Topeng Bupati Basuki yang ia bungkus dengan kain putih diserahkan kepada ajudan Basuki.
Ajudan Basuki kembali dengan membawa kue dalam kotak dalam tas plastik dan seamplop uang diberikan kepada Satir.
“Tidak usah repot-repot begini.”
“Bawa saja Pak, ini bekal untuk Bapak pulang. Saya hanya bisa mengantar Bapak sampai terminal.”
***
Sudah lebih tiga bulan, kunjungan Satir ke rumah Basuki terlupakan. Ketika ia baru saja menyelesaikan sebuah topeng dengan paras burung garuda, ajudan Bupati Basuki datang membawa sepucuk surat dari Basuki, isinya singkat saja: “Terima kasih. Topeng buatanmu cocok sekali untuk saya.”
Satir tersenyum, bangga.
“Topengnya dipasang di mana?” tanya Satir iseng saja.
“Di ruang kerja Bapak. Di atas meja kerja.”
Satir manggut-manggut, meskipun sesungguhnya dia tidak bisa membayangkan letak topeng itu.
Suatu kali Satir ingin melihat topeng yang dipasang di ruang kerja Basuki. Ia perlu datang karena mimpinya tiga hari berturut-turut ini. Dalam penampakan mimpinya, topeng yang diberikan kepada Basuki duduk di pojok rumahnya dan terisak, menangis. Topeng itu menangis dalam mimpi tiga hari berturut-turut!