Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Mengaku Salah Itu Penting

4 Mei 2016   22:16 Diperbarui: 4 Mei 2016   22:34 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto Ruly Handoyo: Pohon

Rara baru saja bangun tidur siang. Ia menuju kursi di teras depan rumahnya. Matahari condong ke barat bercahaya cerah. Angin bertiup menggoyangkan daun-daun pohon jambu.

“Asyik, jambunya berbuah.” Katanya menggumam. Ia seperti baru mendapat hadiah melihat jambunya ternyata berbuah. Ia mengira pohon jambu di halaman rumahnya tidak berbuah lagi. Kata ayahnya, waktu berbunga hujan turun cukup deras sehingga bunga-bunga jambu itu tidak dapat melakukan pembuahan.

Rara memeriksa pohon jambu itu. Barang kali masih ada buah jambu yang lain. Ia memanjat sampai atas. Matanya menyelidik ke setiap ranting. Tetapi tidak ada buah jambu lain.

Matanya meredup. Agak kecewa karena buah jambu yang menggelantung hanya satu biji.

Sesaat kemudian ia bergembira lagi. Ia pindah ke dahan lain. Tangannya bisa menyentuh buah jambu itu. Cukup besar juga, tangannya tidak cukup untuk menggenggamnya.

Buah jambu ini sudah hampir masak. Warnanya sudah menguning. Rara mendekatkan hidungnya ke buah jambu itu. Menciumnya. Matanya terpejam. Kemudian melepaskan ciumannya dan menghembuskan nafasnya melalui mulutnya.

“Hhhaaa… Segaarrr…” katanya nyaris berbisik.

Tangannya akan memetik buah jambu sebatang kara itu. Tetapi ia mengurungkannya.

“Biar betul-betul masak dulu.” Katanya pada dirinya sendiri. “Besok sepulang sekolah kamu aku petik ya jambu.”

***

Sepulang sekolah Rara tidak langsung masuk rumah. Ia membuka sepatu di teras dan meletakkan tasnya di kursi. Ia melongok ke buah jambu yang menggantung di ranting kemarin. Tidak kelihatan. Barangkali tertutup oleh daunnya.

Masih berseragam Rara memanjat pohon jambu. Ia terbengong ketika kakinya sudah menginjak dahan teratas. Tangannya gemetaran. Matanya melotot. Jambu yang menggantung di ranting itu sudah tidak ada.

Rara meraih ranting itu. Buah jambunya hanya menyisakan tangkai yang tetap melekat pada ranting.

“Pasti ada yang mencuri.” Bisik Rara geram.

Di rumah yang suka jambu hanya Rara dan Ibu.

“Ibu tak mungkin memanjat pohon jambu ini. Jambu ini hanya bisa dipetik dengan cara memanjat. Kalau menggunakan galah pasti patah dengan rantingnya.” Pikir Rara.

Lantas siapa yang mengambil buah jambu Rara?

Rara mengingat-ingat wajah teman-temannya yang patut dicurigai. Satu per satu. Dan ia menemukan satu nama.

“Johan!” katanya geram. “Dia memang suka bikin ulah di kampung. Dan lagi, kemarin waktu aku memanjat pohon jambu ini Johan melintas bersepeda. Bahkan ia sempat meledekku.”

“Awas, kamu Johan.” Bisik Rara sambil menuruni pohon jambu.

Saat kaki Rara sudah menjejakkan kaki di tanah, Johan melintas bersepeda dan meledek Rara.

“Hai! Johan. Sini kamu!” panggil Rara dengan muka marah.

Johan tidak berhenti. Ia malah mengencangkan kayuhan sepedanya.

Rara semakin yakin Johan yang mencuri buah jambunya. Rara harus bisa menangkapnya dan menghukumnya.

“Ini pasal pencurian. Tidak boleh dibiarkan. Pelakunya harus mendapat hukuman.” Rara menggerutu.

Saat hendak membawa tas dan sepatunya masuk rumah, di kejauhan tampak Johan bersepeda akan melintasi depan rumah Rara. Rara mengendap ke pinggir jalan. Ia besembunyi di bawah pohon perdu.

Dan, saat Johan sudah dekat Rara muncul tiba-tiba dari balik pohon perdu. Johan terkejut dan mengerem spedanya mendadak. Roda sepeda Johan terpeleset. Johan jatuh. Rara segera menangkap Johan.

“Aduuuh… Aduuuhh…” Rintih Johan.

Rara tidah menghiraukan rintihan Johan. Ia tidak mau buruannya terlepas dengan tipu dayanya.

“Jangan pura-pura.” Hardik Rara.

“Aduuuuhhh… Aduuuuhhh.” Johan merintih lagi.

“Kamu harus pertanggung-jawabkan perbuatanmu.” Tegas Rara.

Johan memandang Rara. Ia tidak mengerti maksud Rara. Wajah Johan tampak kebingungan sambil sesekali meringis kesakitan.

“Sa… Sa… Salah saya… apa Ra?” Tanya Johan.

“Kamu telah mencuri jambuku.” Tuduh Rara.

“Aduuuuhhh..”

“Jangan aduh… aduh…” potong Rara.

“Memang sakit Ra.” Jawab Johan sambil menunjukkan lututnya yang tergores karena berbenturan dengan aspal jalan.

“Jadi betul kamu yang mencuri jambu?” Rara menegaskan.

“Mencuri Jambu? Tidak Ra. Saya tidak tahu.” Elak Johan.

“Mana ada pencuri yang mau mengaku.”

“Sungguh Ra. Tidak. Saya tidak tahu.” Balas Johan.

“Ngaku, tidak!” gertak Rara.

Johan belum sempat menjawab gertakan Rara. Ibu Rara keluar dari rumahnya. Ibu menghampiri mereka.

“Temannya jatuh kok tidak cepat ditolong, Ra?” kata Ibu Rara sambil membangunkan Johan.

“Pencuri kok ditolong.” Gumam Rara.

“Pencuri? Siapa mencuri?” Tanya Ibu Rara.

Rara menceritakan buah jambu yang sebatang kara hilang dari pohonnya. Ibu Rara tampak mengerti jambu yang dimaksud Rara. Ia tersenyum.

“Oo.. buah jambu. Ya sudah, kalian minta maaf dulu. Setelah itu, kamu cepat pulang Han. Lukamu dibersihkan.” Kata Ibu Rara.

Sambil meringis Johan mengayuh sepedanya. Rara diajak ibunya ke sudut halaman tak jauh dari pohon jambu. Ibu menunjukkan kepada Rara sisa-sisa biji buah jambu. Disitu juga berserakan bekas gigitan kulit jambu.

“Ra, sisa-sisa jambu itu bekas gigitan kelelawar. Mungkin binatang itu telah memakan buah jambumu tadi malam.” Ibu menjelaskan.

Seketika wajah Rara tampak pucat. Ia merasa bersalah kepada Johan. Pertama, ia telah menuduh Johan mencuri. Kedua, ia telah menyebabkan Johan jatuh dari sepeda dan lututnya terluka.

“Sudah terjadi Ra, kamu harus minta maaf.” Bisik ibu sambil mengelus pundak Rara.

Rara lekas berganti pakaian. Setelah makan siang ia akan datang kepada Johan.

Djoglo Pandanlandung Malang
Mei 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun