua jam tiga itu kamu?” Saya meluruskan pertanyaan.
“Demi desa, Pak. Demi desa... Haha..” Matanya terpejam-pejam.
“Bapak tahu kondisi pemerintah desa? Rata-rata mereka belum paham undang-undang yang mengatur desa. Bagaimana prinsip-prinsipnya, azas-azasnya, kewenangan yang diberikan yang mana. Masih butuh waktu untuk memahamkan. Bagimana juga mengimplementasikannya, prosedurnya, mekanismenya, tahapannya.” Dia memeta masalah desa.
“Terus?”
“Ya memang harus terus. Haha.” Mulai keluar juga kelakarnya.