Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Malam Ketujuh

28 Juni 2016   02:30 Diperbarui: 29 Juni 2016   00:14 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.varihsovy.com

Hujan baru turun rintik-rintik. Tanah basah, rerumputan basah, pohon-pohon diam daunnya berkilat basah, rembulan sabit basah seperti mengarungi lautan yang maha luas. Aku melangkah ke surau kecil di atas bukit dengan hati terasa basah.

Surau ini masih sunyi. Terasnya menyala dengan lampu neon 20 watt. Ada satu dua semut-semut terbang berputar-putar di pusat cahaya, sebagian berjatuhan di talam, alas teko dan gelas sisa kopi. Satu gelas, mungkin habis dipakai bergantian tiga atau empat remaja sehabis tadarus. Dan, aku duduk bersila bersandar di tiang penyangga teras surau.

Aku bisa memandang kejauhan dari teras surau ini. Surau yang bagian-bagiannya telah kusam ini pintunya menghadap ke lautan. Letaknya di bukit kecil, karenanya pemandangan di kejauhan dapat terlihat dari sini. Laut yang begerak membawa warna perak menghempas di pantai, dan pergi lagi bergulung-gulung. Menghiasi muka laut adalah siluet pohon-pohon yang bergerombol. Pohon kelapa perjajar menjulang ke langit.

Siluet pohon kelapa ini, mengirimiku masa kanak-kanak, ketika Kyai Slamet almarhum bercerita tentang peristiwa-peristiwa malam lailatul qodar. Kisah yang selalu aku kenang, “Malam itu segenap pohonan ditundukkan rebah ke bumi rendah sekali. Pohon kelapa yang begitu kokoh secara perlahan menurunkan batangnya lentur sekali sejajar dengan bumi. Dapat dipetik dengan mudah kesegaran buah-buahan yang batangnya direbahkan. Buah kelapa itu tak begitu sulit ditenggak airnya untuk melepaskan dahaga. Inilah rahmat  dan kesejahteraan itu diberikan bagi yang mendapatinya.”

Kisah Pak Kyai selalu menancap dalam sanubariku, dan salu muncul pada malam-malam seperti ini. Aku selalu berharap peristiwa dalam kisah Pak Kyai datang kepadaku, setiap tahun di bulan ramadhan, di setiap sepuluh hari terakhir bulan ini. “Kesabaran dan keikhlasan akan mempertemukanmu.” Katanya.

Aku telusuri lekuk liku siluet itu, aku hitung deburan ombak, yang membalut kekaguman dan dengung kepada Kemahasucian Penggeraknya. Jiwaku terpantul-pantul, diterbangkan ke tengah lautan, dan ditegakkan di ujung-ujung pohon kelapa. Sampai jamaah witir datang berduyun ke surau ini.

Jiwaku terpaut pada-Mu wahai Penguasa Gelombang, dalam witir rakaat demi rakaat. Aku diberi kesempatan oleh-Mu di dalam malam yang dingin basah ini untuk bersujud, memohon kelebihan-kelebihan dari Yang Maha Lebih, memohon ketetapan keimanan, kesabaran, keikhlasan, rizki duniawi dan akhiroh, memohon ampun seampun-ampunnya dari Maha PengampunanMu. Aku bersujud kepadaMu hingga sujud itu tak berbekas sujud.

Malam ini, tapak-tapak witir kubawa bersama kenangan Kyai Slamet, bersama gelombang dan semilir angin yang mulai datang dari ujung laut. Aku bawa dalam simpuh kembali di teras surau, diantar langkah-langkah kaki jamaah yang melenyap di jalan menikung.

Wahai Pencipta Kebenaran, aku menunggu disini, di teras surau yang tinggi, tentang malam yang akan datang yang pernah diantar dalam untaian kisah Kyai Slamet.

***

Entah pada jam keberapa malam ini, ketika di kejauhan terdengar bunyi tambur dimainkan anak-anak penggugah saur, aku masih disini, di teras surau ini. Mata mulai memberat. Mata yang diajak serta menunggunya sepanjang tujuh malam ini.

Ketika angin mulai bergerak cepat, mata ini betul-betul terpejam. Otak diselimuti kegelapan yang menidurkan. Jiwaku masih terpaut pada laut, dan pohon kelapa. Saat itu Kyai Slamet datang di sampin kananku. Ia bersurban memutar-mutar tasbih yang panjangnya tiada ujung.

“Saatnya datang.” Katanya.

Dan, angin sekencang gerakan cahaya menyapu muka bumi. Pohon kelapa tak tahan menjaga kekokohanya. Ia merebah, batangnya menempel bumi. Buahnya memohon untuk diteguk. Tetapi, bah gelombang laut menggulung tinggi, menghempas alam raya, menghempas dadaku yang rapuh. Jiwaku rasanya lenyap, terbang dibawa bulan sabit meniti puncak-puncak gelombang.

“Kyai Slamet bantulah aku memetik buah kelapa. Wahai, Tuhan ijinkan aku menenggaknya.” Jiwaku memohon.

Buah kelapa terkupas, tersedia bergeletakan di dak kapal bulan. Aku menenggaknya sepuas dahaga jiwaku. Bidadari menaburkan bunga-bunga yang menyegarkan baunya. Aku melirik tubuhku, tertelungkup di teras surau. Sekali saja mengulangi menolehnya, sesudah itu tak tega. Sebentar lagi ia akan menjadi daging busuk kemudian meleleh menyatu dengan asal-usulnya. Aku hampir terisak mengenang tubuhku, Kyai Slamet berbisik, “Sabar dan ikhlaskan.”

Jiwaku memohon, “Ya Allah, aku bersujud kepadamu, aku mohon ampunan kepada-Mu wahai Maha Pengampun.”

***

Orang-orang mulai berdatangan menjelang subuh. Mereka menemukan tubuhku tertelungkup di teras surau. Mereka mencoba membangunkanku, tapi sia-sia. Mereka menyadari aku telah pergi di malam ketujuh sepuluh hari terakhir ramadhan ini. Sebagian menyadari tentang akhir perjalanan seorang manusia. Dari asal kembali ke asal.

Sebagian mereka terisak. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Sebagian tercengang. Beberapa perempuan bergerombol berbicara bisik-bisik. Bilal menyampaikan kabar duka, dilanjutkan adzan subuh. Orang-orang makin banyak yang berdatangan ke surau.

Mereka membaringkan tubuhku di teras surau, merawatnya sebagai jenasah yang mungkin mengagumkan perasaan mereka. Sebagian mereka menunaikan solat subuh berjamaah, sebagian bergantian menjaga tubuhku.

Sesudah subuh para lelaki menekuk sarungnya memandikan mayatku di dekat kamar wudlu. Perempuan-perempuan berkerudung hitam menyiapkan bungkusku. Aku juga melihat istri dan anakku diantara mereka. Sebagian lelaki telah melepas baju dan sarung menggali kuburku di samping kiri surau. Mereka memutuskan tidak menyemayamkan jenazahku dirumah duniaku. Mereka menyemayamkan di teras surau.

Sebelum matahari menyingsing sholat jenazah telah usai, bersamaan usainya menggali liang yang dalam. Tubuhku diantar kepada asalnya: tanah. Aku, jiwa tubuhku, diantar bidadari ditandu pangeran-pangeran menyaksikan memasuki duniaku yang abadi.

Aku menahan tangis, pada mata jiwaku berkaca-kaca, dan hampir tumpah ketika Imam Surau ini mengatakan, “Kita kehilangan orang baik. Bukan begitu para jamaah.”

“Baik....!” Sahut jamaah serentak.

Bidadari menyorongkan tisu padaku. Harumnya melebihi minyak kasturi.

“Kita kehilangan orang baik, di malam yang baik, di tempat yang baik. Semoga kita diberi kesabaran dan keikhlasan. Kita mohonkan ampun padanya dan juga untuk kita semua. Amin.” Lanjut Imam Surau.

Ufuk mulai semburat memerah. Jasadku telah diurug tanah. Satu per satu meninggalkan makam di samping surau ini. Rasanya, aku ingin membagi buah kelapa yang begitu banyak disediakan untukku. Mereka terlanjur pergi. Mudah-mudahan mereka dapat memperoleh sendiri. Amin.

Djoglo Pandanlandung Malang
28 Juni 2016: 02.00
iman.suwongso@yahoo.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun