Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Potongan Daun Telinga Hanyut Seperti Perahu

24 April 2016   23:51 Diperbarui: 25 April 2016   00:00 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto: Perahu Melaju"][/caption]Wajah orang-orang sudah mulai kuyu. Ada titik-titik keringat di dahinya. Udara menyengat. Matahari di atas ubun-ubun. Mendung menggelantung kembali. Pekat. Hujan bakalan lebat mengguyur kampung ini. Linmas sudah bergeser ke tempat yang lebih teduh. Mak Gendut sudah tidak ada lagi diantara kerumunan orang-orang di bawah tiang gapura.

Aku masih memandangi mereka dari jendela yang tertutup gorden separuh badan.

Ada beberapa penjual makanan di dekat kerumunan mereka. Seorang lagi menjual es gandul, dikelilingi anak-anak. Dua orang anak bikin gaduh, berebut menghisap sebatang es gandul. Linmas datang menghampiri.

“Ssst! Gantian, jangan berebut. Jangan ribut. Jangan bikin gaduh. Jangan!” katanya sambil melotot.

Dua orang anak itu pelan-pelan menjauh, kemudian kabur secepat tukang ojek. Tapi malang, es yang diperebutkan itu jatuh. Mereka saling mendorong kepala dengan tangan mereka yang mungil. Dilanjutkan pasang kuda-kuda, mengepal tangan, hampir saling jotos kalau Linmas tidak segera datang dan mencekal tangan mereka.

“Tidak boleh gaduh malah tarung. Ayo sana pergi. Kamu kesana dan kemu kesana!” Linmas melotot lagi sambil kedua tangannya merentang, kayak orang-orangan sawah, menunjuk arah yang berbeda.

Anak-anak belum pergi ketika keributan terjadi di dekat potongan daun telinga.

“Telinganya bergerak! Telinganya bergerak!” sebuah suara lantang.

“Mana?!” sahut yang lain.

Linmas bergegas menghampiri. Kedua anak itu tak jadi pergi, mengikuti di belakang Linmas sambil lari-lari kecil.

“Mundur! Mundur!” perintah Linmas.

Mereka mundur berdesakan. Linmas mendekati potongan daun telinga. Ia mengamati sambil membungkuk dan matanya memicing.

“Mana bergerak?!” katanya sambil menegakkan tubuh. “Siapa yang bilang tadi?”

“Waktu saya lewat dekat sini, telinga itu beregrak-gerak. Tepatnya bergoyang. Kayaknya capek tengkurap, mau tengadah.” Seoarang anak muda menjelaskan.

“He! Jangan memberikan penjelasan mengada-ngada.” Sergah Linmas.

“Barangkali salah lihat.” Seorang ibu menimpali.

“Mata saya masih sehat, Mak Ji.”

“Sudah! Jangan berisik! Jangan ngomong lagi! Jangan!” cegah Linmas.

Linmas berbalik mendekat potongan daun telinga. Ia hendak mengorek potongan daging itu dengan tongkat pentungannya. Saat ujung tongkat karet itu nyaris menyentuh permukaannya, Mak Gendut tiba-tiba datang dan menghalau Linmas.

“Jangan disentuh.” Cegahnya. “Jangan sampai ada bekas sentuhan yang menempel. Kamu bisa dituduh yang melakukan.”

Linmas mau menjelaskan pada Mak Gendut, tapi halilintar menyambar dengan kerasnya. Seketika hujan mulai turun.

“Hai! Lihat, bergerak.”

Potongan daun telinga itu memang bergerak. Ternyata, di bawah tengkurap daun telinga itu bersemayam gerombolan semut. Mereka menggigit muka potongan daun telinga itu dan membawanya bergerak.

Potongan daun telinga itu terpelanting jatuh ke selokan, bersama semut-semut yang masih tetap menggigit. Dan celakanya, banjir mulai datang. Pelan-pelan potongan daun telinga itu hanyut, mengambang di permukaan air. Semut-semut yang belum lepas berada di atasnya, seperti sedang menumpang perahu. Yah, potongan daun telinga itu hanyut seperti perahu melaju sarat penumpang.

Orang-orang hendak mengikuti laju perahu potongan daun telinga. Namun tertahan hujan. Mereka berhenti di bawah naungan gapura. Mereka cemas, meskipun belum jelas yang dikhawatirkan. Kepala mereka melongok-longok ingin memastikan, sudah sampai dimana potongan daun telinga itu dibawa banjir.

Aku, juga melongok-longok dari jendela yang tertutup gorden separuh badan, ingin memastikan sudah sampai dimana potongan daun telinga itu dibawa banjir.

 

 [Bagian dari: Daun Telinga Siapa Tergelatak di Ujung Jalan?]

 

Djoglo Pandanlandung Malang
April 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun