“Tak tahu. Seperti nenek moyangmu juga kenapa diturunkan di sana. Cuma aku dipatok untuk menggoda bangsamu.”
“Jadi?”
“Ya, memang benar bangsaku Iblis.”
“Seperti juga yang pernah aku dengar dari orang tuaku?”
Ia tersenyum.
“Kenapa kau tidak mengganggu kami?”
“Karena sumpahku pada leluhurmu.”
“Tapi dia sudah meninggal.”
“Tapi dia masih mengawasiku.”
Kami berpisah di perbatasan hutan jati dan desa kami.
Pertemuan kedua dengannya ketika aku sudah remaja, 25 tahunan. Ia masih berwujud perempuan. Bertemu dengannya tidak di hutan Jati, tapi ia datang ke rumahku, ke pedalaman kamarku. Saat aku terlentang memandang buram langit-langit menjelang petang, ia mengetuk pintu kamar. Aku merasa aneh dengan ketukan ini --biasanya keluargaku tak pernah ketuk pintu segala kalau masuk kamarku, nylonong8) saja. Jadi aku baru membuka pintu setelah ketukan ketiga kalinya.