“Bapak pernah baca Erich Fromm Escape from Freedom? Ya, ya, belum. Itulah situasinya.” Katanya.
Ia melanjutkan, ketika orang biasa diatur kemudian diberi kebebasan mengatur dirinya sendiri maka terjadi kegagapan, gegar. Desa diberi kewenangan mengatur dan mengurus, tapi masih ingin, masih menunggu diatur struktur atasnya. Itu sekedar contoh. Musyawarah desa dulu sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Sekarang, hasilnya lebih enak dirumuskan di belakang meja, dan dimintakan tanda tangan orang-orang di sekitarnya. Seolah-olah ada musyawarah. Prinsip-prinsip itu masih belum terjangkau.
“Pendamping desa?”
“Saya? Hahaha.” Tawanya meledak.
“Yang resmi?”
“Mereka masih perlu belajar banyak. Ada yang rajin ke desa, tapi ketika ditanya dan disambati oleh desa masih glagepan. Ada yang cukup SPPD. Yang gak datang sama sekali, katanya ada juga. Pada masa transisi semacam ini, butuh pendamping yang memiliki integritas, tidak sekadar dapat surat kontrak, dan kemauan keras desa untuk belajar.”
“Kontrakmu?” Saya mengungkit.
“Saya ikhlas. Keikhlasan itu pasti berbuah baik. Maaf, Pak. Saya mau mandi.” Tutupnya.
“Tunggu sebentar Jack.” Saya mencegah.
Saya ambil sebotol madu, saya berikan kepadanya. “Minum yang rutin, biar gak mudah sakit.”
Ia terima, kemudian pamit pulang. Saya memandangi punggungnya, seolah sedang membawa beban segunung. Pemuda desa yang tidak berebut surat kontrak, tapi bergerak dengan ikhlas untuk desanya.