Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Malam Ketujuh

28 Juni 2016   02:30 Diperbarui: 29 Juni 2016   00:14 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.varihsovy.com

Ketika angin mulai bergerak cepat, mata ini betul-betul terpejam. Otak diselimuti kegelapan yang menidurkan. Jiwaku masih terpaut pada laut, dan pohon kelapa. Saat itu Kyai Slamet datang di sampin kananku. Ia bersurban memutar-mutar tasbih yang panjangnya tiada ujung.

“Saatnya datang.” Katanya.

Dan, angin sekencang gerakan cahaya menyapu muka bumi. Pohon kelapa tak tahan menjaga kekokohanya. Ia merebah, batangnya menempel bumi. Buahnya memohon untuk diteguk. Tetapi, bah gelombang laut menggulung tinggi, menghempas alam raya, menghempas dadaku yang rapuh. Jiwaku rasanya lenyap, terbang dibawa bulan sabit meniti puncak-puncak gelombang.

“Kyai Slamet bantulah aku memetik buah kelapa. Wahai, Tuhan ijinkan aku menenggaknya.” Jiwaku memohon.

Buah kelapa terkupas, tersedia bergeletakan di dak kapal bulan. Aku menenggaknya sepuas dahaga jiwaku. Bidadari menaburkan bunga-bunga yang menyegarkan baunya. Aku melirik tubuhku, tertelungkup di teras surau. Sekali saja mengulangi menolehnya, sesudah itu tak tega. Sebentar lagi ia akan menjadi daging busuk kemudian meleleh menyatu dengan asal-usulnya. Aku hampir terisak mengenang tubuhku, Kyai Slamet berbisik, “Sabar dan ikhlaskan.”

Jiwaku memohon, “Ya Allah, aku bersujud kepadamu, aku mohon ampunan kepada-Mu wahai Maha Pengampun.”

***

Orang-orang mulai berdatangan menjelang subuh. Mereka menemukan tubuhku tertelungkup di teras surau. Mereka mencoba membangunkanku, tapi sia-sia. Mereka menyadari aku telah pergi di malam ketujuh sepuluh hari terakhir ramadhan ini. Sebagian menyadari tentang akhir perjalanan seorang manusia. Dari asal kembali ke asal.

Sebagian mereka terisak. Aku tak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Sebagian tercengang. Beberapa perempuan bergerombol berbicara bisik-bisik. Bilal menyampaikan kabar duka, dilanjutkan adzan subuh. Orang-orang makin banyak yang berdatangan ke surau.

Mereka membaringkan tubuhku di teras surau, merawatnya sebagai jenasah yang mungkin mengagumkan perasaan mereka. Sebagian mereka menunaikan solat subuh berjamaah, sebagian bergantian menjaga tubuhku.

Sesudah subuh para lelaki menekuk sarungnya memandikan mayatku di dekat kamar wudlu. Perempuan-perempuan berkerudung hitam menyiapkan bungkusku. Aku juga melihat istri dan anakku diantara mereka. Sebagian lelaki telah melepas baju dan sarung menggali kuburku di samping kiri surau. Mereka memutuskan tidak menyemayamkan jenazahku dirumah duniaku. Mereka menyemayamkan di teras surau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun