Aku tidak percaya dia datang. Ya, kali ini aku betul-betul berkeringat dingin menghadapinya. Mataku celingukan. Culas segera masuk, menyelinap dan mendorongku segera menutup pintu. Di dalam kamar berdua. Meskipun dia iblis, tapi perempuan yang... Ah! Remajaku meremang. Aku hampir menubruknya kalau saja tidak tiba-tiba wajahnya memancarkan penderitaan.
Jadinya, aku pegang saja tangannya.
“Ada apa?”
Ia tidak terisak, air matanya meleleh di pipi jatuh berkilap di ujung kuku ibu jari kaki. Oh! Jangan kau pendam sendiri penderitaanmu perempuan cantik. Aku merajuknya untuk bicara. Mengapa begitu menderita? Bukankah iblis bisa mengatasi segalanya? Pastilah ini bukan tipu daya.
“Kami kedatangan musuh.” katanya. Air matanya ia seka dengan punggung tangan.
“Musuh? Kau punya musuh?” Aku bodoh.
“Tentu saja. Kami dilahirkan sudah punya musuh.”
“Manusia bukan?”
Ia mengangguk.
Culas bercerita. Malam tiga hari yang lalu hutan Jati didatangi tiga manusia. Tanpa bisa dicegah mereka menebarkan mantra-mantra. Begitu dahsyatnya mantra itu, yang diramu dari tiga dengus nafas, digetarkan dari tiga bibir, dikendalikan dari tiga naluri yang berbeda namun semua memiliki ketajaman yang seimbang. Culas dan kerabatnya tidak bisa menangkal. Mereka blingsatan. Seluruhnya segera takhluk, hanya tinggal Culas bertahan memeluk pohon jati --satu-satunya pohon jati di hutan Jati, tempat tinggal Culas-- erat-erat. Namun salah satu diantara ketiga manusia itu menjambak rambut Culas dan melemparkannya beberapa kilometer, di pinggir jurang.
“Aku tidak bisa lama-lama...”