“Jangan dikira main-main.”
Pistol itu meledak. Pelornya menembus langit-langit.
“Atap itu tidak berdarah. Tapi, tengkuk anakmu ini bisa menganak sungai.”
“Ya Pak. Saya minta waktu,” kali ini Tamun gemetar. “Satu minggu!”
Seperti sedang bermimpi. Tamun duduk termangu ditinggal tiga lelaki itu.
Sungguh. Ancaman itu tidak main-main. Setiap hari ada saja peristiwa buruk yang dialami Tamun. Sehari setelah kehadiran tiga laki-laki itu, gentingnya pecah dilempar batu sebesar genggaman. Dan esok paginya, dadanya sesak menyaksikan sederet kebun tebunya bergelimpangan dibabat orang.
Atas anjuran Pak RT Tamun melapor ke aparat desa. Kabarnya Pak Lurah melapor ke kecamatan. Tetapi, malamnya Pak Lurah datang ke rumah Tamun.
“Mun, saran saya, tanahmu itu dijual saja.”
Tamun hanya melongo menatap Pak Lurah. Tamun tidak menjawab saran Pak Lurah itu, hingga orang nomor satu di desanya ini meninggalkannya.
Sepulang Pak Lurah, Tamun merasa sendirian. Setiap orang yang sudah di minta pendapat, mereka menjawab sama. Tidak tahu. Atau, jual saja. Temannya yang sudah tinggal di pinggiran kota pernah bilang kepada Tamun. “Tanahmu itu sudah diatur untuk.....”
***